INGATAN manusia pada dasarnya serba terbatas. Ditambah pula oleh tumpukan aneka masalah sehari-hari yang tindih-menindih. Ini tak urung mengakibatkan memori makin menjadi tidak seksama, sehingga kenangan masa silam yang sudah terkeping pun sering terpiuh. Atau sengaja dipiuhkan, kata para ahli, sebab dalam tabiat manusia, ada segi yang cenderung mengecoh. Ingat, misalnya, pembantaian di Tiananmen. Peristiwa amat tragis di RRC tahun lampau itu kini mungkin cuma sayup-sayup dalam ingatan kita, dan angka korbannya sempat diperbantahkan. Tapi, untungnya kita kini berada bukan melulu dalam belantara bahasa kata (verbal), melainkan komplet dengan bentuk bahasa visual yang kian sempurna, yakni fotografi. Media komunikasi khas ini hadir di halaman surat kabar atau majalah sebagai bagian dari saksi masa silam, yang juga pada gilirannya menyadarkan kita. Dalan aneka peristiwa sejarah -- yang tahun lalu diwakili rekaman Tiananmen itu -- urusannya bukan terpulang kepada para dewa, bukan pula hanya berupa statistik kalah menang atau sekadar bongkahan angka-angka, tapi justru mengenai manusia makhluk yang memiliki roh, berdarah, dan berdaging. Karya jurnalistik foto pada hakikatnya merupakan dokumen sejarah paling akurat. Nilai otentiknya sangat terpercaya, hingga lazim menjadi pemeo: melihat satu kali lebih berharga dibanding mendengar seratus kali. Dalam kerangka paham itulah kita memandang tinggi nilai karya para wartawan seantero dunia yang dipamerkan di Balai Erasmus, Jakarta. Pameran Foto Pers 89, yang terbuka untuk umum hingga 30 November ini, Jumat pekan lalu dibuka oleh Menteri Penerangan Harmoko. Terselenggaranya acara ini atas kerja sama PWI Pusat dengan World Press Photo Foundation, Netherlands Foreign Trade Agency, World Trade Centre Jakarta, KLM, dan Kodak. Yang empunya hajat memang World Press Photo Foundation, sebuah lembaga independen nonprofit. Didirikan oleh para wartawan di Amsterdam, Negeri Belanda, dengan Pangeran Bernhard sebagai pelindungnya. Lomba foto pertama yang mereka lakukan pada 1955 diikuti 150 fotografer dari 9 negara. Bandingkan dengan peserta tahun lalu yang membengkak hampir sepuluh kali lipat. "Tahun depan saya harapkan lebih banyak lagi. Saya harap wartawan foto di Indonesia akan menyertakan karya mereka," kata Yoop Swart. Presiden Yayasan World Press Photo ini datang sendiri ke Jakarta mengantarkan pameran foto tersebut. Lembaga World Press Photo bergerak dengan dukungan dana dari pemerintah kota Amsterdam dan pelbagai perusahaan swasta serta donatur. Dan sejauh ini agaknya mereka sukses mengukuhkan diri sebagai forum terbesar yang menampung karya foto para wartawan dari seluruh dunia, yang dilangsungkan setiap tahun hingga kini dalam bentuk lomba serta pameran. Juga simposium. "Yang ingin kami capai adalah menyumbang ke arah persahabatan dan jalinan saling pengertian di antara bangsa-bangsa," kata Yoop Swart. Pameran ini diselenggarakan tiap tahun di 35 negara. Foto yang digelar di Jakarta 130 buah atau sekitar separuh isi album tahunan. Seleksi dilakukan tim juri mancanegara, terdiri dari ragam kalangan. Ada wartawan foto dan editor foto. Ada direktur galeri seni, kepala kantor berita foto, dan ada pula pengarah artistik. Yang mereka nilai meliputi 9 kategori: berita spot, features tokoh, olahraga, humor, seni, ilmu dan teknologi, alam serta celah kehidupan. Tiap kategori dibagi dalam kelompok foto tunggal atau serial. Masing-masing dipilih tiga peringkat hadiah utama dan tiga pemenang hiburan. Di atas semua pemenang itu dinobatkan foto mahkota yang lazim disebut "Foto Terbaik Tahun Ini". Itu diraih foto peristiwa Tiananmen, karya Charlie Cole, 35 tahun, dari Newsweek, AS. Foto itu dianggap mewakili tema sejarah 1989 -- tahun yang masih diwarnai ragam konflik tak imbang dalam perjalanan hidup anak-cucu Adam. Sepintas, foto itu tampak statis tanpa galau sama sekali. "Ah, foto koral begitu aja kok menang?" ujar seorang pengunjung yang menyiginya cuma dari segi teknis fisik. Memang, belum luas diketahui, dalam lomba foto pers ukuran unggulnya satu foto ditentukan oleh kandungan isinya yang punya magnitude serta gema dalam skala luas. Foto tragedi Tiananmen memenuhi kriteria tersebut. Dan lebih dari itu, Cole menyajikannya cantik secara grafis. Sekawanan tank baja -- ini unsur simbol kekuatan -- dengan dingin mendesakkan kemauannya terhadap pihak yang lemah yang diwakili oleh satu anak manusia yang tersudut. Bersahaja sekali. Cocok dengan sebuah peribahasa Cina: melalui setetes air kita melihat laut. Rekaman ini bisa lolos ke luar RRC. Itu luar biasa. Tapi lepas dari bagaimana foto itu bisa menerobos "tembok Cina", maka kandungan foto itu sendiri dengan nyata menyuarakan pesan yang niscaya menggugah berjuta nurani. Berkat foto itulah berjuta mata menjadi saksi sejarah tentang sebuah situasi telanjang yang sungguh menyodok ulu hati. Apalagi Wang Weilin, 19 tahun, tokoh dalam foto ini, dikabarkan raib secara dramatis. Dari sebagian besar sajian pameran, menonjol terasa raut wajah dunia yang kerut-marut. Suntuk. Kekerasan serta kelancungan ada di mana-mana. Tapi kolong langit ini belum seluruhnya pengap. Alhamdulillah. Itu boleh disimak, misalnya, pada foto kategori "Celah Kehidupan", "Humor" atau "Olahraga". Tema "Celah Kehidupan" niscaya kaya di negeri kita. Artinya, ada peluang bagi wartawan foto kita untuk ambil bagian di pentas dunia ini. Sejauh ini baru beberapa nama wartawan kita yang mengirimkan karyanya. Misalnya, dalam "Album 68" ada Piet Warbung tentang demo mahasiswa 1966. Lalu pada era 70-an ada Zaenal Effendy, Leo Suryaningtyas, dan Kartono Riyadi. Syaratnya memang wartawan foto, dengan ketentuan melampirkan kliping foto yang pernah dipublikasikan. Tahun lalu dari 11.043 foto karya 1.280 peserta dari 64 negara, ada 3 dari Indonesia (Peng Hway Sheng, Benny Masli, dan Hamdani Kusumajaya). Cuma belum masuk album. Dengan adanya pameran ini, Menteri Harmoko menaruh harapan meningkatnya apresiasi profesional terhadap karya wartawan foto. "Saya percaya, pameran foto pers sedunia ini berfaedah mendorong kemajuan profesi jurnalistik, khusnya di Indonesia," katanya. Dengan kata lain, kehadiran pentas dunia foto pers ini di Jakarta bagai "bonus akhir tahun" buat kalangan wartawan foto kita. Terutama bagi mereka yang mau belajar, niscaya ingat sebuah kiasan: jika tak sempat datang ke gunung, kini gunung itu yang datang, inilah saat yang tepat menuai sebanyak-banyaknya manfaat. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini