INDONESIA Raya terasa dinyanyikan dengan penuh semangat oleh
semua hadirin. "Sudah belasan tahun saya tidak menyanyikan
Indonesia Raya," bisik seorang pada temannya. Lagu ciptaan W.R.
Supratman (alm.) dan lagu-lagu perjuangan lain, teriakan
'Merdeka' dan 'Hidup Bung Hatta' memang mewarnai malam itu.
Acaranya: Peringatan Hari Lahirnya Pancasila di Gedung
Kebangkitan Nasional, Jakarta 1 Juni lalu.
Peringatan ini adalah yang pertama kali sejak pemerintah lewat
Menpen Ali Murtopo dua pekan lalu memberikan lampu hijau bahwa
siapapun boleh memperingati 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Tapi ditegaskannya itu bukanlah hari nasional, dan kalau ada
acara peringatan, itu bukanlah dari pemerintah atau negara.
Semua ini diputuskan dalam sidang Dewan Polkam yang dipimpin
Menko Jenderal M. Panggabean dua pekan lalu.
Menpen juga menjelaskan bahwa Pemerintah Orde Baru setelah
melihat segala dimensinya, menetapkan resmi tanggal 1 Oktober
sebagai hari Kesaktian Pancasila. Alasannya peringatan ini
mencakup banyak aspek sekaligus, seperti sejarah, musibah
komunis, ketatanegaraan, ideologi dan budaya. "1 Juni sejak dulu
memang selalu diperdebatkan," ujar Ali Murtopo. "Dan kalau kita
bicara apa betul tanggal itu memang hari kelahiran Pancasila,
orang musti ribut lagi. Sebab ada yang bilang pada tanggal itu
Bung Karno sedang mengajukan Pancasila ataukah Empat Sila,
ataukah Tiga, Dua atau Eka Sila." Sebab itu tanggal 1 Juni
tidak dijadikan hari resmi nasional, meskipun dihargai dan
diterima sebagai hari lahir Pancasila.
Ali Murtopo hadir dalam malam peringatan itu. Demikian juga
Wapres Adam Malik, Menko Kesra Surono, Menmud Urusan Pemuda A.
Gafur, Bung Hatta, Ny. Fatmawati serta Guntur dan adik-adiknya
dan banyak tokoh tua dan muda lainnya.
Di tengah suasana populernya kembali Bung Karno belakangan ini,
banyak yang mengira malam peringatan itu akan menonjolkan Bung
Karno sebagai penggali Pancasila. Mereka boleh kecewa. Sambutan
para pejabat pemerintah yang hadir malam itu terasa bernada
"meredakan" suasana. Wapres Adam Malik misalnya mengatakan, kita
tidak usah mempersulit diri dengan mempermasalahkan kapan
tepatnya hari lahir Pancasila. "Pokoknya, pada tanggal 1 Juni
1945 ada suatu pidato penting," kata Malik. Pancasila, menurut
Wapres, bukan Borobudur yang harus kita lihat saja, tapi harus
kita laksanakan.
Menpen Ali Murtopo yang disebut sebagai project officer masalah
Bung Karno ini hanya memberikan sambutan singkat. Ia menekankan
pada pentingnya nilai moral dalam Pancasila yang harus dijadikan
landasan berpijak bagi setiap warganegara, baik dalam
kepentingan pribadi maupun kepentingan sosial. "Titik pokok dari
persatuan adalah hilangnya rasa curiga mencurigai."
Selain para pejabat, malam itu tampil pula Fahmi Idris, tokoh
demonstran tahun 1966 yang kini menjadi tokoh pengusaha muda
(HIPMI). Ia melihat bahwa Pancasila saat ini banyak dijadikan
jimat, barang sakti atau slogan. Ditanyakannya juga apakah
keresahan generasi muda diselesaikan dengan dasar Pancasila.
Pancasila kata Fahmi "adalah andalan utama bagi terciptanya
disiplin nasional yang hingga kini belumlah ada sehingga layak
jika ditanyakan apakah pola tindakan kita, lebih-lebih para
pemimpinnya. apa sudah sesuai dengan Pancasila."
Sukarnois
Tapi tak dapat disangkal, bahwa di balik segala pidato yang
penuh Pancasila di hari 1 Juni itu ada yang mengharap nama Bung
Karno disebut kembali sebagai si "penggali". Hal itu tidak
terjadi. Tapi Sekjen PDI Sabam Sirait pekan lalu mengemukakan ia
lebih setuju kalau ajaran-ajaran Bung Karno dalam buku Di bawah
Bendera Revolusi dan Indonesia Menggugat dicetak kembali
daripada menerbitkan berbagai buku mengenai almarhum yang belum
tentu berbobot. "Soal penerbitan buku wasiatnya, pemberian gelar
pahlawan nasional atau proklamator serta pemugaran makamnya bagi
saya hanya soal kulit saja," katanya.
Suara agak lain datang dari Jusuf Hasjim dari Partai Persatuan
Pembangunan. Ia mengharapkan agar pemerintah lebih dahulu
melakukan rehabilitasi dan penjernihan secara tuntas nama baik
Bung Karno sebelum dimulainya pelaksanaan pemugaran makam
almarhum 21 Juni mndatang. Alasannya TAP MPRS tahun 1967 yang
menyebutkan "penyelesaian hukum selanjutnya yang menyangkut Dr.
ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan" hingga sekarang belum dicabut. Ini mungkin
akan kembali dipermasalahkan di waktu mendatang. Sebagai seorang
Muslim, Jusuf Hasjim berpendirian bila kita ragu-ragu apakah
seseorang berbuat salah atau tidak, kita lebih baik mengambil
keputusan, bahwa ia tidak bersalah. "Lebih baik kita keliru
membenarkan orang salah, daripada kita menyalahkan orang yang
benar," katanya.
Sementara itu Suryadi tokoh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
yang kini tokoh Partai Demokrasi Indonesia lebih setuju kalau
Bung Karno diakui resmi sebagai Pahlawan Nasional daripada
sebagai Proklamator. Proklamator dianggapnya belum merupakan
pengakuan, hanya merupakan suatu fakta sejarah, sebab
proklamator bisa saja sembarang orang yang kebetulan membacakan
naskah proklamasi. Sedang jasa Bung Karno bukan hanya karena
mengucapkan naskah proklamasi tersebut. "Kalau Diponegoro atau
Husni Thamrin diangkat dan diakui sebagai pahlawan mengapa Bung
Karno tidak?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini