Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan menggandeng anak serta memikul barang bawaan dalam karung dan kantong plastik, ribuan orang melebur berdesak-desakan di stasiun kereta api. Wajah mereka tegang sekaligus gugup menunggu kereta yang akan membawa mereka menuju kota perbatasan Aranyaprathet-Poipet. Selain dengan kereta api, ada yang diangkut dengan truk militer, bus, dan mobil polisi.
Di Poipet, perbatasan Thailand-Kamboja, puluhan ribu orang yang sudah lebih dulu tiba berjejer dalam 15 barisan. Mereka adalah warga Kamboja yang bekerja di Thailand, termasuk perempuan dan anak-anak yang sedang menunggu proses deportasi atau pemulangan. Sebelum diberangkatkan ke Kamboja, mereka satu per satu didata dan diambil sidik jarinya oleh militer Thailand. Setelah itu, mereka mendapat nasi, lauk, dan air sambil menunggu truk-truk militer Kamboja mengangkut mereka pulang.
"Mereka mengatakan kepada saya bahwa militer Thailand akan menangkap kami dan mereka akan menembak," ucap Bo Sin, pekerja konstruksi asal Kamboja yang sedang berada di perbatasan, kepada CNN, Senin pekan lalu.
Saat ditanya dari mana mendapat informasi itu, Bo Sin hanya menjawab, "Bisa saja itu hanya rumor, tapi orang-orang meneruskan pesan ini."
Hingga Rabu pekan lalu, lebih dari 180 ribu pekerja migran Kamboja mengungsi melintasi perbatasan. Selain di Poipet, sebagian kecil imigran Kamboja diberangkatkan lewat perbatasan Boeung Trakuon, sebelah selatan Poipet, dan perbatasan O'Smach, sebelah timur laut Poipet.
Kor Sam Sareout, Gubernur Provinsi Banteay Meanchey, Kamboja, mengatakan gelombang eksodus besar-besaran itu tak pernah terjadi dalam sejarah negaranya. "Mereka kembali seperti air dari dam yang rusak. Banyak pekerja bilang mereka takut ditangkap dan ditembak bila lari dari otoritas Thailand yang memeriksa rumah mereka," ujarnya. Kebanyakan warga Kamboja bekerja di Thailand tanpa dokumen resmi.
Menurut Neth Serey, pejabat konsulat Kamboja di Provinsi Sa Kaeo, perbatasan Thailand-Kamboja, sejak militer Thailand mengambil alih kekuasaan pada 22 Mei lalu, setidaknya sudah 10 ribu pekerja asal Kamboja menyeberang pulang. Jumlah ini semakin bertambah ketika junta militer Thailand mengumumkan akan memperketat perekrutan pekerja migran guna menangkal kedatangan buruh gelap, kerja paksa, dan perdagangan manusia.
"Mulai kini pekerja pendatang ilegal yang ditemukan di Thailand akan ditangkap dan dipulangkan," kata Sirichan Ngathong, juru bicara militer, seperti dilansir Channel News Asia, Rabu pekan lalu. Militer Thailand, sebagai pemegang kekuasaan, melihat pekerja asing ilegal sebagai ancaman yang bisa menimbulkan masalah sosial.
Isu bahwa militer menggunakan kekerasan terhadap para imigran juga telah memicu eksodus pekerja Kamboja. "Setiap hari sekitar 40 ribu orang melarikan diri dari Thailand," ujar Joe Lowry, juru bicara Organisasi Migrasi Internasional, organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ikut memfasilitasi kepulangan pekerja migran.
Selama ini ekonomi Thailand bergantung pada sekitar tiga juta pekerja asing, terutama dari Myanmar, Kamboja, dan Laos. Mereka bekerja di sektor konstruksi, pertanian, hingga pembantu rumah tangga. Kebanyakan dari mereka menggeluti pekerjaan kasar yang tak diminati warga Thailand dengan upah rendah.
Kementerian Tenaga Kerja Thailand mencatat ada 2,3 juta pekerja migran dari Kamboja, Laos, dan Myanmar. Namun, menurut Pravit Khiengpol, Direktur Jenderal Kementerian Tenaga Kerja, dari jumlah itu, 1,82 juta pekerja masuk secara ilegal tanpa dokumen resmi dan 180 ribu di antaranya berasal dari Kamboja.
Hingga kini belum diketahui alasan pasti eksodus pekerja migran Kamboja itu. Pihak militer Thailand membantah memulangkan paksa mereka. Menurut penjelasan junta militer Thailand, tak ada perintah khusus untuk menargetkan penangkapan imigran dari Kamboja. Para pekerja Kamboja diklaim oleh militer Thailand pulang sukarela tanpa paksaan.
Sepekan sebelum ada eksodus pekerja Kamboja, militer Thailand lebih dulu menangkap pekerja migran asal Myanmar. Sejak 3 hingga 9 Juni, ada sekitar 1.000 pekerja Myanmar yang ditangkap sebelum militer mengumumkan kebijakan baru untuk menangani tenaga kerja asing ilegal.
Menurut Komite Aksi Bersama untuk Urusan Burma (JACBA), yang berbasis di Mae Sot, Thailand, sekitar 300 pekerja Myanmar ditangkap pada 3 Juni lalu dalam operasi gabungan oleh tentara, petugas imigrasi, dan aparat keamanan perbatasan. Beberapa pekerja Myanmar ditahan dan didakwa karena kasus obat-obatan terlarang dan perjudian ilegal serta pelanggaran hukum imigrasi. Me Gyo, Ketua JACBA, mengatakan tahanan migran Myanmar itu dikirim kembali melewati kota-kota perbatasan, seperti Tachilek, Kawthoung, dan Myawaddy.
Sebuah laporan lain menyebutkan lebih dari 50 pekerja migran telah dikirim kembali ke Myanmar pada 13 Juni lalu melalui Jembatan Persahabatan Myanmar-Thailand. Penangkapan buruh migran ini dilakukan setiap hari dengan mendatangi perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing. Militer baru melepaskan mereka setelah para pekerja asing itu dapat menunjukkan dokumen-dokumen perizinan resmi.
Pihak militer Thailand menyatakan mereka hanya menargetkan pekerja migran yang tak memiliki dokumen perizinan resmi. Dalam kenyataannya, eksodus para pekerja migran tak hanya dilakukan oleh mereka yang ilegal, tapi juga yang memiliki dokumen resmi.
We Kaowwee, pengusaha makanan kaki lima dan pekerja konstruksi paruh waktu yang telah tinggal di Thailand selama 15 tahun, mengatakan berita adanya warga Kamboja yang tewas oleh militer Thailand telah menyebar luas. "Saya tak pernah merasa setakut ini sebelumnya di Thailand. Tidak layak hidup di sini (Thailand) sekarang. Saya tak ingin mengambil risiko itu. Kami semua takut militer," ucapnya seperti dilansir CNN.
Thanich Numnoi, Wakil Direktur Jenderal Kementerian Tenaga Kerja Thailand, mengatakan, dari total 2,3 juta pekerja migran, 1,74 juta berasal dari Myanmar, 395 ribu orang dari Kamboja, dan sekitar 96 ribu dari Laos.
Namun fakta bahwa hanya sebagian kecil pekerja Myanmar yang melarikan diri dari Thailand justru menimbulkan pertanyaan. "Saya menduga kepulangan pekerja Kamboja yang lebih besar dibandingkan dengan minimnya jumlah kepulangan pekerja Myanmar sejauh ini mencerminkan hubungan politik yang lebih sensitif antara Thailand dan Kamboja," kata Andy Hall, pakar kebijakan tenaga kerja migran dari Universitas Mahidol, Bangkok, seperti dilansir Asia News Network.
Hall menduga ada masalah dalam hubungan diplomatik di antara kedua negara, mengingat 80 persen pekerja migran berasal dari Myanmar tapi kebijakan baru itu justru berdampak negatif bagi pekerja Kamboja. Eksodus skala ini biasanya hanya terjadi akibat bencana alam, seperti banjir.
Kudeta di Thailand pada 22 Mei lalu terjadi setelah perpecahan politik antara kaum royalis pendukung monarki yang dibeking militer dan kelompok penyokong mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, yang hidup di pengasingan. Warga Kamboja dipandang negatif karena dukungan pemerintah mereka kepada Thaksin.
Pada 2009, Thaksin diangkat menjadi penasihat Perdana Menteri Kamboja Hun Sen dan Raja Norodom Sihamoni. Padahal, di mata pemerintah Thailand, Thaksin berstatus buron kasus korupsi. Pemerintah Thailand juga menuding pemerintah Kamboja "menyembunyikan" Thaksin di negara itu.
"Jelas banyak rumor telah dibuat dan mendorong para pekerja pulang ke kampung halaman masing-masing tidaklah mudah. Ada banyak cerita yang menjelaskan mengapa warga Kamboja yang pulang lebih banyak," ujar Hall.
Mungkin ada alasan lain yang dipakai militer Thailand sebagai penyebab eksodus pekerja migran itu. Pada masa lalu, pemerintah Thailand menutup mata terhadap pekerja ilegal karena memang membutuhkan banyak pekerja ketika perekonomian sedang tumbuh. Kini Thailand berada di ambang resesi setelah ekonominya berkontraksi 2,1 persen dalam tiga bulan pertama 2014. "Kami harus menempatkan tenaga kerja dalam kerangka yang benar dan legal," kata Werachon Sukondhapatipak, juru bicara NCPO, seperti dilansir GMA Network.
Eksodus itu, yang pasti, tak hanya telah menyebabkan kekacauan, tapi juga menimbulkan korban. Delapan pekerja migran Kamboja tewas dalam dua kecelakaan lalu lintas di wilayah Thailand ketika, pekan lalu, mereka melakukan perjalanan kembali ke Kamboja untuk menghindari penindasan junta. Sar Kheng, Wakil Perdana Menteri Kamboja, meminta rezim militer Thailand bertanggung jawab atas semua masalah yang telah terjadi, termasuk kematian delapan pekerja itu.
Pekerja Kamboja yang dipulangkan mengatakan masih berharap bisa kembali bekerja di Thailand sambil menunggu keadaan membaik. "Kami merasa takut di Thailand. Tapi, kalau situasi di Thailand membaik, kami mungkin kembali lagi," ucap Chea Thea, seorang pekerja konstruksi.
Yang lain ada yang benar-benar tak ingin kembali ke Thailand akibat perlakuan militer. "Saya sangat khawatir akan keselamatan saya. Jika dapat menemukan pekerjaan di sini, saya tidak akan kembali lagi ke Thailand," kata Seng Phoan, 18 tahun, pekerja konstruksi yang sudah kembali ke Kamboja.
Rosalina (New York Times, Al Jazeera, BBC,GMA Network, Asia News Network, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo