Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bentangan teritisan (overstek) bambu mengelilingi atap utama yang juga berkerangka bambu dan ditutupi bitumen, genting bergelombang yang terbuat dari campuran beberapa mineral. Bila dilihat dari bawah, teritisan itu berbentuk seperti sayap burung yang berpelukan. Atap dan teritisan itu berbobot delapan ton, tapi tegak berdiri meski hanya berpenyangga bambu.
Inilah Rangon Seni Rancamaya, amfiteater seluas seribu meter persegi yang berada di RT 3 RW 7, Kampung Rancamaya, Bogor Selatan, Jawa Barat. Arsiteknya, Baskoro Tejo, lebih suka menafsirkan teritisan itu sebagai metafora payung bambu, kopiah, atau bahkan daun pisang, yang biasa digunakan untuk berteduh. "Intinya, filosofi bentuk dan konstruksi amfiteater itu memanfaatkan potensi bambu secara maksimum, yaitu sifat alami bambu yang lentur melengkung," kata Baskoro dalam surat elektroniknya kepada Tempo.
Potensi alami bambu yang lentur melengkung diterapkan Baskoro dan rekannya, arsitek spesialis bambu, Pon S. Puradjatnika, tidak sebatas dekoratif atau estetis belaka. Bambu digunakan sebagai bahan konstruksi utama penyangga bangunan, dari tiang, atap, tulang bangunan, hingga kusen pintu-jendela.
Terdapat selusin kumpulan bambu untuk menyanggap atap dan teritisan. Setiap kumpulan terdiri atas enam batang bambu berdiameter 15-20 sentimeter. Bambu yang digunakan sebagai penyangga adalah bambu betung yang terdapat di sekitar Rancamaya. Adapun rangka untuk atapnya menggunakan bambu gombong atau andong, bambu tali, dan bambu hijau.
Karena berfungsi sebagai pusat seni dan budaya, bagian tengah Rangon Seni Rancamaya dibuat berbentuk cekung seperti mangkuk. Adapun bagian tengahnya dibuat lebih landai dan rata. Fungsinya sebagai panggung tempat pertunjukan. Lima undakan beton permanen yang melingkari amfiteater berfungsi sebagai kursi penonton.
Pemilik bangunan, Al Hilal Hamdi, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, memang berniat menjadikan bangunan itu sebagai pusat kegiatan seni Jawa Barat layaknya Saung Mang Ujo di Bandung. Ia juga ingin menggunakan bahan konstruksi yang berbeda. Pilihan jatuh pada bambu. Selain memenuhi syarat hijau, bambu dipilih Al Hilal karena ia ingin memakai bahan konstruksi yang mencirikan Indonesia.
"Saya dan para arsitektur berdiskusi bagaimana mengembangkan sarana di Bogor, tapi dengan bahan yang ada di Bogor," katanya saat dihubungi beberapa pekan lalu. "Selain itu, bambu sangat luar biasa, banyak terdapat di Indonesia, mudah tumbuh dan diolah."
Sebelum digunakan sebagai tiang penyangga, menurut Pon, material bambu melewati beberapa proses pengawetan yang cukup rumit dan unik. Pengawetan bertujuan menjaga bambu tetap kuat dan tidak dimakan rayap. Pertama, penebangan harus dilakukan pada pukul 11-12 siang. Pemilihan waktu ini bertujuan mengurangi kandungan gula pada ruas bambu.
"Gula pada bambu disukai rayap bambu. Bila kandungan gulanya berkurang, tidak ada rayap yang mau memakan bambu, sehingga bambu tidak cepat rontok," kata Pon. Selain itu, penebangan bambu tidak dilakukan pada bulan purnama. "Sebab, seperti air pasang, bambu di bulan purnama sedang berada pada masa subur, sehingga banyak mengandungan glukosa."
Bambu lalu diawetkan dengan direndam di sungai dan air laut atau disuntikkan cairan boraks dalam relungnya, kemudian dijemur dalam keadaan berdiri. Pengeringan bambu dapat dipersingkat dengan cara dipanggang di dalam oven. Setelah diawetkan, bambu dipilah-pilah berdasarkan dimensi dan daya lenturnya.
Pengelompokan dilakukan agar bambu memililki karakter yang sama untuk digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan. "Tes lentur adalah tes yang dilakukan untuk mendapatkan lentur bambu yang diinginkan," kata Pon. Sayangnya, menurut Pon, belum ada tes lentur bambu yang cukup akurat di Indonesia. Meski begitu, tukang yang biasa menggunakan bambu untuk konstruksi bangunan pada umumnya memiliki kemampuan memperkirakan daya lentur bambu.
Setelah melalui proses pengeringan dan tes lentur, bambu dipasangkan pada dudukan beton setinggi 1 meter dengan luas bidang 50 x 50 sentimeter yang sudah disiapkan. Sebelumnya, dalam tubuh bambu yang digunakan sebagai konstruksi dasar dimasukkan besi sepanjang satu meter dan dicampuri semen, lalu ditanam dalam dudukan beton.
Dalam melaksanakan konstruksi dengan metode ini diperlukan banyak inovasi teknik sambungan konstruksi bambu. Bambu sepanjang 6-12 meter untuk konstruksi dasar, di beberapa bagiannya, diikat dengan klem dari pelat baja antikarat selebar 3 sentimeter. Diameter klem disesuaikan dengan besar-kecilnya bambu. Penggunaan klem bertujuan agar bambu tidak pecah.
Setelah terpasang sebagai dasar konstruksi dalam dudukan beton, bambu kembali diuji dengan tes beban yang langsung dilakukan di tempat. Caranya dengan menggantungkan karung-karung pasir pada titik tumpu. Berat karung pasir ini disesuaikan dengan beban struktur yang diperhitungkan sebelumnya (rata-rata 25 kilogram).
"Kalau bambu digantungi karung pasir memiliki lendutan (lekukan ke bawah ujung bambu) masih dalam batas, artinya konstruksi sudah oke," ujar Pon. Tes beban diperlukan karena pemasangan rangka atap dan teritisan banyak menuntut bentuk lengkungan bambu.
Tahap selanjutnya adalah pemasangan rangka atap dan teritisan. Dalam tahap ini pengikat pelat baja antikarat kembali digunakan, terutama pada konstruksi rangka atap yang memerlukan panjang bambu lebih dari 12 meter. Sebab, panjang bambu yang didapat di wilayah Rancamaya rata-rata 12-14 meter.
Pemasangan pelat baja yang sama juga diterapkan dalam penyambungan bambu untuk pembuatan rangka atap dan teritisan amfiteater. Karena bambu yang digunakan lebih kecil dari bambu betung, metode penyambungan yang dilakukan tidak serumit yang diterapkan pada bambu sebagai dasar konstruksi. "Kesulitannya hanya mencari bahan untuk atap (talahab), karena jenis bambu yang diperlukan benar-benar layak tebang dan tidak banyak bambu kecil seperti itu," kata Pon.
Setelah rangka atap dan teritisan terbangun, baru dipasang penutup atap dari bitumen dan penutup teritisan dari bambu-bambu yang dirangkai seperti rumbai. Dalam proses inilah kekuatan bambu sebagai konstruksi utama Rangon Seni Rancamaya teruji. Bentuk konstruksi kerucut terbalik ini, sejak dibangun pada 2008, hingga saat ini tetap tegak berdiri menyanggap atap dan teritisan yang sangat besar.
Sebagai pusat kebudayaan Sunda, Rangon Seni Rancamaya, yang berdiri di atas lahan 8.000 meter persegi, terlihat sederhana tapi megah. Bangunan terbuka ini mampu menampung sekitar 500 penonton. Di sekitarnya tersedia fasilitas umum, seperti musala dan toilet.
Berdekatan dengan amfiteater itu terdapat pula dua bangunan untuk galeri seni yang konstruksi dasarnya juga terbuat dari bambu. Sayangnya, saat Tempo berkunjung, salah satu atap bangunan galeri seni itu telah hancur tertimpa pohon. "Iya, atapnya tertimpa pohon yang roboh karena angin puting beliung. Tapi konstruksi dasarnya yang dari bambu tetap kokoh berdiri," kata Al Hilal.
Dibangun selama setahun lebih, karena berganti tim perancang arsitektur, amfiteater Rangon Seni Rancamaya menggunakan seribu batang bambu. Enam ratus batang digunakan sebagai konstruksi dasar dan sisanya sebagai scaffolding (steiger) atau rangka yang bisa dipindah-pindah, yang sering dipakai untuk keperluan konstruksi dan biasanya digunakan untuk menjangkau tempat tinggi.
Al Hilal tak mau mengungkapkan berapa biaya pembangunan keseluruhan kompleks Rangon Seni Rancamaya. Ia hanya menyebutkan harga bambu saat itu. "Bambu untuk steiger Rp 20 ribu per batang, sedangkan bambu betung untuk konstruksi dasar Rp 50 ribu per batang," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo