SEBUAH perang dilakukan oleh Uni Soviet di tahun 1929. Itulah perang terhadap wilayah pertanian. Di bawah pemerintahan Stalin, Agustus 1929, departemen pertanian dari Partai Komunis menyetujui rencana sang pemimpin untuk menjadikan pertanian milik kolektif. Petani harus didesak masuk ke dalam kolkhoz, yang hak milik pribadinya dibatasi. Yang harus diganyang ialah para kulak, atau petani kaya. Tapi, batas antara kaya dan menengah tak jelas lagi. Yang penting: tanah-tanah garapan digabung jadi satu daerah pertanian besar Target produksi harus terpenuhi. Cara bujukan pun bercampur dengan cara tekanan dan kekerasan. Hasilnya ada. November 1922, pengumpulan hasil pangan oleh negara tercatat 50% lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Maka, Stalin meningkatkan targetnya. Yang hendak dituju bukan lagi melenyapkan kecenderungan para kulak untuk "menghisap", melainkan "pembasmian para kulak sebagai satu kelas". Sekitar 5 juta manusia pun dirampas miliknya, dipenjarakan, dibuang, atau ditembak. Bahkan kemudian anak-anak mereka, bila sudah dewasa, harus ikut dihukum. Misalnya, bila masuk tentara, tak bisa mencapai pangkat lebih tinggi ketimbang kopral. Para petani yang selalu kalah kali ini tak berontak. Tapi diam-diam mereka melawan, misalnya dengan menyembunyikan hasil pangan dan membunuhi hewan piaraan mereka. Ternyata, kemudian panen tahun 1932 dan 1933 buruk. Kelaparan terjadi. Tapi soal kekurangan makan ini dibungkam. Sejak itu, statistik hasil produksi pun dipalsukan. Tapi kenyataan tak bisa mengikuti garis Partai. Ketika hasil pertanian terus merosot, diadakan koreksi. Caranya: pada 1950, Stalin menggabungkan 240 ribu pertanian kolektif jadi 120 ribu, dan akhirnya jadi hanya 93 ribu. Akibatnya, para petani malah jauh dari keleluasaan indvidual untuk menentukan pekerjaannya. Mereka menanggapi sentralisasi dengan apatis, dan sikap ini tak membantu meningkatkan produksi sampai sesudah Stalin mangkat di tahun 1953. Tiga puluh lima tahun kemudian tampillah Mikhail Gorbachev. Pertengahan September yang lalu, ia berkunjung ke Siberia di Timur. Dengan semangat glasnost alias keterbukaan ia menemui rakyat. Tiba-tiba seseorang berseru kepadanya, "Lihat toko-toko kami. Di sana tak ada apa-apa." Kalimat itu dibiarkan terdengar waktu kejadian itu disiarkan TV secara nasional. Dan Gorbachev memutuskan: sesuatu harus dilakukan untuk pertanian. Pekan lalu ia memutuskan sesuatu yang memang baru sejak Stalin. Dalam pidatonya, Gorbachev mengkritik bahwa selama ini pertanian kolektif yang besar itu dijalankan bagaikan pabrik, dengan pesan yang rinci dari Moskow tentang apa yang harus ditanam dan kapan. "Kita telah mengubah para petani, dari tuan di tanah mereka sendiri jadi buruh harian semata," keluh Gorbachev. Kini tiba waktunya, menurut pemimpin baru Soviet yang serba ingin memperbarui itu, untuk menyetop itu. Sebuah undang-undang akan dikeluarkan, yang membiarkan petani menyewa tanah dari negara sampai selama 50 tahun. Mereka bebas memilih jenis pertanian dan cara organisasinya. Birokrasi pertanian bakal dikurangi sampai separuh. Mengingat sekitar 40% hasil pertanian hilang dalam proses antara tanah dan pasar, Gorbachev menawarkan modal asing untuk ikut dalam pabrik pemrosesan pangan. Ini glasnost. Seorang ahli di badan penelitian Kongres AS memperkirakan bank swasta asing akan membantu Soviet sampai 9 milyar dolar. Pinjaman besar buat sektor pangan. Lenin pernah mengatakan bahwa "petani bukan sosialis". Kini Gorbachev menunjukkan ia tak peduli dengan ajaran para kakek. Yusril Djalinus dan Goenawan Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini