BURUNG merak itu berhasil mengepakkan sayapnya. Tiga jam penuh akhirnya Rendra menaklukkan panggung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, sejak Sabtu hingga Senin lalu. Di atas panggung, Multatuli, asisten residen Lebak di masa penjajahan Belanda yang tersohor itu, seolah hidup kembali. "Barangkali kehadiran saya sekarang mulai tidak mengenakkan suasana?" begitu Rendra membacakan sajaknya dengan aksen Belanda, seolah tanya itu datang dari Multatuli. Penonton yang memenuhi gedung tertawa gemuruh. Begitu "Multatuli" mengucapkan "terima kasih" sambil menundukkan kepala, tepuk tangan tak berkesudahan. Rendra, 55 tahun, si burung merak itu, adalah aktor yang memikat. "Sudah lama saya ngebet membacakan puisi-puisi ini," kata Rendra. Maklum, kedua puisi itu, Demi Orang-Orang Rangkasbitung dan Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam, sempat dilarang pembacaannya November silam. Akibatnya, Rendra membatalkan acara pembacaan sajaknya. Koran dan majalah yang memuat sajak Rendra itu mendapatkan peringatan dari Departemen Penerangan. Jika kini Rendra bisa membacakan sajaknya secara lengkap tanpa larangan, boleh disebut itu adalah hasil dialog para seniman dengan berbagai pejabat -- baik eksekutif maupun legislatif -- termasuk Menko Polkam Sudomo. Meski demikian, menjelang pementasan hari pertama sempat ada ketegangan. Sekitar pukul enam sore, penonton masih bertanya-tanya apakah pertunjukan akan berlangsung. Rupanya, calon penonton itu sudah mendengar adanya surat pernyataan dari Keluarga Mahasiswa Lebak yang ditujukan kepada Direktur TIM. Surat tertanggal 24 Januari itu ditandatangani Koswara Purwasasmita yang menyatakan keberatan atas pembacaan sajak Rendra yang menggunakan Rangkasbitung sebagai latar belakang. Menurut penafsiran kelompok yang sudah didirikan tahun 1965 ini, sajak-sajak tersebut tidak relevan dengan kondisi Rangkasbitung masa kini. "Kami memang awam dalam soal puisi, jadi boleh saja dong punya persepsi yang berbeda," kata Koswara, 31 tahun, lulusan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Ia menolak tuduhan bahwa pernyataannya itu digerakkan oleh pihak tertentu. "Inisiatif membuat pernyataan ini independen," katanya. Surat dari Keluarga Mahasiswa Lebak ini tampaknya dipakai pertimbangan oleh polisi sehingga tampilnya Rendra di TIM itu sebenarnya tanpa izin dari kepolisian. "Kami harus mempertimbangkan keberatan mereka yang merasa dirugikan. Sebetulnya, kami sudah menduga bahwa hal itu akan terjadi," kata Kadispen Polda Metro Jaya, Letnan Kolonel Latief Rabar, kepada Lucky Rukminto dari TEMPO. Direktur TIM Bur Rasuanto mengakui izin pementasan Rendra itu tak ada secara tertulis, "tetapi diberikan secara lisan oleh Polda Metro Jaya." Namun, ini dibantah Latief Rabar hari Senin lalu. "Sampai saat ini kami tidak mengeluarkan izin, baik itu tertulis maupun lisan," katanya. Yang jelas, Rendra tampaknya tidak terpengaruh oleh soal perizinan. Ia muncul dengan gaya yang ringan tanpa beban ketika bercerita tentang kehancuran komunikasi dalam Wanitaku! Wanitaku! Mengenakan kemeja jeans biru, celana korduroi hitam dan sepatu kets, ia berteriak, berbisik, berjingkat, berlutut, bersumpah serapah dengan intonasi yang sesuai dengan peran yang dimainkan. Sajak-sajak Rendra, seperti banyak sajaknya sebelum ini, bercerita tentang ketidakadilan. Delapan di antaranya menggunakan latar belakang Rangkasbitung meski, menurut Rendra, "Ini persoalan universal". Penggunaan tokoh Multatuli, Saija, dan Adinda adalah upaya menyentuh memori kolektif untuk mengungkapkan persoalan manusia secara universal. Ada Saija yang menyesalkan hidupnya yang tanpa perlawanan akibat tatanan hidup yang ditegakkan para adipati Jawa. Rendra berbisik dan menunduk di belakang podium membacakan Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam dengan vokal yang terlatih. Penderitaan Adinda, yang dibacakan Rendra sambil bersimpuh, mengingatkan pada perjalanan Maria Zaitun dalam Nyanyian Angsa. Bedanya, menurut Rendra, sajak Nyanyian Angsa bercerita tentang perjalanan kematian Maria Zaitun, sementara Adinda justru mencoba hidup. Dan Rendra keluar masuk di dalam perannya dengan mudah, lebih seperti seorang aktor teater daripada pembaca puisi konvensional. Sajaknya yang paling menarik, selain sajak tentang Multatuli tadi, adalah puisi Kenapa kau Taruh .... dan Orang-Orang Biasa. Kenapa kau Taruh .... bercerita tentang gugatan seorang wanita yang dieksploatasi oleh media massa. Ada banyak masalah wanita/kecuali dadanya/Para buruh wanita masih kurang terjamin haknya ...," ucap Rendra yang menjelma menjadi seorang wanita "feminis" yang meletakkan mawar berduri di dadanya sebagai "protes bagi martabat manusia". Sementara itu, sajak Orang-Orang Biasa telah menyulap Rendra menjadi seorang lelaki tua yang ogah pindah dari Rangkasbitung karena hubungan batin antara dirinya, Rangkasbitung, dan pohon gandaria. Sajak ini memperlihatkan dengan jelas, meski Rangkasbitung digunakan sebagai setting, persoalan yang ditampilkan adalah masalah yang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Sebagai penutup, Rendra "menghipnotis" seluruh ruangan dengan pembacaan Al Fatihah yang mencekam. Tokoh Bapak tua yang keras kepala itu melihat keindahan Rangkasbitung sebagai kesatuan spiritual antara dirinya dan alam. Dan Rangkasbitung akhirnya membuat insiden kecil, pada malam terakhir pertunjukkan, Senin lalu. Di tengah-tengah Rendra membacakan sajak Tokek dan Adipati Rangkasbitung beberapa penonton di deretan belakang berteriak: "Stop dulu, tidak ada tokek di Rangkasbitung, saya orang Rangkasbitung." Rendra "meladeni" sebentar dengan turun dari panggung. Tapi, mereka yang berteriak sempat diamankan petugas dan kabarnya tiga orang dibawa ke Polda Metro Jaya. Insiden ini "cuma mengganggu" beberapa menit dan Rendra kembali membacakan sajaknya tanpa gangguan. Sampai selesai. Sang Burung Merak itu terbang menembus ruang dan waktu. Leila S. Chudori, Bambang S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini