Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
QUEENSLAND - Para ilmuwan dari Amerika Serikat hingga Australia terus mengembangkan vaksin untuk mengatasi wabah virus corona. Didukung koalisi internasional, tim ahli sejumlah negara berlomba menargetkan vaksin untuk melawan virus 2019-nCoV itu bisa siap dalam enam bulan. "Ini adalah situasi dalam tekanan tinggi dan ada banyak beban bagi kami," ujar peneliti senior Keith Chappell, anggota kelompok dari Universitas Queensland Australia, seperti dilansir France24, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengembangan vaksin biasanya memakan waktu bertahun-tahun dan melibatkan pengujian yang panjang, termasuk uji klinis dan persetujuan pemerintah. Chappell mengatakan tetap menikmati tugas ini karena ada banyak tim ahli di seluruh dunia yang terlibat dalam misi yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya percepatan untuk mengembangkan vaksin corona dipimpin oleh Koalisi untuk Kesiapsiagaan Epidemi Inovasi (CEPI), badan yang didirikan pada 2017 untuk membiayai penelitian bioteknologi setelah wabah ebola di Afrika Barat. Kasus wabah ebola menewaskan lebih dari 11 ribu orang. "Harapannya, salah satu dari hasil pengembangan ini akan berhasil dan dapat menahan wabah ini," ujar Chappell.
Wabah virus corona baru alias novel coronavirus (2019-nCoV) telah menginfeksi sekitar 37 ribu orang dengan jumlah kematian lebih dari 811 orang di Cina. Jumlah itu melampaui wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) pada 2002-2003.
Proyek pengembangan vaksin ini diharapkan dapat menggunakan teknologi baru yang bisa diuji dalam waktu dekat. Richard Hatchett, presiden direktur lembaga itu, menargetkan uji klinis hanya dalam waktu 16 minggu. Sementara itu, perusahaan biofarmasi Jerman CureVac dan Moderna Therapeutics yang berbasis di Amerika Serikat sedang mengembangkan vaksin berdasarkan "messenger RNA"-instruksi yang memberi tahu tubuh untuk memproduksi protein. Inovio, perusahaan Amerika lainnya, menggunakan teknologi berbasis DNA.
Ooi Eng Eong, Wakil Direktur Program Penyakit Menular di Duke-NUS Medical School, Singapura, menjelaskan bahwa vaksin berbasis DNA dan RNA menggunakan kode genetik virus tersebut untuk menghasilkan protein yang identik dengan yang ada di permukaan patogen. "Sistem kekebalan mengenali protein, sehingga siap untuk menemukan dan menyerang virus ketika memasuki tubuh."
Adapun ilmuwan Australia menggunakan teknologi "penjepit molekuler" yang memungkinkan mereka dengan cepat mengembangkan vaksin baru hanya berdasarkan urutan DNA virus. Ilmuwan Prancis di Institut Pasteur memodifikasi vaksin campak agar dapat bekerja melawan virus corona, tapi belum bisa diharapkan vaksin itu siap dalam 20 bulan. Sedangkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina, menurut Xinhua, kantor berita pemerintah Cina, juga mulai mengembangkan vaksin.
Dalam kesempatan terpisah, Presiden Cina Xi Jinping menelepon Presiden Amerika Donald Trump pada Jumat lalu. Dilansir Xinhua, Presiden Xi menegaskan pemerintahannya melakukan upaya habis-habisan untuk memerangi wabah ini. Xi menegaskan, Cina berdedikasi tidak hanya melindungi kehidupan dan kesehatan rakyatnya sendiri, tapi juga orang-orang di seluruh dunia.
Presiden Trump mengatakan Amerika mendukung perjuangan Cina melawan epidemi virus corona. FRANCE24 | XINHUA | REUTERS | SCMP | SUKMA LOPPIES
Ilmuwan Berlomba Mengembangkan Vaksin Corona
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo