SUASANA lengang pekan lalu meliputi pabrik penyamakan kulit Mertoyudan, Magelang. Sebuah gembok besar tampak mengunci rapat jeruji besi pintu gerbang pabrik itu. Dari sela-sela lubang jendela kelihatan tumpukan lembaran kulit menjulang tinggi, nyaris menyentuh langit-langit bangunan. Sudah sejak akhir April, tak ada kegiatan di pabrik itu, sesudah 93 buruhnya ramai-ramai menyatakan "mengundurkan diri". Itu diikuti 1.256 buruh pabrik pemintalan (patal) Jantra, dan 114 buruh di kantor direksi perusahan daerah Jawa Tengah di Semarang. Pernyataan sama juga dikemukakan 1.350 buruh patal Cilacap, dan 550 buruh pabrik tekstil Texin, Tegal. Keluarnya 3.300 lebih buruh itu erat berkaitan dengan kemunduran usaha: Patal Cilacap, yang juga menghasilkan tekstil, menurut sebuah sumber sedang menghadapi "kesulitan keuangan serius". Patal Jantra, yang disebut punya utang Rp 9 milyar, paling sedikit membutuhkan modal kerja Rp 8,4 milyar untuk melumasi kegiatan pabrik selama 4 bulan. Tapi pabrik penyamakan kulit Mertoyudan, yang konon justru tidak rugi, malah menghadapi keruwetan manajemen. "Di perusahaan ini terlalu banyak instansi yang cawe-cawe (turut campur)," kata sumber TEMPO. Sebagai salah satu sumber pendapatan daerah, pelbagai perusahaan (perusda) sandang itu, sering pula diharapkan mampu menjadi penyedia lapangan kerja baru. Jadi tak heran jika karyawan di suatu perusda itu jumlahnya sering melampaui kebutuhan nyata. Patal Jantra, misalnya, setiap bulan harus menyisihkan Rp 150 juta hanya untuk gaji karyawan. Padahal dengan tingkat produksi sama, Patal Sri Rejeki (swasta) di Solo, hanya mengeluarkan Rp 87 juta. "Jadi perusda sesungguhnya lebih mirip dengan badan sosial," kata Margono, bekas direktur komersial perusda sandang Ja-Teng kepada Kompas. Soal keterbelakangan pemakaian teknologi juga merupakan sebab terpukulnya patal Cilacap. Didirikan sejak 1953, patal yang memiliki 60 ribu mata pintal ini, ternyata hanya mampu menghasilkan tekstil kasar dari jenis benang 45S. Sedang pasar justru lebih banyak meminta tekstil halus, yang terbuat dari benang 80S. Perkembangan kurang menggembirakan itu telah mendorong pemerintah, lewat Keppres 14 tanggal 28 Februari 1983, menarik kembali enam unit perusahaan itu (Patal Jantra, Cilacap, pabrik tekstil Texin Tegal, Muriatex Kudus, Infitex Ceper, dan penyamakan kulit Mertoyudan) ke tangan pusat. Pengelolaan selanjutnya kemudian diserahkan kepada Persero Industri Sandang II, Jawa Timur. Menyusul alih tanggung jawab, dan pemberhentian massal itu, Menteri Perindustrian Hartarto, menurut sumber TEMPO, sudah bertemu dengan Mendagri Supardjo, yang sebelumnya gubernur Ja-Teng. Penggantian staf pimpinan di enam unit perusda itu, katanya, hari-hari ini akan segera dilakukan. Siapa yang akan diganti, dan kebijaksanaan apa yang akan ditempuh, Sumadi, Dirut PT Industri Sandang II Ja-Tim di Surabaya, tak menjelaskan. "Masalah itu masih ditangani di tingkat atas, saya kan hanya pelaksana saja," katanya pekan lalu kepada Ibrahim Husni dari TEMPO. Tapi dalam upaya mengurangi beban pengelola baru itu, patal Jantra, yang memiliki 40 ribu mata pintal, disebut-sebut akan dijual secara utuh. Calon pemilik baru pabrik itu diharapkan pula mau merekrut buruh lama dari situ, demi mengurangi calon penganggur. Di saat pasar lesu tampaknya diperlukan keberanian besar untuk membeli patal sial itu. Bagaimana perusda di tempat lain? Kurangnya efisiensi, dan pengelolaan yang kacau pernah pula dialami 18 perusda Ja-Tim, yang memiliki 68 unit usaha. "Kondisi mesin yang tua, karyawan yang melimpah, memang banyak menyulitkan dalam persaingan," ujar Trimarjono, sekwilda Ja-Tim. Untuk mengetatkan pengawasan, dan membenahi pengelolaan pelbagai unit usaha itu, dua tahun lalu gubernur Ja-Tim membentuk Badan Pengendalian dan Pengawasan Perusahaan Daerah. Sejak saat itu, kata Trimarjono, perusda Ja-Tim setiap tahun diwajibkan membuat rencana anggaran, seperti halnya pelbagai dinas di lingkungan gubernuran. Untuk memeriksa laporan keuangan perusda, pemda Ja-Tim juga telah menunjuk akuntan publik, yang pembiayaannya ditanggung oleh Pemda. Dan mulai saat itu pelbagai perusda diwajibkan menyetorkan 55% keuntungan bersih mereka ke kas pemda. Tahun anggaran lalu, 14 dari 18 perusda, yang sudah memetik untung mampu menyetor Rp 342 juta dari sasaran Rp 384 juta. "Hasil yang dicapai itu sudah cukup baik," ujar Trimarjono. Dengan penertiban itu kini bisa diketahui secara lebih persis nilai kekayaan setiap perusda di sana. Penilaian kekayaan, yang kemudian dituangkan dalam bentuk sertifikat tadi, menghabiskan dana Rp 100 juta. "Dulu sulit dapat kredit dari bank, karena kekayaan yang ada tak ada sertifikatnya," kata Trimarjono. "Kini soalnya tentu sudah lain." Sekalipun pembenahan sudah dilakukan, Trimarjono mengakui pelbagai perusda tadi agak lamban maju. Sebab para pengelolanya sesungguhnya adalah pegawai negeri, yang biasanya terikat pada birokrasi. Perlu menyewa manajer profesional yang terdidik mungkin? "Untuk memakai manajer profesional perusahaan itu belum mampu membayar," jawab Trimarjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini