ARWAH Anwar Sadat rupanya belum bisa beristirahat dengan tenang.
Namanya kembali digunjingkan orang. Kali ini oleh bekas sobat,
yang kemudian menjadi seteru kerasnya, Muhammad Hassanein
Heikal.
Kisahnya bermula dari buku Heikal, baru saja terbit, yang
berjudul Autumn of Fury: The Assassination of Sadat. Dalam buku
setebal 278 halaman yang diterbitkan Andre Deutsch, London,
Heikal melihat pembunuhan Anwar Sadat, terjadi 6 Oktober 1981,
adalah peristiwa yang berdiri sendiri. Tujuannya "sederhana":
menghukum mati seorang tiran tak beriman. Jadi bukan sebuah
persekongkolan luas yang bermaksud meruntuhkan seluruh rezim
yang berkuasa. Dari sisi ini, pendapat Heikal senada dengan
laporan Jenderal Abu-Basha deputi menteri dalam negeri Mesir
pada saat peristiwa pembunuhan itu.
Tapi mengapa para penguasa Kairo murka? Menurut Heikal ada dua
alasan: pertama, buku itu terbit pada saat sisa-sisa kelompok
Sadat mengkonsolidasikan kekuatan untuk memperkuat posisi di
dalam pemerintahan. Dan kedua, cara Heikal memblejeti kehidupan
pribadi almarhum, yang sedikit banyak hanya menjatuhkan
martabat beberapa tokoh sekarang.
"Pada mulanya saya berharap Sadat menjadi matang dan dewasa
setelah menduduki kursi kepresidenan," tulis Heikal dalam buku
tersebut. "Tidak dinyana, almarhum terutama setelah Perang 1973
dengan Israel, malah melempar semua kartu perundingan, dan
menyerahkan negeri ini di bawah perlindungan Henry Kissinger,
David Rockefeller, dan para jutawan Mesir." Kissinger, menlu AS
dalam pemerintahan Richard Nixon, dan Rockefeller, jutawan
terkemuka yang dikenal dekat dengan Gedung Putih.
Heikal juga mengkaitkan periode Sadat dengan korupsi yang
merajalela, dan otokrasi yang kian melembaga. Perjalanan Sadat
ke Yerusalem disebutnya sebagai usaha menutupi kegagalan ekonomi
di dalam negeri. Di bagian akhir Heikal menggambarkan sang
presiden sebagai pecandu vodka, suka bangun siang, dan
membagi-bagikan barang antik Mesir kepada konco-konconya. Antara
lain disebut Syah Iran, Jimmy Carter, Nixon, dan mendiang Jozef
Broz Tito dari Yugoslavia.
Pemerintah Mesir, setelah meneliti buku itu, akhirnya melarang
karya Heikal tersebut beredar di dalam negeri. Sebuah koran Arab
Saudi diimbau untuk menghentikan serial yang menyarikan isi buku
itu. Dan Heikal dituduh "rasis". "Boleh jadi ia menulis bukunya
dalam persekongkolan dengan musuh besar Mesir, Muammar Qaddafi,"
bunyi maklumat pemerintah Mesir.
Heikal sendiri tidak terlalu kaget. Di kantornya, di tingkat
empat sebuah bangunan di Kairo, bekas menteri penerangan Mesir
itu bersejuk sejuk dalam ruangan dengan karpet dari dinding ke
dinding. "Biarlah rakyat yang memutuskan," katanya seraya
menghembuskan asap cangklongnya. "Saya hanya berusaha menulis
dengan jujur."
Dalam usia 60 tahun, bekas penasihat almarhum Gamal Nasser itu
masih tampak sigap. Ia, salah seorang wartawan terkemuka dunia
Arab, menerjuni jurnalistik 40 tahun lalu. Kolom politiknya di
dalam harian Al Ahram, yang dipimpinnya sendiri, selalu menarik
perhatian. Dan pada 1974, Sadat menggusur Heikal dari koran
tersebut.
Sudah sejak semula Heikal memang tidak seiring jalan dengan
Sadat. Apalagi setelah presiden itu menuduhnya "memfitnah dan
membahayakan tanah air." Heikal kemudian dilarang bepergian ke
luar negeri. Tapi ia, yang banyak menulis dalam bahasa Inggris,
tetap mengarang artikel untuk beberapa penerbitan di luar
negeri, dan buku. Buku-bukunya: Nahnou wa America (1967),
Nasser: The Cairo Documents (1972), The Road to Ramadhan (1975),
Sphinx and Comissa (1979), The Return of the Ayatollah (1981),
dan Autumn of Fury. Yang sedang dipersiapkan An Anatomy of the
Arab World, dan Suez, Thirty Years After.
Ketika Sadat memerintahkan penangkapan massal, 5 September 1981,
Heikal ikut keciduk. Di penjara Turga, konon, dari jendela
selnya, pada suatu hari ayah dari tiga anak lelaki itu memandang
langit musim gugur yang makin kelabu. Itulah yang menggerakkan
ia menulis Autumn. Heikal bebas sebulan setelah Anwar Sadat
mangkat. Pada 30 Agustus tahun lalu, nskih AKtumn selesai
ditulis.
Bagaimana reaksi keluarga Sadat atas Autum of Fury? Jihan
Sadat, janda almarhum presiden itu, tampak berusaha menahan
diri. "Buku itu bukan hanya problem keluarga kami," katanya,
"mdainkan problem seluruh Mesir." Tetapi ia tidak lupa
menambahkan, "saya berhak menuntut penerbit dan pengarangnya,
sebab buku itu semata-mata fitnah dan caci maki."
Mengenai soal korupsi yang dihebohkan buku itu, Jihan, sekalipun
Esmat Sadat, adik lelaki Anwar, sekarang ditahan gara-gara itu,
seperti berusaha menangkis. "Tiap negeri dan tiap pemerintahan
mengenai korupsi," kata Jihan. "Apakah korupsi tidak ada sebelum
Anwar Sadat berkuasa?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini