DI bawah hujan salju yang menggigit, dua warga Moskow sedang berjalan menuju ke sebuah toko makanan. Di tengah obrolan mereka, seorang di antaranya melontarkan sebuah tekateki. "Coba tebak, apa yang dimaksud dengan harga bebas?" Tanpa sempat menunggu jawaban temannya, ia menjelaskan. "Kamu pergi ke sebuah toko, lalu lihat hargaharga di sana, . . . lalu kamu bebas, bebas pergi ke mana saja." Pahit memang jalan kapitalis bagi rakyat yang baru saja terlepas dari sistem sosialis. Sejak sistem pasar bebas diterapkan di Republik Rusia, Ukraina, dan Belorusia, Kamis pekan lalu, suasana tak menentu terlihat di mana-mana. Harga bahan makanan pokok seperti roti, susu, daging, dan sayuran tak terkendali. Para pemilik toko swasta yang tak terbiasa dengan harga bebas berlomba-lomba menaikkan harga seenaknya. Bila kemudian mereka jadi bingung sendiri melihat angka-angka yang ditulisnya, lalu menelepon toko buku yang menjual buklet panduan harga, menanyakan harga dasar barang-barang yang dijualnya. Memang, yang terjadi di tiga negara itu belum sepenuhnya sistem pasar bebas. Pihak pemerintah masih memberikan konversi harga dalam buku setebal 12 halaman. Sebotol susu, misalnya, dihargai tiga kali lipat, sebotol Vodka empat kali, dan minyak bakar lima kali harga pemerintah sebelumnya. "Kita memang belum tahu sistem pasar bebas itu seperti apa," ujar Tatyana Kondratyeva, penjaga toko buku di kawasan Khoroshevski, Moskow. Akibatnya cukup fatal. Para pedagang cenderung menahan barangnya sambil berharap siapa tahu kelak harga barang bakal naik lagi. Sebuah toko makanan di Jalan Dobrovolcheskaya, Moskow, hanya menjajakan sederet bungkusan tepung terigu dan bumbu, tanpa menjual mentega. "Mereka menjual mentega dengan harga 3 rubel di belakang sana," bisik seorang ibu di pintu masuk. Harga itu lipat sekian kali dari harga sebelumnya. Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum di Moskow, banyak warga yang menjejali lemari esnya dengan bahan makanan. Sebagian makanan yang awet dibungkus kain dan digantung di luar jendela apartemen di lantai dua. "Jangan khawatir, kami tak akan kelaparan," kata seorang wanita. Antrean panjang yang biasanya terlihat di Restoran McDonald, Moskow, sudah tak tampak lagi. Barisan manusia seperti ular kini beralih ke toko-toko makanan pemerintah, yang menjual dengan harga khusus. Antrean itu pun tak berlangsung lama, karena kupon harga khusus yang diterbitkan Kementerian Ekonomi ternyata tak mencukupi kebutuhan 8,5 juta Muskovite. "Mereka bilang, setelah deregulasi harga, barang-barang akan banyak di pasaran, tapi mana?" keluh Galina Kornilova, seorang pegawai negeri yang mencari sebotol susu dengan harga murah. Ia tak punya pilihan lain kecuali membeli makanan di toko swasta dengan harga selangit. Sekilo keju harganya sama dengan gaji seorang pensiunan sebulan, yang cuma 250 rubel. Sekilo daging babi, yang sudah lama tak kelihatan, kini mencapai seribu rubel, sama dengan tiga kali lipat gaji pegawai tinggi pemerintah. Jangan tanya harga barang-barang elektronik. Sebuah setrika listrik bisa sama harganya dengan 10 bulan gaji pegawai tinggi. "Anda lebih baik membawa sekarung rubel, kalau ingin berbelanja," saran kantor berita Tass. Gelagat barang yang semakin mahal juga terasa di Republik Ukraina dan Belorusia. Di kedua republik yang akhirnya ikut menerapkan sistem harga bebas itu, harga-harga bergerak naik dari dua sampai enam kali lipat. Hal ini tak terhindarkan lagi, mengingat adanya kekhawatiran bahwa warga Ukraina dan Belorusia berbondong-bondong menjual hasil panennya ke Rusia dengan harga tinggi. Pemerintah Ukraina mencoba mencegah arus barang ke Rusia, dengan menaikkan tarif kereta api dari Kiev ke Moskow 100% lebih tinggi ketimbang dari Moskow ke Kiev. Kedua republik itu juga mendistribusikan kupon seharga 400 rubel bagi setiap warga mereka, untuk mengisi masa transisi sebelum menerbitkan mata uangnya sendiri. Melihat perkembangan ini, belakangan Moldova, Armenia, dan Kazakhstan menyatakan memberlakukan sistem harga bebas di dalam wilayahnya juga. Menghadapi semua itu, Presiden Boris Yeltsin mencoba meyakinkan rakyatnya bahwa pembebasan harga merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh. "Bila program ini berhasil, dalam enam atau delapan bulan mendatang, hidup kita lebih baik," katanya dalam pidato di televisi, Senin pekan lalu. Ia pun tak lupa mengingatkan, bangsa Rusia pernah berhasil melewati masa krisis dalam Perang Dunia II. Lalu di layar televisi muncul gambar dokumentasi: sekelompok ibu-ibu dan anak-anak yang tetap bertahan dalam penderitaan, sementara sekelompok orang lainnya berdansa dan bernyanyi, seolah tak mempedulikan masa kritis yang baru lewat. Kritik segera saja muncul. Banyak para ahli di Moskow berpendapat bahwa terapi yang dilakukan Yeltsin sudah terlambat dan tak terencana baik. Dalam laporan akhir tahunnya, Yayasan Riset Sosial dan Politik yang diketuai oleh bekas presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, mengungkapkan bahwa perubahan kebijaksanaan ekonomi Yeltsin akan mendorong hiperinflasi, meningkatnya angka pengangguran, dan penyusutan produksi di bidang industri. Akibatnya, kerusuhan sosial dan sejumlah tindak kriminal tak akan terelakkan lagi. Ramalan itu terbukti akhir pekan lalu. Dalam sebuah antrean panjang di sebuah sudut Kota Moskow, dua orang kedapatan mati gara-gara berebut tempat. Kerusuhan juga terjadi di sebuah pabrik di Ternopol, Ukraina, Jumat pekan lalu. Para buruh mogok kerja lantaran tuntutannya agar uang tunjangan susu yogurtnya ditambah sebesar 12 rubel tak dipenuhi. "Reformasi sekarang ini lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan yang ada di Eropa Timur," kata Alexander Galkin. Direktur eksekutif Yayasan Riset ini tak lupa mengingatkan bahwa kesalahan Yeltsin adalah membebaskan harga di pasaran, tanpa diimbangi persediaan bahan makanan yang ada. Tentang hal ini, Gorbachev tak berani melakukannya. Sikap senada juga disuarakan para pemimpin oposisi Republik Rusia. Mereka yang berada di bawah pimpinan Wakil Presiden Rusia Alexander Rutskoi menginginkan agar pemerintah Rusia mengundurkan diri. Dalam sebuah surat terbuka yang diterbitkan harian konservatif Sovietskaya Rossiya, pihak oposisi dalam Parlemen Rusia itu menulis, "Kalau (Yeltsin) tak mundur dalam waktu dekat ini, akan muncul kerusuhan sosial yang mengakibatkan runtuhnya ekonomi dan eksistensi Rusia, dan kembalinya sistem totaliter." Menurut pengumpulan pendapat yang dilakukan kantor berita Interfax, 60% suara tak yakin transisi ekonomi dapat meningkatkan kehidupan mereka. Dalam analisa majalah The Economist, Yeltsin akan menghadapi risiko besar. Bila harga-harga naik, banyak industri tutup dan orang-orang Rusia yang panik akan turun ke jalan, menuntut Yeltsin mundur. Lalu apa yang akan terjadi? Kudeta militer? Kecil kemungkinan ini terjadi, mengingat para pembesar militer kurang berani mengambil risiko mengambil alih negara yang sudah kacau ekonominya. Tampaknya, tak ada jalan lain kecuali tetap membiarkan Yeltsin melakukan program-programnya mengatasi kemelut itu. Jalan terbaik yang bisa dilakukannya adalah melangkah setahap demi setahap membenahi krisis ekonomi, lalu selanjutnya membenahi krisis militer, dan terakhir krisis pemerintahannya. Dan jelas, itu memerlukan bantuan luar negeri. Didi Prambadi (Jakarta) & Bambang Purwantara (Kopenhagen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini