SELERA ketemu Presiden, Sabtu siang kemarin Jaksa Agung Ali
Said menarik perhatian wartawan. Ia melihat sebuah iklan yang
dianggap bertentangan dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P-4). Jelasnya: dianggap menyebarkan faham
"individualisme yang liberalistis", bertentangan dengan asas
kekeluargaan seperti yang dimaui dalam P-4.
Di lain pihak menurut Jaksa Agung iklan itu juga bisa dinilai
mengandung pandangan komunisme yang memisahkan anak dari
orangtua -- menjadi "anak negara". Ali Said curiga, "mengapa
iklan itu disajikan justru setelah MPR menetapkan TAP tentang
P-4?"
Tapi sampai minggu lalu belum terdengar pengumuman
pelarangannya. Ali Said sendiri baru mempersoalkannya meskipun
ia cenderung melarany:nya. Kemungkinan pelarangan itu, "dalam
waktu singkat akan saya umumkan," katanya. "Sebab melihat
isinya, jelas kita tidak bertanggungjawab kalau terus
membiarkannya beredar." Yang sedikit menggembirakan terhadap
media yang memuatnya tidak akan dikenakan tindakan apa-apa.
"Kalau nanti sudah dilarang, ya sudahlah," tambahnya. Dan Ali
Said menyatakan kesediaannya berdialog dengan sponsor iklan
tersebut.
Diduga keras, pelarangan akan turun minggu ini. Dan itu yang
pertama kalinya terjadi. Iklan yang dimaksud adalah iklan public
service (pelayanan masyarakat) yang non-komersiil, dirancang
oleh perusahaan iklan Matari Advertising bekerjasama dengan
beberapa media yang memuatnya. Menurut pihak Matari, teks iklan
tersebut ditawarkan kepada selusin penerbitan di ibukota dan
daerah. Antara lain Suara Karya, Berita Buana, Pos Kota, Sinar
Harapan, Femina, Selecta, TEMPO, Sinar Indonesia Baru, Waspada
(Medan), Suara Merdeka (Semarang), Kedaulatan Rakyat
(Yogyakarta), Pikiran Rakyat (Bandung). Tapi Ali Said baru
membacanya dari Selecta dan TEMPO.
Bukan Milik
Iklan berjudul Renungan bagi Orang Tua itu bergambar seorang ibu
dengan anaknya. Teksnya dikutip dari salah sebuah lirik
pujangga Libanon Gibran Khalil Gibran (1883-1933), yang beragama
Roma Katolik sekte Maronite. Bunyinya antara lain: "Puteramu
bukanlah puteramu. Mereka adalah putera-puteri kehidupan yang
mendambakan hidup mereka sendiri. Mereka datang melalui kamu,
tapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu, mereka bukanlah
milikmu."
Gibran juga dikenal sebagai pemikir, eseis, penulis novel dan
cerpen, pernah 3 tahun belajar melukis pada Auguste Rodin di
laris. Menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab dan Inggeris,
salah sebuah bukunya, The Pruphet, di tahun 50-an pernah
diterjemahkan oleh Almarhum Bahrum Rangkuti dengan judul
An-Nabi, Gibran yang sejak kecil hijrah ke Boston AS itu,
meninggal di New York sebagai pujangga yang masyhur.
Dengan lirik -- yang dikutip iklan tersbut -- barangkali
Gibran ingin mengisyaratkan bahwa anak adalah mahluk bebas,
"titipan" dari Tuhan kepada orangtua, dan bukan milik orangtua
itu. Tapi rupanya Jaksa Agung menafsirkannya lain "anak
mempunyai pendirian sendiri dan tak perlu melanjutkan cita-cita
orang tua." Dan hal itu dianggapnya "bertentangan dengan P4,
cita-cita kita bersama yang akan kita wariskan, yang berkaitan
dengan kepentingan bangsa."
Menurut Paul W. Karmadi, Direktur Keuangan & Media Matari
Advertising, "tak ada niat perusahaannya untuk menjelek-jelekkan
Pancasila. Iklan itu tak ada sangkut-pautnya dengan politik."
Katanya lagi, "iklan itu ingin membantu pemerintah menyadarkan
orangtua agar mendorong maju anak-anak sesuai dengan bakatnya."
Paul minggu kemarin datang ke Kejaksaan Agung dan Departemen
Penerangan menjelaskan persoalannya.
Iklan itu rupanya lahir bersamaan ulangtahun Matari yang ke 7
tanggal 5 Mei lalu. Dalam pesta kecil di Hotel Sahid Jakarta,
iklan ditawarkan kepada sejumlah penerbit. Menurut kebiasaan,
iklan pelayanan masyarakat semacam itu dimuat gratis dan
penerbit yang bersangkutan memuat kalau kebetulan ada ruangan
kosong.
Mochtar Lubis
Di mata Mochtar Lubis -- Ketua Dewan Kehormatan PPPI yang
merasa puyeng membaca iklan Renungan bagi Orang Tua karena
susunan kalimatnya yang ia anggap membingungkan -- "yang penting
melihat pesan yang disampaikannya." Karena di negeri kita iklan
seperti itu masih baru, maka Mochtar tak heran kalau sampai
Jaksa Agung pun terkejut membacanya. "Tapi kalau ada yang kurang
sreg, supaya disregkan. Kita cari yang sebaik-baiknya saja,
jangan mencari yang jelek-jeleknya," katanya.
Bagi Indra Abidin, Sekjen Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (PPPI), iklan tersebut tidak bertentangan dengan Kode
Etik Periklanan yang antara lain menyebutkan: iklan harus benar,
jujur, sopan, mengindahkan dan menjunjung tinggi tata nilai,
pandangan hidup, pola hidup dan kaidah-kaidah yang dianut dan
berlaku dalam masyarakat.
Kalaupun sekarang ada larangan pemuatan sesuatu iklan, Indra
menyarankan, "sebaiknya ada batasan jelas mana iklan yang boleh
dan tidak boleh dimuat." Bahkan, seperti halnya di negeri-negeri
maju, "sebaiknya pemerintah memonopoli mengusahakan iklan
pelayanan masyarakat." Misalnya tentang pendidikan lalulintas,
tentang kebersihan, dukungan pada program pemerintah dan
sebagainya.
Menurut Indra, PPPI pernah mengajukan usul semacam itu kepada
Menteri Penerangan Ali Murtopo. "Iklan seperti itu," katanya
lagi, "selama ini di Indonesia masih bersifat sporadis. Missinya
masih berasal dari masing-masing perusahaan periklanan, belum
sinkron dengan pemerintah."
Tentang Kode Etik Periklanan, baru akan diberlakukan mulai 1
Juli mendatang, meskipun sudah tersusun sejak 21 Desember 1977.
"Meskipun belum berlaku, tapi setiap perusahaan periklanan sudah
mengetahuinya," kata Indra. Dan isinya pun, sudah diberitahukan
kepada Departemen Penerangan dan Departemen Perdagangan dan
Koperasi. "Kedua departemen itu sudah menyetujuinya,' kata
Indra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini