Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Jalan Seret Penyelesaian Krisis Myanmar

Indonesia akan resmi menjadi Ketua ASEAN pada 1 Januari 2023. Salah satu pekerjaan rumah utama adalah penyelesaian krisis Myanmar. 

4 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONFERENSI Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Phnom Penh, Kamboja, Jumat, 11 November lalu, menghasilkan pernyataan bersama para kepala negara yang akan menjadi pekerjaan rumah Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun depan. Di antara pernyataan itu adalah penegasan atas tantangan organisasi itu ke depan, sentralitas ASEAN, dan Agenda Konektivitas 2025. Namun yang membetot banyak perhatian adalah krisis Myanmar. “Kami berharap tidak hanya terfokus pada persoalan Myanmar,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto R. Suryodipuro saat ditemui di kantornya pada Kamis, 1 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Myanmar menjadi isu penting ASEAN setelah pecahnya kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021. Kelompok militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan sipil hasil pemilihan umum yang dimenangi Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), partai politik pimpinan Aung San Su Kyi. Kini Suu Kyi dan para petinggi LND ditahan dan diadili. Politikus NLD yang selamat kemudian mendirikan pemerintahan tandingan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).

ASEAN merespons perkembangan tersebut dalam sebuah pertemuan yang dihadiri para kepala negara blok ini, termasuk Min Aung Hlaing, di Jakarta pada 24 April 2021. Pertemuan di bawah kepemimpinan Brunei Darussalam itu menghasilkan Lima Butir Konsensus, yakni penghentian segera kekerasan, dialog dengan semua pihak, utusan khusus memfasilitasi dialog, bantuan kemanusiaan, dan utusan khusus akan ke Myanmar menemui semua pihak.

Tanda-tanda konsensus itu tidak bisa segera diimplementasikan sudah kelihatan sedari awal. Tatmadaw, militer Myanmar, mengatakan bahwa saran pemimpin ASEAN itu akan dilakukan bila “situasi kembali stabil”. Dalam rilis pers pada 22 April lalu, Human Right Watch (HRW) menyatakan, bukannya menghentikan kekerasan, junta militer malah melanjutkan represinya dengan serangkaian penangkapan dan serangan.

Data HRW menunjukkan bahwa pasukan keamanan Myanmar membunuh lebih dari 1.700 orang, termasuk sedikitnya 130 anak-anak, dan secara sewenang-wenang menangkap lebih dari 13 ribu orang. Tatmadaw juga memperluas operasi kekerasan di daerah etnis minoritas dan menggusur lebih dari 550 ribu orang. Junta juga dinilai sengaja memblokir bantuan kemanusiaan yang menjangkau penduduk yang membutuhkan sebagai bentuk hukuman kolektif.

Saat posisi Ketua ASEAN beralih ke Kamboja pada akhir Oktober 2021, implementasi konsensus itu juga tak membaik. Menurut HRW, adanya Lima Butir Konsensus menjadi dalih bagi pemerintah negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara anggota Uni Eropa, menunda tindakan nyata dengan kedok menunggu langkah ASEAN. Junta kemudian mengeksploitasi rasa hormat komunitas internasional terhadap blok regional yang memiliki catatan panjang mengabaikan tanggung jawab pelindungan rakyat di bawah prinsip non-interferensi dan konsensus.

Sampai akhir masa kepemimpinan Kamboja, pelaksanaan konsensus itu tak berjalan signifikan. Para kepala negara anggota ASEAN yang berkumpul dalam KTT ASEAN di Phnom Penh mengakui sedikitnya kemajuan yang dicapai dari konsensus tersebut, meskipun menegaskan bahwa konsensus itu “tetap menjadi acuan yang sah dan harus diterapkan secara keseluruhan”.

Selain menegaskan ihwal konsensus, KTT ASEAN menegaskan bahwa Myanmar tetap menjadi bagian dari blok mereka. Menurut Sidharto, pernyataan itu menjawab adanya spekulasi yang berkembang mengenai kemungkinan Myanmar dikeluarkan dari organisasi bangsa-bangsa Asia Tenggara yang didirikan pada 1967 tersebut. “Jadi ini untuk menepis segala pertanyaan atau keraguan mengenai keanggotaan Myanmar,” tuturnya.

Spekulasi tersebut berkembang karena kebijakan ASEAN untuk membatasi keterlibatan Myanmar dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri dan kepala negara. ASEAN meminta Myanmar hanya boleh diwakili bukan oleh tokoh yang ditunjuk secara politik oleh junta. “Bukan penunjukan politik itu maksudnya orang karier,” kata Sidharto. Dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri dan kepala negara, Myanmar memutuskan tidak mengirimkan wakilnya.

Hasil lain KTT ASEAN ihwal Myanmar adalah pelibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut Sidharto, sebenarnya selama ini dialog antara utusan khusus ASEAN dan PBB sudah berlangsung. PBB juga memberikan bantuan kemanusiaan melalui lembaganya. Ada pula koordinasi lembaga itu dengan badan kemanusiaan ASEAN, AHA Center. “Jadi ini sebenarnya, di satu sisi, mengesahkan apa yang ada, tapi juga menjadi dasar kalau nanti ada cara memperkuat kerja sama,” ucapnya.

Bagi Duwa Lashi La, penjabat Presiden NUG, salah satu langkah maju hasil KTT ASEAN adalah adanya ikatan waktu dalam implementasi Lima Butir Konsensus. Dalam pernyataan pemimpin ASEAN itu disebutkan, “Ada kebutuhan akan rencana implementasi yang menguraikan indikator-indikator yang konkret, praktis, dan terukur dengan jangka waktu tertentu untuk mendukung Lima Butir Konsensus.”

Menurut Sidharto, kerangka waktu dalam implementasi konsensus itu bersifat kualitatif. Kesepakatan kerangka waktu spesifik harus disetujui semua negara anggota ASEAN. Kesepakatan itu juga bukan sesuatu yang pasti. “Lini masa yang pasti itu, kalau sampai tidak tercapai, akan dilihat sebagai kegagalan. Padahal ini suatu proses diplomasi yang cukup rumit dan memerlukan quiet diplomacy (diplomasi diam-diam),” katanya.

Indonesia punya sejumlah pengalaman dalam mediasi konflik. Sidharto menyebutkan beberapa contoh, seperti konflik di Kamboja, Afganistan, dan Aceh. Setiap kasus sifatnya unik dan solusi yang dihasilkan tidak selalu bisa ditiru untuk menyelesaikan kasus lain. Tapi prinsip umum bahwa harus ada dialog dengan semua pihak adalah kepastian. Sebagai fasilitator, mediator berusaha mencari formula yang bisa diikuti semua pihak dan semua pihak akan datang dengan tawaran tertinggi. “Diplomasi diam-diam itu tugasnya mencari apa yang dapat dilaksanakan,” ujar Sidharto.

Tempo berusaha menghubungi Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta melalui telepon dan surat elektronik untuk mendapatkan tanggapan mengenai hasil KTT ASEAN ini, tapi belum mendapat jawaban hingga tulisan ini diturunkan. Menurut Al Jazeera, Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin menyatakan tekanan untuk menetapkan kerangka waktu perdamaian akan menciptakan lebih banyak implikasi negatif daripada positif.

Mantan Ketua Tim Independen Internasional untuk Misi Pencari Fakta Myanmar, Marzuki Darusman, menyadari kerumitan kasus Myanmar ini. “Ini enggak bisa diselesaikan dalam satu malam,” tuturnya pada Jumat, 2 November lalu. Masalah ini juga tak bisa diselesaikan oleh satu negara anggota ASEAN yang menjadi ketua seperti selama ini. “Mesti ada satu cara baru yang melibatkan lebih dari satu negara.”

Marzuki menilai sistem penyelesaian selama ini yang banyak bergantung pada Ketua ASEAN dengan masa jabatan satu tahun sangat terbatas. Ia melihat junta memakai peluang itu. Dengan bersikap rewel saja selama enam-tujuh bulan, itu sudah membuang-buang waktu. “Sesudah itu ganti Ketua ASEAN-nya. Begitu terus,” ucap mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini. Marzuki mengusulkan agar Indonesia menggandeng negara-negara di garis depan, entah itu yang punya perbatasan langsung seperti Thailand entah Malaysia yang banyak menerima diaspora dari Myanmar.

Mengingat rumitnya masalah Myanmar ini, Marzuki menyarankan ada penyelesaian jangka pendek dan jangka panjang. Penyelesaian jangka pendek bertujuan menghentikan kekerasan. Ia berharap Indonesia menggalang solidaritas masyarakat sipil di beberapa negara anggota ASEAN dan Myanmar. “Supaya junta juga tahu bahwa yang dihadapi bukan hanya pemerintah ASEAN,” dia menambahkan.

NUG sangat berharap kepemimpinan Indonesia di ASEAN akan membawa kemajuan dalam penyelesaian kasus Myanmar. Selain memakai ikatan waktu dalam implementasi Lima Butir Konsensus, perlu ada tekanan ekonomi terhadap Tatmadaw agar mengerem kekerasan yang mereka lakukan. “Kami percaya situasinya akan berubah dan (Indonesia) akan belajar dari Kamboja,” ucap Duwa Lashi La.

DANIEL AHMAD

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus