Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Digenggam Ketua Dewan Pembina

Sejumlah pengikut Prabowo berbelok ke kubu Joko Widodo. Manajemen sentralistis Gerindra dianggap sebagai biang.

23 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tenda putih bergambar kepala garuda teronggok di depan rumah toko bernomor 114 di Jalan Amir Hamzah, Pontianak, pada Rabu pekan lalu. Tenda itu penanda terakhir Harjani Abubakar, pemilik bangunan, pernah menjadi pengurus Partai Gerindra Kalimantan Barat. Harjani kini terang-terangan mendukung Joko Widodo, yang bersaing dengan Prabowo Subianto, pemimpin partainya, dalam pemilihan presiden.

Sebelum menjadi anggota Dewan Penasihat Gerindra Kalimantan Barat, Harjani adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerindra di sana. Ia menyediakan rumah toko miliknya sebagai kantor Gerindra Kalimantan Barat. Sekarang tempat itu menjadi markas relawan pendukung Jokowi-Jusuf Kalla. "Saya mengalihkan dukungan karena tahu apa yang sebenarnya terjadi di Gerindra," katanya Rabu pekan lalu.

Hingga 10 Januari 2014, Harjani menjabat Ketua Gerindra Kalimantan Barat. Pada hari itu, ia menerima surat pencopotan yang diteken Prabowo. Merasa tak berbuat salah, ia meminta klarifikasi Ketua Umum Gerindra Suhardi dan Sekretaris Jenderal Ahmad Muzani. "Tapi tak pernah direspons," ujarnya. Dalam kepengurusan baru, ia digeser menjadi anggota Dewan Penasihat.

Menurut Harjani, selama menjadi kader, partai tak pernah menyelenggarakan musyawarah atau kongres untuk mengganti kepengurusan. Seperti yang terjadi pada Harjani, penggantian pengurus cukup didasari selembar surat yang diteken Prabowo, Ketua Dewan Pembina. "Ketua Umum tak bisa memutuskan apa-apa tanpa persetujuan Prabowo," ujarnya.

Prabowo, kata Harjani, seakan-akan tak bisa disentuh. Menjabat Ketua Gerindra provinsi selama hampir satu tahun, tak sekali pun Harjani bisa berkomunikasi dengan Prabowo. Saluran komunikasi terputus hingga ke Ketua Umum Suhardi.

Pembelotan Harjani didahului oleh menyeberangnya Ketua Bidang Pertahanan Gerindra Muhammad Harris Indra ke kubu Jokowi pada awal Juni. Selanjutnya, dukungan untuk Jokowi mengalir dari sejumlah kader di daerah. Ada pengurus provinsi, pengurus kabupaten, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Salah satunya Bendahara Gerindra Bali I Gede Wija Kusuma.

Alasan mereka membelokkan dukungan macam-macam. Ada yang kecewa terhadap partai, seperti Harjani, ada yang hanya terpikat figur Jokowi, seperti Harris. Ada juga pengurus yang kecewa terhadap partai tapi tak otomatis menyatakan diri sebagai penyokong Jokowi.

Ahmad Subagya, yang mundur dari posisi wakil sekretaris jenderal pada Maret lalu, mengatakan dukungannya terhadap salah satu calon akan disalurkan di bilik suara. Ia sendiri pamit dari struktur partai karena merasa suara pengurus kurang didengarkan. "Partisipasi kolektifnya kurang," ujarnya.

Kekuasaan partai makin terpusat di tangan Prabowo sejak kongres luar biasa pada 17 Maret 2012. Persamuhan selama tiga jam di kediaman Prabowo di Bukit Hambalang, Bogor, itu memutuskan penyerahan mandat kepada Ketua Dewan Pembina untuk mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai serta "menyempurnakan kepengurusan".

Menurut bekas Ketua Bidang Ilmu Pengetahuan Gerindra Fami Fachrudin, perubahan aturan itu menyebabkan segala keputusan partai harus sepersetujuan Ketua Dewan Pembina. Misalnya, sebelumnya surat keputusan partai cukup diteken Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, tapi sejak 2012 surat baru sah bila turut diparaf Prabowo. Adapun "menyempurnakan kepengurusan", kata Fami, maksudnya mengganti pengurus yang dianggap tak loyal.

Fami termasuk yang namanya dihapus dari daftar pengurus. Padahal ia ikut mendirikan Gerindra. Namanya tercatat di nomor urut 30 dari 62 pendiri partai pada akta Gerindra. Kongres luar biasa menjadi pintu masuk orang-orang Prabowo dan pensiunan tentara ke partai. "Setelah kongres, nama saya hilang dari kepengurusan," ujarnya. "Tak ada pemberitahuan."

Pria 45 tahun ini menduga penyebab ia dikeluarkan adalah pesan pendeknya ke sejumlah orang di partai, termasuk Prabowo, sebulan sebelumnya. Dalam SMS itu, Fami mencoba mengingatkan Prabowo agar tak memamerkan kekayaannya, seperti koleksi kuda dan helikopter di Hambalang, kepada rakyat. Pada awal 2012 itu, gaya hidup dan harta Prabowo ditayangkan dalam sebuah acara televisi.

Lalu digelarlah kongres luar biasa tadi. Menurut Fami, sejumlah pengurus sebenarnya tak sepakat dengan penyelenggaraan pertemuan tersebut. Sebab, mereka sudah bisa menebak hasilnya. Salah seorang yang tak setuju adalah Fadli Zon. Bahkan, kata Fami, Fadli tak datang ke Hambalang untuk memprotes kongres.

Dimintai konfirmasi, Fadli mengatakan memang tak datang waktu itu. "Kebetulan sedang di luar kota," ujarnya. Ia menyangkal memboikot kongres. "Kalau tak setuju, mana mungkin saya paling depan membela Prabowo?" Soal tudingan bahwa Gerindra sepenuhnya dikendalikan Prabowo, Fadli mengatakan hal demikian bisa terjadi di setiap partai. "Demokratis atau tidak, tergantung kebijakan partai. Tertulis di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Partai ya begitu mainnya."

Sebagaimana Ahmad Subagya, Fami menyebutkan keputusan strategis partai tak pernah dibicarakan bersama semua pengurus. Ia mengatakan Prabowo hanya mengajak bicara segelintir elite Gerindra. Di antaranya tiga Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, Widjono Hardjanto alias Oni, dan Edhy Prabowo. Seorang lagi adalah Sekretaris Jenderal Ahmad Muzani.

Itu pula, kata Fami, yang menyebabkan Muchdi Purwoprandjono dan Halida Nuriah Hatta, juga pendiri Gerindra, mundur. Halida, yang mundur pada 2012, enggan membicarakan lagi bekas partainya. "Saya terikat kontrak dengan kantor saya untuk tak membicarakan politik," ujar putri wakil presiden pertama, Mohammad Hatta, ini.

Fami menyebutkan Muchdi mundur pada 2011 karena masygul tak diajak bicara tentang penggantian pengurus di Yogyakarta dan Papua. Tanpa setahu dia, pengurus di sana diganti. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu merintis pembentukan Gerindra di dua wilayah tersebut. Pengurusnya adalah orang-orang dekatnya.

Heri Winarto, Ketua Gerindra Daerah Istimewa Yogyakarta yang diganti pada 2011, mengatakan sampai sekarang tak mengetahui penyebab ia ditarik. Saat dicopot, Heri langsung mengontak Muchdi. Muchdi, kata Heri, menyarankan dia menerima keputusan itu tapi tak menyerahkan kantor Gerindra ke pengurus baru. "Papan namanya saja kamu kasih," Heri menirukan Muchdi. Kantor yang ditempati Heri memang rumah Muchdi.

Sabtu dua pekan lalu, Muchdi mengelak menjelaskan persoalan di jero Gerindra sebelum ia keluar. Menurut Muchdi, ia keluar karena ingin bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan. "Saya melihat PPP sebagai partai yang cocok untuk habitat saya," katanya. Sebelum masuk Akademi Militer, Muchdi mengatakan aktif di sejumlah organisasi pelajar Islam.

Fadli Zon mengatakan saat itu Muchdi memang kecewa orang dekatnya diganti. "Kami ganti karena dia tak kerja," ujarnya. Ditinggalkan sejumlah kader, termasuk yang melompat ke kubu Jokowi, Gerindra tenang-tenang saja. Fadli menganggap hal tersebut tak akan menggembosi partai. Kata dia, "Satu-dua pindah ke sana, kami hibahkan."

Anton Septian, Tika Primandari, Mahardika Satria Hadi (Jakarta), Aseanty Pahlevi (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus