DIALAH yang dicomot Laksusda DKI Jakarta dari sebuah rumah
-- yang khusus dikontraknya untuk menjalani masa "penahanan
rumah"-untuk kemudian dijebloskan kembali ke rumah tahanan yang
semestinya. Tapi, ia tetap merasa tak bersalah. Selama dalam
tahanan, katanya, "saya mempunyai banyak waktu untuk merenungkan
hal-hal yang menyangkut diri saya . . ."
Dituntut hukuman 17 tahun penjara dan denda Rp 30 juta, ia
menganggap tuduhan subversi dan korupsi terhadapnya, merupakan
"tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal sama sekali, bahkan
menyakitkan hati . . ."
Begitulah "duplik tambahan" yang diucapkan Endang Wijaya
alias A Tjai awal bulan ini. Ia tak rela disebut makan uang
negara. Sebab, kredit dan segala macam fasilitas dari negara,
katanya, nyata ditanamkannya di Proyek Pluit: untuk menimbun
rawa-rawa dan empang, membangun perumahan -termasuk perumahan
murah bagi nelavan. Bahwa, perusahaannya mendapat keuntungan
dari situ, lanjutnya, adalah hal yang wajar.
Pembelanya, Budhi Sutrisno, sebelumnya juga berkata begitu.
Urusan antara kliennya dengan Pemda DKI dan BBD, katanya, "tak
bisa dilepaskan dari perjanjian kerja dan perjanjian kredit..."
Jadi? "Suatu hubungan hukum yang mempunyai warna perdata,"
kata Budhi. Dan untuk memenuhi perjanjian tersebut, kendati
Endang Wijaya berada dalam tahanan, segala kewajibannya toh
ditunaikan.
Pengadilan memang telah mengizinkan PT Jawa Building Indah
melanjutkan pekerjaannya -- untuk menyelamatkan uang negara yang
tertanam di Pluit. Budhi Sutrisno, yang menjabat Kuasa Direktur
Utama, mewakili Endang Wijaya menggerakkan kembali Jawa Building
Indah. Dari 200 sampai 300 rumah yang dijual, kewajiban Endang
Wijaya kepada Pemda DKI dan BBD berangsur-angsur mulai diangsur:
Rp 18,5 milyar utangnya kepada BBD dan Pemda DKI, menurut Budhi,
tinggal sekitar Rp 6,5 milyar lagi yang menjadi tanggungan
Endang Wijaya. Demikian juga dengan kewajibannya terhadap Kantor
Pajak.
Tapi semuanya itu, menurut Jaksa Anas Bhisma, tidak membuat
perkara Endang Wijaya jadi enteng. Sebab, "kejaksaan bukan
penagih utang," begitu katanya menyanggah pleidoi pembela.
Perkara Pluit, lanjut Anas, tidak mempersoalkan tunggakan kredit
atau pajak yang dibuat Endang Wijaya. Hal itu dikemukakan,
semata-mata untuk menunjukkan akibat cara tertuduh memperoleh
kredit bank, merugikan negara, memperkaya diri sendiri dan
menyuap pejabat untuk memperoleh fasilitas dan kelonggaran.
Adakah yang demikian itu merupakan kejahatan subversi atau
korupsi memang tinggal menunggu keputusan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin H.M.
Soemadijono--tak lama lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini