JUMLAH tentara dan peralatan militer di kubu Amerika Serikat bertambah di ladang perang Timur Tengah. Jumat pekan lalu, Amerika menambah lagi 150.000 tentara dan 400 tank. Namun tanda-tanda perang masih samar-samar. Bahkan, ada beberapa petunjuk yang menginginkan agar krisis Teluk disudahi tanpa mesiu dan bom kimia. Memang, kekuatan militer dan peralatan perang yang digelar tampaknya seperti menunggu picu komando. Sekitar 500.000 militer Amerika dan sekutunya -- lebih besar dari jumlah anggota ABRI kita -- kelihatan sudah siap tempur. Misalnya, Jumat pekan lalu Amerika dan pendukung Arab Saudi lainnya mengadakan latihan perang, tak jauh dari tapal batas Kuwait-Arab Saudi. Imminent Thunder, nama sandi gladi perang terbesar sejak pasukan multinasional dikerahkan ke kawasan Timur Tengah, sampai akhir pekan lalu menjajal berbagai strategi perang dan serbuan di darat, laut, dan udara. Yang paling ditonjolkan adalah teknik pendaratan amfibi, yang melibatkan sekitar 1.000 marinir Amerika, sejumlah pasukan tuan rumah Arab Saudi, 1.100 pesawat dan 16 kapal perang. Selain "menyatubahasakan" pasukan multinasional, latihan itu juga dimaksudkan menggertak Irak yang sudah menyiagakan satu juta pasukannya. Di samping itu, tentunya, agar tentara yang disebar di medan padang pasir sejak pecah krisis Teluk itu tak bosan. Bahkan, seusai konperensi puncak negara-negara NATO dan Pakta Warsawa di Paris, pekan ini Presiden George Bush akan terbang ke Arab Saudi untuk merayakan "Hari Bersyukur" bersama tentaranya yang tergabung dalam operasi "Perisai Padang Pasir". Namun, sebegitu jauh posisi Irak tetap bergeming. Kepada semua utusan khusus yang datang menengoknya, Presiden Saddam Hussein selalu menegaskan tak ingin adu senjata. Namun, ia selalu menolak tuntutan Amerika yakni mundur dari Kuwait dan memulihkan kembali kekuasaan pemerintah negeri tetangga yang didudukinya sejak awal Agustus lalu. Tantangan dan tuntutan Presiden Bush masih dijawab Saddam dengan suara dingin. Penyelesaian krisis Teluk harus dilakukan secara menyeluruh, bukan sekadar menarik pasukan Irak dari Kuwait. Termasuk misalnya masalah Palestina. Bahkan, Ahad sebelum pertemuan puncak negara NATO-Pakta Warsawa di Paris, Saddam menawarkan akan membebaskan 2.000 sandera. Kalau tak ada "gangguan perdamaian", kata seorang pejabat di Baghdad, warga Barat dan Jepang yang selama ini dijadikan "perisai" untuk menangkis serbuan pasukan multinasional itu akan dibebaskan mulai Natal tahun ini sampai akhir Maret. Amerika menilai move Saddam membebaskan sandera sekadar propaganda untuk menarik simpati dunia menjelang persidangan DK-PBB. Penilaian ini, menurut Menlu AS James Baker, telah mendapat dukungan sekutunya yang kini berkumpul di Paris. Bush memang tak melontarkan ancaman perang lagi seperti pekan sebelumnya. Beberapa analis militer menilai, jurus Bush tak berbeda dengan strategi militer klasik, "bila ingin damai, siapkan perang". Penambahan kekuatan militer di Timur Tengah semata-mata untuk menggertak Saddam agar mundur, tanpa harus menarik picu peperangan. Bahkan, Raja Hussein dari Yordania pun yakin betul bahwa Saddam tak ingin perang. "Kalau diberi kesempatan, Irak pasti mau keluar dari Kuwait," kata Hussein kepada wartawan majalah Newsweek yang mewawancarainya di Amman. "Namun," katanya lagi, "seberapa banyak wilayah Kuwait yang akan ditinggalkannya, itu harus ditentukan di kalangan negara-negara Arab sendiri." Masih ada jalan tanpa darah. Masalahnya, tinggal menunggu siapa yang mau mengatakan "OK, tak usah perang". A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini