IMING-IMING duit, ditambah gertakan dan ancaman, tampaknya kini sudah bukan senjata ampuh lagi buat para developer untuk membebaskan tanah. Lihat saja di kawasan Bali Mester, Jatinegara, Jakarta Timur. Di sana ada sekitar 80 kepala keluarga yang bertahan tak mau melepas rumah dan tanahnya kepada developer PT Dharma Hasta Karya (DHK). Rencananya, di atas kawasan seluas 2,7 hektare itu akan dibangun sebuah kompleks komersial perkantoran, perhotelan, dan pertokoan. Sedangkan ganti rugi yang ditawarkan DHK besarnya Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu/m2. Namun, warga Bali Mester menghendaki ganti rugi sampai Rp 1 juta/m2. DHK menolak. Akibat tak ada kecocokan harga, sejumlah warga di sana ada yang sempat ketiban pulung menerima surat bernada ancaman yang ditandatangani seorang purnawirawan ABRI. Namun, tekad mereka tak surut. Tarik ulur antara developer dan penghuni juga terjadi di Jalan Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur. Soal harga juga jadi penyebabnya. Di situ, ada 132 kepala keluarga yang menempati areal tanah seluas 6.000-an meter persegi. Kini mereka sedang dalam proses tawar-menawar dengan PT Arion Pramita Grup (APG). Pihak APG telah menawarkan ganti rugi yang variasinya Rp 350 ribu sampai Rp 550 ribu/m2. Warga menolak, mengingat sebagian besar dari mereka cuma menempati rumah petak seluas 3 x 4 meter. Artinya, kalau harga disepakati, paling banyak mereka menerima rata-rata Rp 6,6 juta. "Mana cukup dengan uang segitu beli rumah lagi?" keluh seorang penghuni. Persoalan tambah ruwet setelah muncul tokoh gaek bernama K.H. Muslich. Mantan anggota DPR yang kini sudah berusia 81 tahun itu belakangan mengingatkan lagi bahwa tanah yang akan dibebaskan oleh APG itu adalah miliknya, yang pada 1975 sudah dihibahkan kepada Pemda DKI. "Tanah itu sudah saya serahkan kepada Pemda DKI untuk menunjang program pembangunan. Saya sudah tua dan tak mau ribut-ribut," tutur Muslich kepada TEMPO. Boleh jadi, karena situasi begitu, ada warga Jalan Sunan Giri yang akhirnya rela melepaskan tempat tinggalnya dengan imbalan ganti rugi seperti yang ditetapkan oleh APG. Namun, sebagian warga lainnya bersikeras bertahan. Wali Kota Jakarta Timur Mas Sunaryono membenarkan, lokasi permukiman di kawasan Rawamangun itu memang punya nilai ekonomi yang tinggi karena letaknya strategis. "Untuk sementara masalah tanah di Jalan Sunan Giri saya tangguhkan," katanya. "Biasanya, kalau yang membebaskan pihak swasta, selalu banyak masalah. Kalau pemerintah, tidak," ujarnya lagi. Betulkah? Di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, di persil nomor 16, 17, dan 18, proses pembebasannya hingga kini masih terkatung-katung. Padahal, di atas tanah seluas 11,2 ha itu -- setelah dibebaskan -- rencananya akan dibangun Gedung Sapta Pesona milik Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Pemerintah sudah menetapkan ganti rugi untuk penghuni yang tinggal di sana sebesar 25 persen dari Rp 1,7 juta/m2. Artinya, mereka hanya mendapat sekitar Rp 400 ribu/m2. Alasannya, para penghuni hanya menempati persil itu atas dasar hak garap. Para penghuni, yang jumlahnya mencapai 97 kepala keluarga, menolak ketentuan itu. Konon, ada yang sudah menempati persil itu sejak 1950 dengan mengantungi SIP (Surat Izin Pemakaian). Mereka menuntut 80 persen dari Rp 1,7 juta. "Karena yang mau membebaskan adalah pemerintah, ya kami tidak ngotot. Padahal, kalau yang beli konglomerat, harganya bisa di atas Rp 4 juta per meter perseginya," kata seorang penghuni. Lain kata penghuni, lain pendapat Soni Harsono, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurut dia, penghuni Jalan Medan Merdeka Barat praktis tak memiliki surat-surat. "Kalau BPN mau menetapkan UU Pokok Agraria tahun 1961, mereka bisa dihukum. Tapi aturan ini kan tidak pernah dilaksanakan karena tidak manusiawi. Ganti rugi 25 persen yang ditetapkan lewat peraturan daerah itu sudah bagus," katanya menegaskan. Namun, tak selamanya penghuni lama bernasib buruk. Banyak bekas penghuni kawasan Setiabudi di Jakarta Selatan, misalnya, yang kini hidup gembur. Maklum, developer yang membebaskan tanah di sana berani membayar sampai Rp 3,5 juta/m2. Tak lama lagi, sebagian warga Bendungan Hilir di Jakarta Pusat mungkin juga bakal tersenyum. Tanah seluas 14,5 ha yang dihuni oleh 600 kepala keluarga di sana kini diincar oleh dua developer: PT Erindo bersama PT Wahana Sari Karya dan Ikamuda. Kelompok pertama berani membayar kompensasi Rp 2 juta/m2. Sedangkan Ikamuda mengajukan tawaran yang lebih menggiurkan Rp 2,25 juta/m2. "Yah, kalau penjual sih melihat mana harga yang paling tinggi," kata H. Danil, Ketua Tim Perunding Pembebasan Tanah di Bendungan Hilir itu. Artinya, siapa lagi kalau bukan kepada Ikamuda tanah itu akan dijual. Lebih hebat lagi, Ikamuda juga menjanjikan untuk memberikan saham kepada warga Bendungan Hilir, atas bangunan yang didirikan di atas tanah bekas milik mereka. "Jadi, warga di sini tak putus hubungan dengan bekas tanah miliknya," cerita Danil. Tampaknya, jalan seperti inilah yang diinginkan oleh Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Atar Sibero. "Jadi, kita perlu berpikir agar orang yang digusur juga ikut menikmati hasil pembangunan," katanya. Atar kemudian menunjuk kompleks perbelanjaan dan hiburan Citra Niaga di Samarinda. Di sana, lebih dari 200 pedagang kaki lima yang tergusur karena pembangunan pusat komersial itu justru tertolong. Mereka mendapat jatah kios kecil tanpa dipungut biaya sesen pun karena developernya -- tentu saja swasta -- pandai mengaturnya dengan mengambil dana dari pemilik kios yang bermodal besar. Mungkin, kini sudah saatnya Jakarta belajar dari Samarinda. Ahmed K. Soerawidjaja, Nunik Iswardhani dan Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini