Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jiang Min, perempuan yang tumbuh di Cina timur, selalu merindukan sebuah epik perjalanan di sepanjang Jalur Sutra (Silk Road) kuno yang melintasi pegunungan, gurun terpencil, bazar yang sibuk, dan kota yang bangunannya dari bata lumpur. Auditor di lembaga keuangan di Shanghai ini menjelajahi bagian dari jalur eksotis itu beberapa tahun lalu dan berencana menelusurinya kembali tahun ini.
Tapi Jiang punya memori buruk atas ekspedisinya itu. "Dalam ingatan saya, Jalur Sutra adalah jalan yang penuh petualangan serta 'siksaan' dalam berbagai cara: jalannya bergelombang, restoran dan penginapan lusuh di sepanjang perjalanan, dan toiletnya yang bau," kata perempuan 27 tahun itu, seperti dilansir Chinanews.com, 7 Juli lalu. "Ibuku mengolok-olok saya karena menghabiskan uang untuk menikmati penderitaan."
Jalur Sutra—disebut Silu dalam bahasa Cina—adalah nama populer untuk jalur transportasi strategis kuno yang bermula dari Cina, melewati Asia Tengah, Asia Barat, dan Afrika, lalu menuju Eropa. Jalur perdagangan yang dirintis sejak era dinasti Han (206 SM-220 M) itu dimulai dari ibu kota kekaisaran dinasti Han di Chang' an (kini Xian), melintasi Xinjiang, menuju Eropa.
Para pejabat Cina menyadari keluhan para pelesir seperti Jiang dan yakin pada tahun-tahun berikutnya banyak hal yang akan berubah dan memori buruk semacam itu tak akan ditemukan lagi. Sebab, daerah di sepanjang rute tersebut akan diguyur uang miliaran untuk pengembangan pariwisata, sebagai bagian dari kesempatan yang diberikan oleh Inisiatif One Belt, One Road, nama resmi dari revitalisasi "Jalur Sutra Baru" pemerintah Cina di bawah kepemimpinan Xi Jinping.
Inisiatif untuk memulihkan kejayaan jalur perdagangan legendaris itu dikemukakan Xi dalam sebuah kunjungan ke Kazakstan dua tahun lalu. Penguasa Cina kelahiran Beijing, 15 Juni 1953, yang disebut sebagai "Han muda" karena upayanya menghidupkan jalur perdagangan strategis lama itu menyampaikan bahwa Cina dan negara di Asia Tengah perlu bekerja sama membangun apa yang kemudian dikenal sebagai One Belt, One Road Initiative. "Itulah pertama kalinya pemimpin Cina ini menyinggung visi strategisnya tersebut," tulis Xinhua.net.
Inisiatif itu, yang dijuluki sebagai "Jalur Sutra Baru", meliputi dua hal: Jalur Sutra Sabuk Ekonomi dan Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21. Proyeknya meliputi pembangunan jaringan kereta api, jalan raya, jaringan pipa minyak dan gas, jaringan listrik, jaringan Internet, penghubung infrastruktur maritim, dan lainnya, yang akan menyatukan Cina dengan negara tetangganya. Jaringan itu akan menghubungkan sekitar 4,4 miliar orang atau sekitar 63 persen populasi dunia.
Jalur perdagangan tersebut akan menghubungkan Cina dengan Asia Tengah, Rusia, dan Eropa (Baltik), mengkoneksikan Cina dengan Teluk Persia dan Laut Mediterania melalui Asia Tengah dan Samudra Hindia. Sedangkan Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21 dirancang bermula dari pantai Cina menuju Eropa melalui Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia di satu rute, dan dari pantai Cina melalui Laut Cina Selatan ke Pasifik Selatan di sisi lainnya.
Chi Lo, ekonom senior BNP Paribas Investment Partners, dalam South China Morning Post pada 30 Juni lalu, mengatakan rencana Xi adalah menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa melalui investasi dalam proyek-proyek infrastruktur dengan menggunakan sumber daya keuangan yang luas, termasuk US$ 40 miliar Silk Road Fund, US$ 100 miliar dari Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), dan US$ 50 miliar dari New Development Bank.
Berbicara di sela-sela acara tingkat tinggi di Kota Boao, Cina, 29 Maret lalu, Xi menyatakan inisiatif tersebut akan merangsang perdagangan dan investasi antara Cina dan negara-negara di sepanjang rute kuno itu. "Kami berharap volume perdagangan tahunan antara Cina dan negara-negara ini melampaui US$ 2,5 triliun dalam satu dekade, atau lebih," kata Xi di depan perwakilan pengusaha Cina dan luar negeri. Sebagai perbandingan, perdagangan Cina dengan Uni Eropa pada 2013 sebesar US$ 466,1 miliar.
Inisiatif Xi secara kasatmata akan memperluas akses ekonomi Cina ke sekitarnya. Begitu juga sebaliknya. Menurut Shuaihua Wallace Cheng, direktur lembaga pemikir yang berbasis di Jenewa, International Centre for Trade and Sustainable Development, jalur itu akan membuat Cina memiliki akses yang lebih baik untuk energi dan makanan, serta menjadi kurang bergantung pada rute transportasi yang dikendalikan militer Amerika. "Sejauh ini sekitar 80 persen dari impor minyak Cina melalui Selat Malaka, jalur ramai di bawah kendali militer Amerika dan entitas komersial non-Cina," kata Cheng dalam YaleGlobal edisi 28 Mei 2015.
Dengan jalur baru ini, menurut Cheng, Cina bisa melalui pelabuhan laut dalam Gwadar di Pakistan, yang akan mempersingkat 85 persen jarak antara Cina dan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, daripada melalui Selat Malaka. Gwadar adalah bagian dari Koridor Ekonomi Cina-Pakistan. Cina telah menandatangani perjanjian investasi senilai US$ 46 miliar—sekitar seperlima dari produk domestik bruto tahunan Pakistan dan 10 kali investasi Amerika Serikat di Pakistan—untuk menghubungkan kedua negara dengan kereta api, jalan, jaringan pipa, dan kabel optik.
Pembuatan Jalur Sutra abad modern itu, menurut Chi Lo, merupakan jawaban Beijing dalam menghadapi dua perjanjian perdagangan yang disponsori Amerika, yaitu Kemitraan Trans-Pasifik serta Kemitraan Perdagangan dan Investasi Transatlantik. "Dua perjanjian dagang itu tanpa melibatkan Cina dan dianggap sebagai upaya membendung Cina," ujar Chi Lo.
Sejak 2010, Amerika telah bekerja sama dengan Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Filipina, Australia, dan India dalam upaya "poros ke Asia". Manuver Amerika ini menyulitkan Cina untuk memperluas pengaruhnya ke timur dan mendorongnya memikirkan kembali strateginya. "Melalui Jalur Sutra Baru, Beijing memperluas wilayahnya ke barat," kata Chi Lo.
Senada dengan Chi Lo, Cheng menyebut inisiatif Xi Jinping ini memang sebagian didorong oleh kebijakan "Poros ke Asia" Presiden Barack Obama, yang diumumkan pada 2011. Poros ke Asia itu akan ditandai dengan pemindahan sekitar 60 persen pasukan Amerika ke Asia pada 2020, yang akan menjadi tantangan bagi Cina, dan negosiasi Kemitraan Trans-Pasifik dengan sekutunya. "Dampak de facto dari kebijakan pembendungan ini adalah mencegah Cina memperluas pengaruhnya ke timur dan selatan," kata Cheng.
Min Ye, dalam Foreign Policy edisi 10 November 2014, menyebut Kemitraan Trans-Pasifik sebagai strategi ekonomi dan politik nyata untuk "membendung Cina". Namun Cheng ragu akan efektivitasnya. Kapasitas manufaktur Cina, pasar domestik, dan cadangan devisa yang cukup besar membuat negara itu bisa membuat lingkaran ekonomi sendiri. Banyak negara juga tak mendukung langkah Amerika untuk membendung Cina. "Meskipun ada peringatan Amerika untuk tak bergabung dengan AIIB, kebanyakan negara besar, 57 negara, mengajukan aplikasi sebagai anggota pendiri AIIB," tulis Cheng.
Menurut Reuters, proyek "Jalan Sutra" baru dan AIIB (sebagai bank penyokongnya) menjadi tantangan langsung terhadap Amerika yang mendominasi lembaga keuangan dan perdagangan di kawasan ini, termasuk di Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Menurut Reuters edisi 12 November 2014, diplomat Amerika melakukan manuver mati-matian untuk membatasi dampak dari diplomasi ekonomi Cina itu.
Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menolak perbandingan Jalur Sutra baru ini dengan Marshall Plan, inisiatif Amerika dengan memberikan uang sekitar US$ 13 miliar untuk membangun kembali ekonomi Eropa setelah Perang Dunia II berakhir. Menurut Wang Yi, seperti dikutip kantor berita Xinhua, One Belt, One Road Initiative ini adalah "produk dari kerja sama yang inklusif, bukan alat geopolitik, dan tidak boleh dilihat dengan 'mentalitas usang' Perang Dingin".
Abdul Manan (Xinhua.net, Ecns.cn, Foreign Policy, Reuters)
Hikayat 'Jalur Sutra' Baru
September 2013
Konsep Jalur Sutra Sabuk Ekonomi diperkenalkan Presiden Cina Xi Jinping selama kunjungannya ke Kazakstan.
Oktober 2013
Xi mengusulkan pembangunan komunitas Cina-ASEAN dan menawarkan panduan pembangunan Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21. Saat berpidato di Indonesia, Xi mengusulkan pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Jalur Sutra.
Februari 2014
Xi dan Presiden Rusia Vladimir Putin mencapai konsensus mengenai Jalur Sutra Baru dan menghubungkannya dengan kereta api Euro-Asia, yang digagas Rusia.
Mei 2014
Tahap pertama dari pembangunan terminal logistik bersama yang dibangun Cina-Kazakstan beroperasi di Pelabuhan Lianyungang, Provinsi Jiangsu, Cina. Terminal dengan total investasi US$ 98 juta itu dianggap sebagai platform bagi barang dari Asia Tengah untuk mencapai pasar luar negeri.
Oktober 2014
Sebanyak 21 negara Asia bersedia bergabung sebagai anggota pendiri AIIB. Beijing disepakati menjadi kota tuan rumah kantor pusat AIIB.
November 2014
Presiden Xi mengumumkan bahwa Cina akan berkontribusi US$ 40 miliar untuk Silk Road Fund.
Januari 2015
Jumlah negara anggota pendiri AIIB menjadi 26 setelah Selandia Baru, Maladewa, Arab Saudi, dan Tajikistan resmi bergabung.
28 Maret 2015
Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional Departemen Luar Negeri Cina dan Kementerian Perdagangan merilis sebuah rencana aksi dan prioritas kerja sama Inisiatif One Belt, One Road.
29 Juni 2015
Penandatanganan secara resmi bergabung dalam AIIB oleh 57 negara, termasuk sekutu Amerika, seperti Inggris, Jerman, dan Korea Selatan.
6 Juli 2015
Otoritas Internet Cina dan Uni Eropa, dalam pertemuan di Brussel, Belgia, mengumumkan adanya investasi bersama untuk menghubungkan sektor cyber dan digital Eropa dan Jalur Sutra.
8 Juli 2015
Otoritas Pelabuhan Antwerp, Belgia, membentuk kelompok kerja untuk menghubungkan pelabuhan itu dengan Jalur Sutra.
Sumber: Xinhua.net, chinadaily.com, BBC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo