DI selang-selingi dengan sedotan cerutunya, Hassanein Heikal
berkisah mengenai tawaran Presiden Sadat kepadanya untuk jadi
wakil perdana menteri 3 tahun silam. "Saya amat bersyukur, saya
ucapkan terima kasih. Tapi pekerjaan saya adalah inl," kata
Heikal sambil menunjuk pada sejumlah buku yang terletak rapi
dalam ruang studinya yang sejuk. Tambahnya pula: "Di Mesir ini
anda selalu bisa menemukan 2000 orang yang bisa jadi menteri,
tapi hanya 10 atau 15 orang yang bisa jadi wartawan."
Heikal, sahabat kental almarhum Presiden Nasser, tiba-tiba
menarik perhatian internasional pekan silam, setelah lama tidak
kedengaran kabar beritanya. Menjadi wartawan sejak 35 tahun
silam, Heikal amat populer pertama kali lewat kolom politiknya
yang terbit setiap Jumat pada harian Al Ahram yang dipimpinnya
sendiri.
Tapi itu terjadi beberapa tahun yang lalu, ketika Nasser masih
hidup. Setelah kepergian Nasser, Heikal dengan cepat menemukan
dirinya tidak sejalan dengan Presiden Sadat. Dan di awal tahun
1974, Sadat berhasil menyingkirkan Heikal dari pimpinan koran
terkemuka Mesir itu. Sejak itu Heikal hanya menulis buku atau
menulis kolom untuk ko.an-koran di luar negeri.
Yang Jelek-Jelek
Munculnya kembali nama Heikal pekan silam, tidak bisa dipisahkan
dari pertentangan pandangannya dengan Sadat. Ini terbukti dari
adanya larangan bagi Heikal untuk ke luar negeri dan bahwa ia
harus bersiap-siap untuk menghadapi pemeriksaan jaksa.
Tuduhannya Menulis artikel yang "memfitnah dan membahayakan
pertahanan tanah air," kata Jenderal Ismail, menteri dalam
negeri Mesir.
Mendengar putusan pemerintah atas dirinya itu, Heikal kelihatan
tetap tenang. Tapi ia kemudian berkata: "Saya amat mencintai
negeri ini. Saya ingin hidup, bekerja dan mati di negeri ini.
Lalu bagaimana mungkin saya menulis yang jelek-jelek mengenai
Mesir." Berhenti sejenak, Heikal kemudian berkata pula:
"Perbedaan pendapat, buat saya, bukanlah suatu tindakan
kriminil."
Untuk membuktikan ucapannya, Heikal mengungkapkan tawaran
Muammer Gaddafi dari Libya kepadanya ketika ia dicopot dari Al
Abram. Kepada Heikal, Presiden Gaddafi katanya berkata waktu
itu: "Anda dengan senang hati dipersilakan datang ke Libya, dan
menduduki jabatan apa saja yang anda hendaki." Tapi Heikal,
katanya, cuma berkata: "Biarkanlah saya tetap di Mesir, mengabdi
untuk negeri saya."
Dan salah satu cara pengabdian Heikal adalah menulis sejujur
mungkin, termasuk di dalamnya kejujuran dalam menilai
kebijaksanaan Presiden Sadat. Dalam urusan inilah Heikal
mengalami kesulitan, sehingga tulisannya tidak boleh disiarkan
di dalam negeri sejak tahun 1974 yang lalu.
Pekan silam, bersama dengan Heikal, 46 wartawan Mesir lainnya
juga mengalami nasib pahit yang sama. Bahkan sejumlah wartawan
Mesir yang bekerja di luar negeri -- London, Paris, Tripoli,
Beirut dan Bagdad -- dipanggil pulang. Semua mereka kini
menghadapi tuduhan yang sama dengan yang dituduhkan kepada
Heikal. Sebuah sumber di kalangan pemerintah Mesir mengungkapkan
bahwa kemungkinan besar para wartawan ini akan dihukum dengan
pencabutan hak kewartawanan mereka. Ini berarti bahwa mereka
akan kehilangan hak menulis, di Mesir atau di luar negeri.
Dianggap Lemah
Kendati diancam dengan hukuman yang berat, Heikal toh kelihatan
tidak gentar. Lewat sebuah wawancara panjangnya dengan koran
kiri Mesir, Al Ahali, beberapa waktu yang lalu, Heikal secara
terbuka menuduh Sadat telah gagal dengan diplomasi
Yerussalem-nya yang bermula pada kunjungan Sadat ke Israel
Nopember tahun silam. Lewat wawancara yang sama, Heikal juga
menilai pemerintah sekarang sebagai "salah menilai masa
pemerintahan almarhum Nasser."
Bukan rahasia lagi bahwa soal Nasser ini memang merupakan
'masalah peka bagi Sadat. Tidak lama setelah Nasser meninggal,
Sadat -- tadinya dianggap lemah dan dinilai kurang bisa
menggantikan Nasser -- melemparkan berbagai kebijaksanaan yang
sulit dibayangkan bisa terjadi seandainya Nasser masih hidup.
Segala yang berbau Nasser sedapat mungkin disingkirkan
Pencopotan Heikal dari Al Ahram adalah salah satu tindakan dalam
rangka de-Nasserisasi itu, meski Sadat tahu bahwa Heikal ini
adalah orang yang bahkan Nasser juga tidak luput dari
kecamannya. Syahdan maka jika sekarang ini Sadat dikecam oleh
Heikal seorang yang gandrung pada ide non-blok -- lantaran
kedekatannya dengan Amerika Serikat, dulu Nasser dikecam
lantaran terlalu akrab dengan Uni Soviet.
Identitas
Barangkali memang Sadat tidak sebesar Nasser. Karena itu daya
tahannya terhadap kritik juga tidak setangguh orang yang
digantikannya. Tapi soalnya juga bisa dilihat dari sudut lain.
Bersama dengan kritik Heikal yang terbuka, terhadap Sadat muncul
pula sejumlah kritik yang ditulis oleh para wartawan yang
menyembunyikan identitas mereka.
Karangan-karangan tentang Mesir itu banyak muncul di koran-koran
Libya, Irak atau Libanon, dan sebagian besar ditulis oleh
"Putera Mesir". Tapi justru dari tulisan-tulisan inilah
terungkapnya kebobrokan ekonomi Mesir serta manipulasi yang
melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Perdana Menteri Mamduh
Salim dan ketua parlemen, Mustafa Marei. Kecaman jenis
terakhirini kabarnya memang tidak pernah terdengar pada zaman
Nasser.
Sadat menjadi lebih berang lagi ketika beberapa waktu yang lalu
ditangkap suatu komplotan yang dituduh mau menggulingkan dirinya
dari kekuasaan. Komplotan yang menamakan diri Front Pembebasan
Mesir itu, anggotanya semuanya adalah orang-orang dekat almarhum
Nasser. Tiga tokoh kelompok itu yang berhasil ditangkap adalah:
Abdul Majid Sharif (bekas penasehat Nasser), Mustafa Nasser
(saudara Nasser), Nyonya Hikmat Abu Zaid (wanita pertama yang
diangkat Nasser menjadi menteri). Kekuatan militer di belakang
komplotan ini, katanya, dilatih oleh Gerilyawan Palestina dan
dipersenjatai oleh Libya.
Keadaan macam inilah rupanya yang mendesak Sadat untuk mengambil
tindakan drastis dan menyeluruh terhadap pihak-pihak yang tidak
sejalan dengan kebijaksanaannya. Lewat sebuah referendum yang
diadakan pada pertengahan bulan silam, Sadat berhasil mendapat
dukungan luas bagi tindakannya untuk menyingkirkan
lawan-lawannya yang kiri maupun yang kanan. Dalam rangka itulah
terjadinya penahanan 150 orang serta pemeriksaan besar-besaran
terhadap sejumlah wartawan -- di suatu masa ketika Sadat mencoba
mengurangi kekangan pemerintah di segala bidang kehidupan.
Seorang pengamat mengatakan: "Sadat senang dengan hasil
demokrasi, tapi tak mau menanggung kerepotannya -- yaitu
menerima kritik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini