Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Imbas Chevrolet Hakim Corona

Pemimpin Rappler, Maria Ressa, ditahan dengan jerat pasal pencemaran nama di dunia cyber. Buntut berita tujuh tahun lalu.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
CEO Rappler Maria Ressa di Kota Quezon, Filipina, 15 Februari lalu./REUTERS/Eloisa Lopez

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat agen dan pengacara dari Divisi Kejahatan Cyber Biro Investigasi Nasional (NBI) Filipina mendatangi kantor Rappler di Kota Pasig, Filipina, Rabu sore dua pekan lalu. Mereka membawa surat perintah penahanan terhadap CEO dan editor Rappler, Maria Ressa, menjelang pukul 5 sore, ketika pengadilan akan tutup. Surat perintah itu ditandatangani hakim Pengadilan Regional Manila Rainelda- H. Estacio-Montesa sehari sebelumnya.

Surat tersebut keluar karena pengusaha Wilfredo Keng melaporkan berita di portal online Rappler yang dimuat tujuh tahun lalu. Bersama Ressa, reporter Reynaldo Santos Jr., yang kini sudah tidak di Rappler lagi, turut dijerat. Keduanya dijerat dengan Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Cyber tahun 2012. “(Penahanan) ini di luar dugaan dan cukup mengejutkan,” kata Maria Ressa kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Wilfredo Keng, pemimpin Century Peak Metals Holdings Corporation, menyambut gembira penahanan tersebut dan menyebut penyelesaian kasus ini sebagai ujian bagi peradilan Filipina. “Saya menyadari dakwaan ini hanyalah awal dari proses yang panjang dan sulit. Saya berkomitmen melihat pertempuran hukum ini sampai akhir,” ujar Keng, seperti dilansir media ABS-CBN.

Komunitas pers di Filipina dan regional memprotes penahanan itu. Serikat Jurnalis Nasional Filipina (NUJP) menyatakan proses hukum ini bias politik dan menjadi salah satu bukti sikap pemerintah yang berusaha keras membungkam media kritis. “Jelas ini bagian dari obsesi pemerintah menghentikan Rappler dan mengintimidasi media independen Filipina lain agar tidak terlibat,” ucap Ketua NUJP Nonoy -Espina.

Direktur Eksekutif Aliansi Pers Asia Tenggara (SEAPA) Tess Bacalla mengatakan langkah ini menunjukkan sikap pemerintah yang sejak awal menunjukkan kebencian terhadap pers yang independen dan kritis. Peneliti Human Rights Watch, Carlos Conde, menyebut penahanan itu sebagai upaya mempermalukan Ressa dan tujuan utamanya “menutup situs web berita karena liputannya tentang ‘perang narkotik’ brutal yang menewaskan ribuan orang Filipina”.

Sore itu juga, pengacara Rappler berusaha membayar uang jaminan agar Ressa- tidak ditahan. Namun hakim pengadilan Manila menolaknya dan membuat Ressa harus mendekam semalam di tahanan. Esok harinya, Ressa menghadap hakim Maria Teresa Abadilla dari Pengadilan Cabang Manila 45 dan membayar uang jaminan sekitar Rp 73 juta. Dia dibebaskan beberapa menit kemudian.

Kasus ini bermula dari berita Rappler berjudul “Ketua Mahkamah Agung menggunakan SUV pengusaha kontroversial”. Berita 29 Mei 2012 itu memuat informasi tentang Ketua Mahkamah Agung Filipina Renato Corona yang menggunakan mobil SUV Chevrolet Suburban saat menghadiri sidang pemakzulannya di parlemen pada 22 dan 25 Mei 2012.

Corona disidang oleh parlemen sejak 12 Desember 2011 dan akhirnya dimakzulkan pada 29 Mei 2012 karena gagal mengungkapkan kepada publik soal aset, utang, dan kekayaan bersihnya. Ia meninggal akibat serangan jantung pada 29 April 2016. Corona menjadi pejabat Filipina ketiga yang dimakzulkan, setelah Presiden Joseph -Estrada pada 2000 dan Kepala Ombudsman Merceditas Gutierrez pada Maret 2011.

Menurut Rappler, mobil hitam itu terdaftar atas nama Wilfredo Keng, pengusaha dan orang Filipina terkaya pada 2010 versi Forbes. Pria yang memiliki nama alias Willy- itu, dalam tulisan Rappler, diawasi Dewan Keamanan Nasional atas dugaan keterlibatannya dalam “perdagangan manusia dan penyelundupan narkotik”.

Keng melaporkan Rappler ke Divisi Kejahatan Cyber NBI pada Oktober 2017, lima tahun setelah artikel itu terbit. Pada 18 Januari 2018, NBI memanggil Maria Ressa- dan Reynaldo Santos. Ressa dan Santos berargumen, pasal pencemaran nama di dunia maya hanya bisa diterapkan setahun setelah publikasi berita. NBI kemudian menolak klaim Keng karena periode tenggang pelaporan sudah lewat. Tapi, pada 2 Maret 2018, NBI merekomendasikan kepada Departemen Kehakiman agar Rappler dituntut karena mencemarkan nama.

Ressa mempertanyakan rekomendasi tersebut karena menggunakan undang-undang yang saat itu belum berlaku. Artikel Rappler terbit pada Mei 2012, sementara Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Cyber baru terbit pada 12 September 2012 dan resmi berlaku pada 3 Oktober 2012. Namun Departemen Kehakiman tetap mendakwa Ressa dan Santos pada 10 Januari 2018. Alasannya, artikel itu memang diterbitkan pada Mei 2012, tapi ada pembaruan pada 19 Februari 2014.

Keng juga sempat membantah informasi Rappler dengan menyatakan tidak pernah diselidiki, apalagi didakwa, ditangkap, ditahan, atau dihukum karena kejahatan. Ia juga menuding Rappler tidak berusaha mendapatkan penjelasannya dalam berita tersebut. Rappler membantah klaim ini karena dalam artikel yang ditulis Santos itu juga ada hasil wawancara dengan Keng.

Presiden Rodrigo Duterte sudah lama mengecam Rappler dan menyebutnya sebagai “outlet berita palsu”. Reporter Rappler,- Pia Ranada, resmi dilarang memasuki Istana Kepresidenan Filipina sejak 21 Februari 2018.

Juru bicara kantor kepresidenan Filipina,- Salvador Panelo, menyebutkan langkah polisi memiliki dasar hukum dan tak ada urusannya dengan kebebasan berekspresi. “Maria sebagai praktisi media dan seseorang yang kritis terhadap program dan kebijakan presiden tidak ada hubungannya dengan kasus ini,” katanya, seperti dilansir GMA Network.

 

Maria Ressa, Editor dan CEO Rappler:

Kami Tidak Akan Terintimidasi

Ceo dan editor Rappler, Maria Ressa, dibebaskan pada Kamis pekan lalu setelah sempat ditahan semalam di kantor Biro Investigasi Nasional Filipina. Berikut ini petikan wawancara wartawan Tempo, Abdul Manan, Rabu pekan lalu, de-ngan salah satu Person of the Year versi majalah Time pada 2018 itu.

Anda sudah menduga akan ditangkap?

Tidak. Ini benar-benar di luar duga-an. Saya melihat ini penyalahgunaan kekuasaan.

Ini semata karena kasus pencemaran nama atau faktor lain?

Ini hanya terkait dengan kasus pencemaran nama di dunia maya. Kasus ini sebenarnya terkait dengan be-rita tujuh tahun lalu dan itu diterbitkan beberapa bulan sebelum -Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Cyber resmi diberlakukan. Menjerat kami dengan pasal ini adalah pelanggaran konstitusi. Itulah pembela-an utama kami.

Apa dalih Departemen Kehakiman dalam memproses kasus ini?

Mereka menggunakan interpretasi kreatif terhadap masa tenggang satu tahun setelah berita itu dipublikasikan untuk bisa digugat dengan undang-undang tersebut. Ini berita tujuh tahun lalu dan mereka menggunakan ide kreatif dengan alasan bahwa publikasi berita itu masih berlanjut. Ini bisa berdampak pada setiap orang Filipina yang memakai Facebook.

Adakah bias politik dalam kasus ini?

Sudah pasti. Ini upaya mengganggu dan mengintimidasi kami. Ini bentuk penyalahgunaan kekuasaan karena menjadikan hukum sebagai senjata melawan jurnalis dan para pengkritiknya.

Berita apa yang diduga membuat pemerintah tak senang?

Berita yang mempersoalkan impunitas, baik dalam perang melawan narkotik maupun di media sosial.

Berapa kasus yang kini dihadapi Rappler?

Sampai sekarang ada sembilan kasus. Ini keenam kalinya saya membayar uang jaminan.

Apakah ini membuat Rappler terintimidasi?

Tidak. Kami akan terus melakukan apa yang perlu kami lakukan. Saya menyadari pemerintah sebenarnya memerangi Rappler.

ABDUL MANAN (RAPPLER, ABS-CBN, GMA NETWORK)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus