DUA puluh tahun kemudian saya menjumpainya di sebuah tempat Yang jauh. Di San Francisco, AS, ketika malam sejuk dan di sebidang trotoar, di bawah bayangan toko Casual Corner di Geary Street, empat pemusik jalanan bermain saja. Saya berdiri di antara orang yang berkumpul, yang terpesona mendengarkan Take Five dimainkan ala Brubeck oleh jembel-jembel itu. Beberapa orang melemparkan uang recehan ke kotak gitar yang terbuka menadah derma di kaki lima itu. Seorang bermantel rapi menjatuhkan uang kertas lima dolar. Yang lain bertepuk dengan hangat. "San Francisco memang punya pemusik jalanan yang terbagus di dunia," terdengar suara di belakang saya -- dalam bahasa Indonesia. Saya menoleh. Di samping saya tak disangka-sangka berdiri W., yang sedikit lebih gemuk. Dan lebih rapi: ia mengenakan blazer biru gelap, berdasi polka dot merah, dengan kardigan abu-abu untuk menahan dingin. Saya berseru gembira menyebut namanya, dan kami berpelukan.... Kami satu kuliah dulu. Kami bersahabat -- meskipun kami tahu pandangan kami berbeda ketika datang tahun 1965, dan 1966, dan seterusnya. Ia berada di pihak "sana", yang menganggap demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI (dan akhirnya menyerang Bung Karno) sebagai musuh. Saya di pihak "sini". Ia pernah terlibat dalam bentrokan dengan anak-anak KAMI, ditendang dari kuliah dan membalas dendam dengan menyiarkan selebaran yang ganas memusuhi Orde Baru. Saya bekerja di harian Kami. Awal 1968 kami bertemu di rumah seorang keluarga, karena memang ada hubungan darah di antara kami berdua. Saya tak mudah omong dengan dia. Dia sulit omong dengan saya. Mulut terasa kering ketika kemudian kami berpisah. 20 tahun kemudian, kami bertemu lagi. Malam itu, di sebuah jalan di San Francisco. Ajaib. Segera ia bercerita bahwa ia kini seorang insinyur pada sebuah perusahaan software, kawin dengan seorang desainer asal Argentina dan punya dua anak lelaki. Ia juga sudah warga negara AS. Suatu transformasi yang bukan main, pikir saya: W., mahasiswa sayap kiri itu, kini praktis lengkap jadi bagian kelas menengah masyarakat kapitalis Amerika ! Tapi saya tak bermaksud mencemoohnya. Saya katakan padanya bahwa saya sedang mampir di San Francisco untuk satu tugas kantor dan akan pulang lusa. Ia mengundang saya makan malam besok di daerah Fisherman's Wharf. "Di Tarantina," katanya, mengingatkan nama restoran yang dimaksud, "jam 6. Naik cable car saja ke sana." Ketika pemusik jalanan itu selesai memainkan satu lagi, kami berpisah. Dia meninggalkan uang 5 dolar di kotak gitar di trotoar itu. Saya lemparkan 50 sen. Besok malamnya angin tajam di Fisherman's Wharf, tapi makan malam itu menyenangkan. Meja-meja di Tarantina penuh, dan kami duduk di sisi dalam, sambil memandangi teluk yang berubah dari kelabu menjadi gelap. W, memesan ikan redsole untuk dirinya dan sundakh untuk saya, semuanya grilled, sebelum akhirnya ia pun berkata, "Tentu aneh buat kamu bahwa saya kini jadi seperti ini...." Saya mengangguk dengan tersenyum. Ia meneruskan, sambil menuangkan rose, "Saya ingat, mungkin di tahun 1968. Koran El-Bahar, yang memusuhi Orde Baru dan menganggap Bung Karno harus selalu dibela, kena bredel. Tapi harian Kami, lawan politiknya, menyatakan tak setuju pada tindakan itu. Sejak itu saya tahu: kalian menentang demokrasi terpimpin. Menentang Manipol. Kalian menentang PKI. Kalian tidak ingin melakukan seperti yang sering dilakukan PKI di masa lalu itu." "Tapi itu sikap naif, dan percuma," sahut saya. "Terkadang yang nampaknya percuma bisa menimbulkan inspirasi, selain kejengkelan." "Tapi bukan itu benar yang menyebabkan saya berubah," ia menambahkan. "Di akhir 1968 saya merasa Jakarta sumpek dan saya jadi anak kapal. Di Hong Kong saya bersahabat dengan seorang anak muda bekas Pengawal Merah, yang melarikan diri dari Daratan Cina. Kisah hidupnya membuat saya kecewa, bahkan mual, pada Marxisme, Leninisme, Maoisme -- dan pada pemujaan individu, termasuk pemujaan pada Bung Karno. Teman saya itu, bersama Pengawal Merah lain, dibakar semangat revolusinya oleh Mao, dan mereka memujanya. Tapi ternyata Mao hanya menggunakan mereka buat menghancurkan musuh politiknya sendiri. Sesudah itu, Pengawal Merah disapu." "Saya juga pernah baca cerita seperti itu," kata saya. "Saya bertemu sendiri dengan saksi yang hidup. Dengan kisah yang detail, yang mengerikan. Sejak itu saya putuskan saya harus ke Amerika -- mungkin karena saya tahu saya akan malu, atau entahlah, bila kembali ke Indonesia. Dan saya berubah, sangat berubah. Kamu tidak. Seperti dulu-dulu juga. Kamu tetap orang Orde Baru." Saya tertawa. Malam itu kami berpisah lagi. Dia kembali ke rumah dan keluarganya, di kawasan bagus di dekat Golden Gate. Saya pulang ke David Hotel sambil melewati Casual Corner. Pemusik jalanan sedang memainkan satu nomor Brubeck yang lain Softly, Williams, Softly, ketika saya lalu. Dengan gitar dan saksofon. Dengan nada tua yang halus. Malam itu umur saya (tiba-tiba saya ingat) 47 tahun. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini