Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

"Menyakitkan", Kata Endang

Tuduhan subversi dan korupsi terhadap Endang Wijaya dianggap tidak masuk akal dan menyakitkan. ia di tuntut 17 tahun penjara dan denda rp 30 juta.

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIALAH yang dicomot Laksusda DKI Jakarta dari sebuah rumah -- yang khusus dikontraknya untuk menjalani masa "penahanan rumah"-untuk kemudian dijebloskan kembali ke rumah tahanan yang semestinya. Tapi, ia tetap merasa tak bersalah. Selama dalam tahanan, katanya, "saya mempunyai banyak waktu untuk merenungkan hal-hal yang menyangkut diri saya . . ." Dituntut hukuman 17 tahun penjara dan denda Rp 30 juta, ia menganggap tuduhan subversi dan korupsi terhadapnya, merupakan "tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal sama sekali, bahkan menyakitkan hati . . ." Begitulah "duplik tambahan" yang diucapkan Endang Wijaya alias A Tjai awal bulan ini. Ia tak rela disebut makan uang negara. Sebab, kredit dan segala macam fasilitas dari negara, katanya, nyata ditanamkannya di Proyek Pluit: untuk menimbun rawa-rawa dan empang, membangun perumahan -termasuk perumahan murah bagi nelavan. Bahwa, perusahaannya mendapat keuntungan dari situ, lanjutnya, adalah hal yang wajar. Pembelanya, Budhi Sutrisno, sebelumnya juga berkata begitu. Urusan antara kliennya dengan Pemda DKI dan BBD, katanya, "tak bisa dilepaskan dari perjanjian kerja dan perjanjian kredit..." Jadi? "Suatu hubungan hukum yang mempunyai warna perdata," kata Budhi. Dan untuk memenuhi perjanjian tersebut, kendati Endang Wijaya berada dalam tahanan, segala kewajibannya toh ditunaikan. Pengadilan memang telah mengizinkan PT Jawa Building Indah melanjutkan pekerjaannya -- untuk menyelamatkan uang negara yang tertanam di Pluit. Budhi Sutrisno, yang menjabat Kuasa Direktur Utama, mewakili Endang Wijaya menggerakkan kembali Jawa Building Indah. Dari 200 sampai 300 rumah yang dijual, kewajiban Endang Wijaya kepada Pemda DKI dan BBD berangsur-angsur mulai diangsur: Rp 18,5 milyar utangnya kepada BBD dan Pemda DKI, menurut Budhi, tinggal sekitar Rp 6,5 milyar lagi yang menjadi tanggungan Endang Wijaya. Demikian juga dengan kewajibannya terhadap Kantor Pajak. Tapi semuanya itu, menurut Jaksa Anas Bhisma, tidak membuat perkara Endang Wijaya jadi enteng. Sebab, "kejaksaan bukan penagih utang," begitu katanya menyanggah pleidoi pembela. Perkara Pluit, lanjut Anas, tidak mempersoalkan tunggakan kredit atau pajak yang dibuat Endang Wijaya. Hal itu dikemukakan, semata-mata untuk menunjukkan akibat cara tertuduh memperoleh kredit bank, merugikan negara, memperkaya diri sendiri dan menyuap pejabat untuk memperoleh fasilitas dan kelonggaran. Adakah yang demikian itu merupakan kejahatan subversi atau korupsi memang tinggal menunggu keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin H.M. Soemadijono--tak lama lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus