Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Iklan, Syair Gibran, Dan Jaksa Agung

Iklan berjudul renungan bagi orang tua yang dikutip dari salah satu lirik khalil gibran, dianggap bertentangan dengan p4. Jaksa Agung akan melarang pemasangan iklan itu tanpa sanksi.(nas)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELERA ketemu Presiden, Sabtu siang kemarin Jaksa Agung Ali Said menarik perhatian wartawan. Ia melihat sebuah iklan yang dianggap bertentangan dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Jelasnya: dianggap menyebarkan faham "individualisme yang liberalistis", bertentangan dengan asas kekeluargaan seperti yang dimaui dalam P-4. Di lain pihak menurut Jaksa Agung iklan itu juga bisa dinilai mengandung pandangan komunisme yang memisahkan anak dari orangtua -- menjadi "anak negara". Ali Said curiga, "mengapa iklan itu disajikan justru setelah MPR menetapkan TAP tentang P-4?" Tapi sampai minggu lalu belum terdengar pengumuman pelarangannya. Ali Said sendiri baru mempersoalkannya meskipun ia cenderung melarany:nya. Kemungkinan pelarangan itu, "dalam waktu singkat akan saya umumkan," katanya. "Sebab melihat isinya, jelas kita tidak bertanggungjawab kalau terus membiarkannya beredar." Yang sedikit menggembirakan terhadap media yang memuatnya tidak akan dikenakan tindakan apa-apa. "Kalau nanti sudah dilarang, ya sudahlah," tambahnya. Dan Ali Said menyatakan kesediaannya berdialog dengan sponsor iklan tersebut. Diduga keras, pelarangan akan turun minggu ini. Dan itu yang pertama kalinya terjadi. Iklan yang dimaksud adalah iklan public service (pelayanan masyarakat) yang non-komersiil, dirancang oleh perusahaan iklan Matari Advertising bekerjasama dengan beberapa media yang memuatnya. Menurut pihak Matari, teks iklan tersebut ditawarkan kepada selusin penerbitan di ibukota dan daerah. Antara lain Suara Karya, Berita Buana, Pos Kota, Sinar Harapan, Femina, Selecta, TEMPO, Sinar Indonesia Baru, Waspada (Medan), Suara Merdeka (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Pikiran Rakyat (Bandung). Tapi Ali Said baru membacanya dari Selecta dan TEMPO. Bukan Milik Iklan berjudul Renungan bagi Orang Tua itu bergambar seorang ibu dengan anaknya. Teksnya dikutip dari salah sebuah lirik pujangga Libanon Gibran Khalil Gibran (1883-1933), yang beragama Roma Katolik sekte Maronite. Bunyinya antara lain: "Puteramu bukanlah puteramu. Mereka adalah putera-puteri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri. Mereka datang melalui kamu, tapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu, mereka bukanlah milikmu." Gibran juga dikenal sebagai pemikir, eseis, penulis novel dan cerpen, pernah 3 tahun belajar melukis pada Auguste Rodin di laris. Menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab dan Inggeris, salah sebuah bukunya, The Pruphet, di tahun 50-an pernah diterjemahkan oleh Almarhum Bahrum Rangkuti dengan judul An-Nabi, Gibran yang sejak kecil hijrah ke Boston AS itu, meninggal di New York sebagai pujangga yang masyhur. Dengan lirik -- yang dikutip iklan tersbut -- barangkali Gibran ingin mengisyaratkan bahwa anak adalah mahluk bebas, "titipan" dari Tuhan kepada orangtua, dan bukan milik orangtua itu. Tapi rupanya Jaksa Agung menafsirkannya lain "anak mempunyai pendirian sendiri dan tak perlu melanjutkan cita-cita orang tua." Dan hal itu dianggapnya "bertentangan dengan P4, cita-cita kita bersama yang akan kita wariskan, yang berkaitan dengan kepentingan bangsa." Menurut Paul W. Karmadi, Direktur Keuangan & Media Matari Advertising, "tak ada niat perusahaannya untuk menjelek-jelekkan Pancasila. Iklan itu tak ada sangkut-pautnya dengan politik." Katanya lagi, "iklan itu ingin membantu pemerintah menyadarkan orangtua agar mendorong maju anak-anak sesuai dengan bakatnya." Paul minggu kemarin datang ke Kejaksaan Agung dan Departemen Penerangan menjelaskan persoalannya. Iklan itu rupanya lahir bersamaan ulangtahun Matari yang ke 7 tanggal 5 Mei lalu. Dalam pesta kecil di Hotel Sahid Jakarta, iklan ditawarkan kepada sejumlah penerbit. Menurut kebiasaan, iklan pelayanan masyarakat semacam itu dimuat gratis dan penerbit yang bersangkutan memuat kalau kebetulan ada ruangan kosong. Mochtar Lubis Di mata Mochtar Lubis -- Ketua Dewan Kehormatan PPPI yang merasa puyeng membaca iklan Renungan bagi Orang Tua karena susunan kalimatnya yang ia anggap membingungkan -- "yang penting melihat pesan yang disampaikannya." Karena di negeri kita iklan seperti itu masih baru, maka Mochtar tak heran kalau sampai Jaksa Agung pun terkejut membacanya. "Tapi kalau ada yang kurang sreg, supaya disregkan. Kita cari yang sebaik-baiknya saja, jangan mencari yang jelek-jeleknya," katanya. Bagi Indra Abidin, Sekjen Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), iklan tersebut tidak bertentangan dengan Kode Etik Periklanan yang antara lain menyebutkan: iklan harus benar, jujur, sopan, mengindahkan dan menjunjung tinggi tata nilai, pandangan hidup, pola hidup dan kaidah-kaidah yang dianut dan berlaku dalam masyarakat. Kalaupun sekarang ada larangan pemuatan sesuatu iklan, Indra menyarankan, "sebaiknya ada batasan jelas mana iklan yang boleh dan tidak boleh dimuat." Bahkan, seperti halnya di negeri-negeri maju, "sebaiknya pemerintah memonopoli mengusahakan iklan pelayanan masyarakat." Misalnya tentang pendidikan lalulintas, tentang kebersihan, dukungan pada program pemerintah dan sebagainya. Menurut Indra, PPPI pernah mengajukan usul semacam itu kepada Menteri Penerangan Ali Murtopo. "Iklan seperti itu," katanya lagi, "selama ini di Indonesia masih bersifat sporadis. Missinya masih berasal dari masing-masing perusahaan periklanan, belum sinkron dengan pemerintah." Tentang Kode Etik Periklanan, baru akan diberlakukan mulai 1 Juli mendatang, meskipun sudah tersusun sejak 21 Desember 1977. "Meskipun belum berlaku, tapi setiap perusahaan periklanan sudah mengetahuinya," kata Indra. Dan isinya pun, sudah diberitahukan kepada Departemen Penerangan dan Departemen Perdagangan dan Koperasi. "Kedua departemen itu sudah menyetujuinya,' kata Indra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus