GAMBARAN Pemerintah Indonesia di mata Amnesty International
(AI) sudah mulai berubah. Menyambut peringatan hari Hak-Hak
Asasi Manusia, 10 Desember, untuk pertama kali Al melukiskan
Indonesia dengan tampang yang agak lain. Tak lagi penuh wajah
tahanan politik. Al dalam laporan tahunannya, mencakup masa 1
Mei 1979 sampai 30 April 1980, antara lain menulis "Menyambut
baik keputusan pemerintah untuk membebaskan semua tahanan
politik G30StPKI golongan B."
Laporan Al, yang beredar pekan lalu, juga menyambut
instruksi Presiden Soeharto kepada Menteri Kehakiman mengenai
para tahanan politik yang sudah dijatuhi hukuman supaya berhak
mendapat pengurangan masa tahanan mereka seperti narapidana
perkara lain. Instruksi Kepala Negara ini, menurut Al,
dikeluarkan November 1979. Tapi di bagian lain ia mulai lagi
dengan kritik. "Sampai sekarang ini (saat laporan tahunan Al
disusun--red.) banyak dari mereka yang berdasarkan instruksi itu
seharusnya sudah bebas ternyata masih belum bisa menikmati arti
instruksi presiden tersebut," lanjutnya.
Kusni Kasdut
Al, salah satu organisasi penganjur Hak-Hak Asasi Manusia
terbesar, mencatat di Balikpapan, misalnya, ada sejumlah orang
masih dalam penjara. Padahal masa hukumannya, kalau pengurangan
masa tahanan itu diperhitungkan, sudah berakhir. Alasannya,
menurut Al, karena permohonan banding penuntut umum masih
ditunggu.
Diungkapkannya pula bahwa dalam beberapa perkara hukuman
dihitung sejak dijatuhkannya vonis. Bukan terhitung pada saat
yang bersangkutan mulai ditahan. Sekalipun pengadilan sudah
menetapkan bahwa hukuman itu mulai berlaku terhitung orang
tersebut dikerangkeng. AI tidak menjelaskan kasusnya secara
terperinci.
Yang dipersoalkannya tak hanya itu. Al juga menyatakan
penyesalannya atas pelaksanaan hukuman mati terhadap I lenky
Tupanwael dan Kusni Kasdut Dan sekaligus ia berbicara mengenai
tahanan politik seperti Soemarso Soemarsono, Eddy Abdurachman
Marto legawa, Richard Paingot Situmeang.Karel Supit, dan
orang-orang yang terlibat gerakan Fretilin di Timor Timur.
Dari sederetan narna tahanan politik Indonesia yang disebut
Al itu, perkaranya lain-lain. Tidak seperti tahanan politik
massal G30S/PKI. Misalnya, S. Soemarsono, pemimpin Harian Abadi
sebelum dibreidel di tahun 1974, dan bekas Ketua Gerakan Pemuda
Islam Indonesia (GPII) --sisa organisasi pemuda Islam dari aman
Masyumi. Ia dituduh, seperti disebut jaksa dalam sidang di
Jakarta, 3 Februari 1980, melakukan kejahatan subversi. Karena
ia kedapatan menyiman dokumen yang kemudian dikualifikasikan
sebagai "rahasia milik Kopkamtib, Laksusda, dan lainnya. "
Al boleh dikatakan mengecam hampir setiap negara di dunia,
baik penganut paham demokrasi, otoriter, maupun komunis. Sekali
ini ia menempatkan Filipina sebagai negara yang perlu dikecam
keras di antara anggota ASEAN. Pemerintahan Ferdinand Marcos
dituduhnya bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum
maupun pelaksanaan hukuman mati, dan sebagainya. Selama delapan
tahun terakhir, menurut Al, lebih dari 2.000 warga Filipina
mendekam di penjara karena alasan politik.
Tentang Kampuchea, Al cuma menduga-duga. Ia tak mempunyai
keterangan yang cukup mengenai apa yang terjadi di sana. Tapi,
"pemulangan paksa pengungsi Kampuchea dari Muangthai ke negeri
asalnya mengandung bahaya. Mereka mungkin akan dipenjarakan atau
dibunuh dengan dalih politik," lapor Al.
Organisasi yang bermarkas di London itu juga menyatakan
keprihatinannya atas apa yang disebut "pendidikan ulang" di
Kampuchea dan Viemam. "Pendidikan ulang" biasanya dilakukan
dalam kemah konsentrasi.
Al tak kurang menyediakan 81/2 halaman dalam laporan
tahunannya yang setebal lebih 400 halaman itu untuk
mengungkapkan perlakuan Pemerintah Uni Soviet terhadap
warganegaranya. Bentuk perlakuan yang dibeberkan, antara lain,
mengganggu, menahan, mengadili, memenjarakan, atau menahan
secara paksa di rumah-rumah sakit jiwa bagi mereka yang memiliki
pandangan yang berbeda dengan penguasa. Al melaporkan sudah
lebih 500 warga Uni Soviet dipenjarakan atau dibatasi
kebebasannya dalam lima tahun terakhir. Belum lagi terhitung
mereka yang mendekam di penjara sebelum 1975.
Afghanistan yang kini menjadi satelit Uni Soviet juga tak
lepas dari perhatiannya. Al mempertanyakan soal ribuan orang
yang dipenjarakan di Kabul, ibukota Afghanistan, serta lenyapnya
sejumlah anak-anak di sana.
Walau bercokol di Inggris, Al dalam soal kecaman tak pilih
kasih. Di Inggris hal yang dikhawatirkannya adalah sistem
peradilan yang dijalankan di Irlandia Utara. Terhadap mereka
yang diadili karena tuduhan yang menyangkut undang-undang
pencegahan terorisme di Irlandia Utara, menurut Al, peradilan
berjalan tanpa suatu dewan juri sebagaimana lazimnya.
Tak usah heran jika tidak ada negara yang bebas dari
sorotan Al. Itulah kerjanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini