Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gang sempit itu menuju sebuah rumah susun berdinding kayu tua dan pipa-pipa saluran air hujan yang berkarat. Papan kayu rumah itu rapuh dan menghitam dimakan usia. Cat cokelat dindingnya sudah kabur dan mengelupas di sana-sini. Beberapa sepeda terparkir di satu sisi gang yang terletak di kawasan Suginami Ward, Tokyo, Jepang, itu.
Haruo Hayashizaki hidup dalam sunyi di salah satu unit rumah di rumah susun itu. Sepanjang siang, dia ngendon di rumah saja sambil menonton televisi. "Dia jarang berbincang dengan tetangga. Saya tak pernah melihatnya bersama seseorang," kata tetangganya.
Pada usia 71 tahun, dia mencoba bertahan hidup dengan uang pensiun 240 ribu yen atau sekitar Rp 26 juta setiap dua bulan. Kepada tetangganya, dia selalu mengeluhkan uang pensiun yang tak cukup untuk mencicil utang dan membayar sewa rumah kontrakannya.
Hayashizaki dulu bekerja sebagai penyanyi kelompok pertunjukan rakyat keliling selama 30 tahun. Dia lalu berganti profesi jadi tukang merobohkan bangunan, pengemudi bus sekolah taman kanak-kanak, dan terakhir dia bekerja di perusahaan kebersihan. Kini dia menghabiskan waktu mengumpulkan kaleng aluminium untuk didaur ulang.
Utangnya banyak. Di kamarnya ada sekitar 200 bukti pembayaran, yang nilainya 7.000-10.000 yen, ke rekening pinjaman bank. Ada pula bukti transfer 70-100 ribu yen lebih ke nomor rekening pribadi, yang diduga cicilan utang.
Hayashizaki sebetulnya punya kakak perempuan yang tinggal di Prefektur Iwate. Tapi dia tak pernah meminta bantuannya. Beberapa hari sebelum tragedi itu, dia menelepon kakaknya. "Aku tak bisa hidup dengan pensiunan 120 ribu yen sebulan. Tapi bukan berarti aku bisa melakukan bunuh diri di depan gedung DPR," katanya melalui telepon.
Lalu tibalah hari tragedi itu. Hayashizaki naik gerbong pertama kereta api supercepat Shinkansen pada 30 Juni lalu. Di tengah jalan, dia mengambil jeriken berisi 10 liter bensin dari ransel untuk disiramkan ke tubuhnya. Dia membakar diri dan tewas.
Bunuh diri merupakan gejala sosial yang mengkhawatirkan di Jepang. Tahun lalu, lebih dari 25 ribu orang mencabut nyawanya sendiri. Artinya, sekitar 70 orang meninggal setiap hari dan kebanyakan adalah lelaki. Angka ini enam kali lipat dari jumlah kecelakaan lalu lintas di negeri itu.
Jumlah itu memang tak membuat Jepang menjadi negara dengan angka bunuh diri tertinggi di antara negara-negara maju—rekor itu dipegang Korea Selatan. Tapi jumlah itu jauh di atas semua negara kaya.
Mengapa Hayashizaki melakukan bunuh diri? Profilnya termasuk dalam ciri-ciri umum pelaku bunuh diri di Negeri Sakura masa kini: tua, hidup sendirian di rumah susun, terisolasi, miskin, dan banyak utang. "Terisolasi merupakan ciri nomor satu bagi depresi dan bunuh diri," kata Wataru Nishida, psikolog dari Temple University, Tokyo, kepada BBC.
"Sekarang semakin biasa kita membaca kisah tentang orang tua yang meninggal sendirian di rumah susun," kata dosen yang sempat menjadi guru besar paruh waktu di Drexel University di Amerika Serikat itu. "Mereka diabaikan. Di Jepang dulu anak-anak biasa merawat orang tuanya, tapi kini tidak lagi."
Hayashizaki adalah kasus terbaru dan paling ramai diperbincangkan belakangan ini. Jepang punya sejarah panjang dengan bunuh diri. Orang sering menyebut tradisi "bunuh diri terhormat" sebagai penjelasan tentang tingginya angka bunuh diri di sana. Ini merujuk pada praktek samurai pada zaman dulu yang melakukan seppuku atau kamikaze yang dilakukan pilot-pilot muda pada Perang Dunia II. Di Jepang, kata Nishida, "Bunuh diri bukanlah dosa. Malah banyak orang yang memandangnya sebagai cara untuk bertanggung jawab."
Ken Joseph dari Japan Helpline, layanan darurat nasional Jepang, mengiyakannya. Menurut pengalamannya, selama 40 tahun terakhir, orang-orang lanjut usia dengan masalah keuangan memandang bunuh diri sebagai jalan keluar.
Di negeri itu, orang yang melakukan bunuh diri mendapat santunan, karena sejak 2015 kebanyakan perusahaan asuransi jiwa menetapkan batas waktu untuk pengecualian kasus bunuh diri, biasanya tiga tahun setelah asuransi diambil. "Jadi, bila segala cara gagal, sebagian orang berpikir, 'Kamu bunuh diri saja dan asuransi akan membayarnya'," kata Joseph.
Dalam kenyataannya, kini tak cuma orang tua bermasalah yang memutuskan melakukan bunuh diri. Jumlah kasus anak muda juga merambat naik dengan cepat. Bunuh diri telah menjadi pembunuh terbesar di Jepang masa kini untuk pria usia 20-40 tahun.
Beberapa bukti mengindikasikan bahwa anak-anak muda itu melakukan bunuh diri karena kehilangan harapan dan tak mampu mencari bantuan. Angka mereka mulai meningkat setelah krisis moneter Asia pada 1998. Jumlah itu naik lagi setelah krisis keuangan dunia 2008.
Sebenarnya pergerakan angka itu sudah dimulai pada 1986. Pada Januari tahun itu, seorang anak sekolah menengah pertama melakukan bunuh diri dengan meninggalkan catatan bahwa dia dirisak teman sekelas. Media massa menulisnya secara luas dan, entah tertular entah karena pengaruh lain, sejumlah pelajar melakukan bunuh diri setelah itu. Selanjutnya, pada April, penyanyi pop muda Yukiko Okada melakukan bunuh diri dengan meloncat dari lantai tujuh kantor Sun Music Agency. Dua pekan setelah itu, lebih dari 30 remaja juga melakukan bunuh diri.
Dalam 2014 White Paper on Suicide Prevention in Japan, peneliti dari Polisi Nasional Jepang menyatakan lelaki paling banyak melakukan bunuh diri, dengan porsi 68,9 persen. Berdasarkan usia, statistik menunjukkan orang lanjut usia (di atas 60 tahun) menduduki posisi tertinggi dengan 17,3 persen kasus, disusul usia 40-an (16,8 persen), usia 50-an (16,4 persen), dan usia 70-an (13,9 persen).
Mereka juga menyimpulkan faktor utama penyebab bunuh diri adalah masalah kesehatan, diikuti masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah pekerjaan, dan lainnya. "Urutan ini belum berubah sejak kenaikan tajam angka bunuh diri (pada 1998) sampai sekarang," tulis mereka.
Wataru Nishida menuding Internet dan pornografi online sebagai penyebabnya. "Anak muda Jepang punya pengetahuan luas tapi tak punya pengalaman hidup. Mereka tak tahu bagaimana mengekspresikan emosinya," katanya. "Mereka lupa seperti apa menyentuh seseorang. Ketika mereka berpikir soal seks, mereka sangat cemas dan tak tahu bagaimana menanganinya."
Perkara penyakit mental masih tabu dan depresi dipahami secara sempit. Orang yang merasakan gejalanya sering takut membicarakannya.
Sistem kesehatan mental di Negeri Matahari Terbit juga kacau. Jumlah psikiater sangat sedikit dan tak ada tradisi psikiater bekerja sama dengan psikolog klinis. Pasien mungkin mendapat obat psikotropika yang ampuh, tapi sering tak direkomendasikan untuk berkonsultasi ke psikolog.
"Ketika orang melihat acara perbincangan tentang penyakit mental di televisi, mereka masih bertanya apakah 'depresi sama dengan bunuh diri'. Itu yang perlu diubah," kata Nishida.
Kementerian Kesehatan Jepang juga sedang berjuang mengurangi kasus bunuh diri menjadi 22 ribu pada 2010. Tahun lalu mereka mengeluarkan paket program senilai Rp 2,9 triliun, yang mencakup peningkatan pelayanan konseling dan pemantauan situs yang mendorong orang melakukan bunuh diri.
Kurniawan (BBC, The Japan Times)
Jumlah Kasus Bunuh Diri di Jepang | |||
Tahun | Total | Pria | Wanita |
1978 | 20,788 | 12,859 | 7,929 |
1979 | 21,503 | 13,386 | 8,117 |
1980 | 21.048 | 13.155 | 7.893 |
1981 | 20.434 | 12.942 | 7.492 |
1982 | 21.228 | 13.654 | 7.574 |
1983 | 25.202 | 17.116 | 8.086 |
1984 | 24.596 | 16.508 | 8.088 |
1985 | 23.599 | 15.624 | 7.975 |
1986 | 25.524 | 16.497 | 9.027 |
1987 | 24.460 | 15.802 | 8.658 |
1988 | 23.742 | 14.934 | 8.808 |
1989 | 22.436 | 13.818 | 8.618 |
1990 | 21.346 | 13.102 | 8.244 |
1991 | 21.084 | 13.242 | 7.842 |
1992 | 22.104 | 14.296 | 7.808 |
1993 | 21.851 | 14.468 | 7.383 |
1994 | 21.679 | 14.560 | 7.119 |
1995 | 22.445 | 14.874 | 7.571 |
1996 | 23.104 | 15.393 | 7.711 |
1997 | 24.391 | 16.416 | 7.975 |
1998 | 32.863 | 23.013 | 9.850 |
1999 | 33.048 | 23.512 | 9.536 |
2000 | 31.957 | 22.727 | 9.230 |
2001 | 31.042 | 22.144 | 8.898 |
2002 | 32.143 | 23.080 | 9.063 |
2003 | 34.427 | 24.963 | 9.464 |
2004 | 32.325 | 23.272 | 9.053 |
2005 | 32.552 | 23.540 | 9.012 |
2006 | 32.155 | 22.813 | 9.342 |
2007 | 33.093 | 23.478 | 9.615 |
2008 | 32.249 | 22.831 | 9.418 |
2009 | 32.845 | 23.472 | 9.373 |
2010 | 31.690 | 22.283 | 9.407 |
2011 | 30.651 | 20.955 | 9.696 |
2012 | 27.858 | 19.273 | 8.585 |
2013 | 27.283 | 18.787 | 8.496 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo