Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA lembar surat somasi terkirim ke bagian pengaduan Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan pada Rabu, 23 November lalu. Pelapornya seorang pengusaha asal Semarang, Agus Hartono. “Seseorang di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah meminta uang Rp 10 miliar untuk menganulir status saya sebagai tersangka. Ini namanya pemerasan,” ujar Agus pada Jumat, 25 November lalu.
Agus melawan. Ia turut menembuskan surat laporan itu ke Istana Negara, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan belasan lembaga negara lain. Sejauh ini baru Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan yang merespons aduan Agus.
Syahdan, pemerasan itu berlangsung pada Juli lalu. Ketika itu ia tengah diperiksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah sebagai saksi untuk dua kasus berbeda. Perkara pertama berkaitan dengan fasilitas pembelian kredit PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Kantor Cabang Semarang kepada PT Citra Guna Perkasa dan PT Harsam Indo Visitama. Perkara kedua adalah kredit dari PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Tbk dan PT BPD Banten Tbk.
Di tengah proses pemeriksaan, Agus melanjutkan, seorang jaksa berinisial PAW memanggilnya masuk ke sebuah ruangan. Jaksa bergelar doktor itu melarang pengacara Agus ikut mendampingi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Hartono (kiri) didampingi pengacaranya, Kamaruddin Simanjuntak (tengah)/KUMPARAN/ Intan Alliva
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAW mengklaim membawa pesan dari pemimpin Kejaksaan. Ia menyampaikan penyidik sudah pasti menetapkan Agus sebagai tersangka. Jika ingin status hukumnya itu dianulir, Agus harus menyerahkan sejumlah uang. “Dia lalu menunjukkan sepuluh jari tangannya,” ucap Agus. Kode tersebut diduga sebagai jumlah uang yang harus diserahkan.
Awalnya Agus mengabaikan pembicaraan empat mata itu, sampai akhirnya ia menerima surat pemberitahuan penyidikan perkara tindak pidana korupsi dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah bernomor B-2238/M.3.5/Fd.2/10/2022 yang ditandatangani Asisten Tindak Pidana Khusus pada Rabu, 26 Oktober lalu.
Ia disebut menjadi tersangka korupsi pemberian fasilitas kredit Bank Mandiri kepada PT Citra Guna Perkasa dan PT Harsam Indo Visitama. Agus memiliki saham di kedua perusahaan itu.
Tapi ada yang janggal dalam surat tersebut. Surat pemberitahuan itu menyebutkan alasan penyidikan berdasarkan surat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah nomor 15/M.3.1/Fd.2/10/2022 tertanggal 20 Oktober 2022 juncto surat penetapan tersangka bernomor B-3332/M.3/Fd.2/10/2022 tertanggal 25 Oktober lalu.
Artinya, penetapan status tersangka Agus terbit sehari lebih awal dari surat pemberitahuan penyidikan perkara. “Ini jelas pelanggaran hukum acara,” kata Kamaruddin Simanjuntak, pengacara Agus.
Agus lantas melayangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Semarang pada Senin, 14 November lalu. Ia berharap pengadilan menganulir penetapan tersangka oleh kejaksaan.
Pengadilan lantas memproses gugatan Agus. Dua pekan kemudian, hakim Pengadilan Negeri Semarang, R. Azharyadi Priakusumah, mengabulkan sebagian gugatan Agus. Dalam amar putusannya, ia menyatakan penetapan status itu bermasalah.
Hakim juga membatalkan surat perintah penyidikan nomor PRINT-07/M.3/Fd.2/06/2022 tertanggal 20 Juni 2022. “Menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum,” ucap Azharyadi ketika membacakan putusan pada Rabu, 30 November lalu.
Raut wajah para personel Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah yang menghadiri pembacaan putusan terlihat kecewa. Mereka langsung keluar dari ruangan tak lama setelah hakim menutup sidang.
Sebagian jaksa tampak berpelukan. Tak satu pun di antara mereka yang bersedia memberi tanggapan ihwal putusan yang menganulir penetapan status tersangka terhadap Agus Hartono.
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah juga menetapkan Agus sebagai tersangka dalam perkara korupsi lain. Informasi tersebut tertuang dalam surat pemberitahuan penyidikan tindak pidana korupsi bernomor B-2239/M.3/Fd.2/10/2022 tertanggal 26 Oktober lalu. Surat ini terbit berbarengan dengan surat pemberitahuan untuk Agus dalam perkara fasilitas kredit dari Bank Mandiri.
Di surat kedua ini Agus menjadi tersangka pemberian fasilitas kredit PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan BPD Banten Tbk kepada PT Seruni Prima Perkasa. Ia belum mengajukan gugatan praperadilan untuk surat penetapan tersangka kedua ini.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengaku sudah menerima laporan aduan pemerasan yang dialami Agus. Dia menjelaskan, Komisi sudah meminta Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan pelanggaran dalam surat itu.
Ia bahkan sudah berkomunikasi langsung dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. “Di hadapan saya, Jaksa Agung menyatakan agar informasi itu segera diselidiki. Penanganan perkaranya pun bakal dieksaminasi,” katanya.
Barita menyebutkan tugas eksaminasi penanganan perkara diserahkan kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Mekanisme itu ditempuh untuk meninjau apakah penyidikan kasus itu taat prosedur.
Jika memang ditemukan unsur pemerasan, pemeriksaan kasus itu akan dilimpahkan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. “Kemudian Komisi Kejaksaan baru akan turun tangan memeriksa laporan penanganan perkara itu,” ucapnya.
Ketika dimintai konfirmasi, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Ali Mukartono enggan memberi tanggapan. “Tanya sama Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung,” tuturnya saat ditemui di sela-sela rapat koordinasi pengawasan di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Selasa, 29 November lalu.
Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 28 Juli 2020/TEMPO/Imam Sukamto
Adapun Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana memilih irit berbicara. “Informasi itu masih kami dalami,” katanya. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Bambang Tejo tak kunjung merespons permintaan wawancara Tempo ihwal dugaan pemerasan itu hingga Sabtu, 3 Desember lalu.
Seseorang yang mengetahui penanganan kasus pemerasan itu menyebutkan tim Kejaksaan Agung sudah diterjunkan ke Semarang sejak pekan lalu. Mereka menginterogasi semua jaksa yang menangani perkara Agus.
Pejabat Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah turut diperiksa. Pemeriksaan itu turut menelusuri dokumen penyidikan, kepatuhan sistem administrasi, dan temuan barang bukti yang dihimpun penyidik.
Agus mengatakan tim jaksa sudah memintanya hadir pada Rabu, 30 November lalu, untuk mengklarifikasi laporan itu. Saat itu ia meminta penundaan lantaran ingin menunggu putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Semarang. “Pemeriksaan laporan itu dijadwalkan ulang Selasa, 6 Desember 2022,” ujarnya.
•••
AGUS Hartono terseret dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit sebesar Rp 90 miliar dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Kantor Cabang Semarang kepada PT Citra Guna Perkasa dan PT Harsam Indo Visitama pada 2016. PT Citra Guna diduga merugikan keuangan negara lantaran menyertakan dokumen bermasalah dalam permohonan kredit.
Agus tercatat sebagai Komisaris PT Harsam selepas mengakuisisi saham PT Citra Guna bersama Edward Setiadi, seorang pengusaha, pada 2015. Belakangan, Agus menjadi pemilik saham mayoritas setelah membeli saham Edward pada 29 September 2015.
Sepanjang Juni 2016-13 Oktober 2016, PT Citra Guna mengajukan permohonan kredit modal kerja pembiayaan pembangunan rumah toko dan sejumlah pekerjaan lain. Bank Mandiri menyetujui permohonan dengan sejumlah syarat.
Pengacara Agus, Kamaruddin Simanjuntak, mengatakan Agus bersedia menyerahkan 39 sertifikat tanah dan bangunan sebagai jaminan kredit. Agus yang juga menjabat Direktur Utama PT Citra Guna juga menyertakan aset pribadi sebagai jaminan.
Belakangan, PT Citra kolaps akibat gugatan pailit. Perkara pailit ini diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang pada 22 Oktober 2018. Semua aset perusahaan itu dikuasai kurator.
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah/Angling Adhitya Purbaya/detikcom
PT Citra Guna rupanya tak hanya berutang kepada Bank Mandiri. Putusan perkara nomor 22/Pdt.Sus-Pailit/2018/PN.Niaga Smg menyebut perusahaan ini juga memiliki kewajiban pembayaran kepada Bank Muamalat sebesar Rp 56 miliar, Riza Prasetyo Wibowo sebanyak Rp 2 miliar, dan Bank BRI Agroniaga sebesar Rp 11 miliar. Semua tunggakan itu terungkap dalam rapat kreditor tertanggal 27 Desember 2018. Kala itu tercatat pula aset Agus senilai Rp 80 miliar.
Kamaruddin mengaku heran jika kasus ini diseret ke ranah pidana. Sebab, persoalan utang-piutang sudah diselesaikan lewat jalur perdata. Aset yang dijaminkan Agus semestinya dijual lebih dulu untuk menutup kewajiban kepada para kreditor. “Sampai saat ini pun belum ada pemeriksaan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang menyatakan adanya kerugian. Bagaimana bisa disebut kerugian?” tuturnya.
Agus bukan hanya terbelit perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Ia juga terseret dalam sejumlah perkara yang ditangani Kepolisian Resor Semarang dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Kasus itu terungkap lewat surat perintah penyelidikan bernomor SP LIDIK/502/X/Reskrimsus tertanggal 20 Oktober 2020 dan P/B/478/XI/2018/Jateng/Restabes Smg pada 2018. Kedua kasus itu menyorot dugaan keterlibatan Agus dalam kasus penipuan dan pemalsuan akta.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Dwi Subagio mengaku masih mendalami kasus itu. Dia menambahkan, Agus kini menyandang status tersangka bersama Donny Iskandar Sugiyo Utomo alias Edward Setiadi dan Nur Ruwaidah dalam kasus tanah di Salatiga, Jawa Tengah.
Berkas ketiganya kini sudah di tangan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. “Kami masih menunggu penetapan P-21 (berkas penyidikan dinyatakan lengkap),” kata Dwi.
Dalam perkara tersebut, ucap Dwi, Agus bersama kedua rekannya diduga mengumpulkan sertifikat tanah dari masyarakat secara tak sah. Kepada pemilik sertifikat, ia berjanji bakal membeli lahan. Namun pembayaran itu macet ketika sertifikat lahan sudah beralih nama.
Belakangan diketahui sertifikat itu diduga dialihnamakan menjadi milik Agus tanpa sepengetahuan pemilik sertifikat. “Ada sebelas korban yang menyatakan sertifikat tanahnya telah beralih nama atas nama Agus,” ujar Dwi.
Penyidikan mengungkap uang yang digunakan Agus membayar pemilik sertifikat berasal dari pinjaman bank sebesar Rp 23 miliar. Namun sebagian besar pinjaman bank itu ditengarai masuk ke kantong pribadi.
Belakangan, kredit tersebut macet. Dwi menerangkan, kasus ini terungkap setelah pihak bank menelusuri kepemilikan sertifikat tanah yang diagunkan Agus tersebut. “Ada dugaan manipulasi sertifikat,” tuturnya.
Agus membantah tuduhan pemalsuan sertifikat itu. Menurut dia, kasus itu sudah diuji di Pengadilan Negeri Semarang lewat putusan nomor 24/pdt.G/2022/PNSlt. Putusan itu dibacakan hakim pada Rabu, 26 Oktober lalu, guna menguji gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan delapan pihak, termasuk Edward, Nur Ruwaidah, dua notaris, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Tengah, dan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Di tengah berbagai pusaran perkara inilah Agus melaporkan pemerasan yang dilakukan seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mendesak Kejaksaan Agung mengusut tuntas kasus pemerasan itu. Menurut dia, Jaksa Agung tak perlu sungkan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada bawahannya yang berniat memeras tersangka.
Namun Barita berharap jaksa tetap memproses perkara hukum Agus yang masih berjalan. Ia meminta surat somasi itu jangan sampai menggugurkan proses penyidikan dugaan pemerasan terhadap pelapor jika memang terbukti bersalah. “Putusan itu harus adil,” katanya.
JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo