Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konflik Israel dan Hizbullah di Lebanon semakin memanas dengan eskalasi serangan dari kedua belah pihak. Setidaknya 558 orang, termasuk 50 anak-anak tewas dan 1.835 lainnya luka-luka akibat pemboman hebat Israel di berbagai wilayah Lebanon pada Senin, 23 September 2024, berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Lebanon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip dari Al Jazeera, 1.600 serangan Israel telah menggempur sasaran-sasaran Hizbullah di Lebanon selatan. Sementara itu, Hizbullah membalas serangan dengan meluncurkan lebih dari 200 roket ke Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan ini menandai peningkatan terbesar sejak perang terakhir antara Israel dan Hizbullah pada 2006. Terlebih sebelumnya pada 17-18 September, banyak pager dan walkie-talkie meledak di berbagai wilayah di Lebanon hingga menewaskan lebih dari 40 orang dan melukai hampir 3.500 orang lainnya. Lantas, kenapa Israel menyerang Lebanon?
Hizbullah mulai terlibat dalam perang lintas batas dengan Israel pada 8 Oktober 2023, atau sehari setelah kelompok Hamas di Gaza melancarkan serangan 7 Oktober 2023 terhadap komunitas di wilayah selatan Israel, yang kemudian memicu perang di Gaza. Sebagai sekutu Hamas, Hizbullah menyatakan serangannya bertujuan mendukung warga Palestina yang menjadi sasaran pengeboman Israel di Gaza.
Kekerasan ini merupakan bagian dari dampak regional konflik Gaza, yang telah memobilisasi kelompok-kelompok bersenjata yang diduga didukung Iran di seluruh kawasan tersebut. Hizbullah dianggap sebagai anggota terkuat dalam jaringan yang didukung oleh Iran, dikenal sebagai Poros Perlawanan.
Meskipun berkaitan dengan perang Gaza, tapi ternyata ketegangan ini memiliki dinamika tersendiri. Mengutip dari Vox, Hizbullah sebenarnya sudah terlibat konflik dengan Israel selama puluhan tahun.
Hizbullah merupakan kelompok bersenjata sekaligus partai politik yang memiliki kursi di parlemen Lebanon dan memberikan layanan sosial bagi komunitas Syiah miskin di negara tersebut. Kelompok ini terbentuk setelah invasi Israel yang gagal ke Lebanon pada 1982 dan telah beberapa kali berperang melawan Israel, terakhir kali pada 2000 dan 2006.
Perang pada 2006 sangat merusak hingga menewaskan lebih dari seribu orang dan menyebabkan kerugian sekitar US$2,8 miliar di seluruh Lebanon. Negara ini tidak pernah benar-benar pulih dari dampak perang tersebut. Situasinya bahkan semakin memburuk dengan keruntuhan pemerintahan, pandemi Covid-19, dan ledakan di pelabuhan Beirut pada 2020.
Selain itu, alasan kenapa Israel menyerang Lebanon adalah karena Israel telah lama menganggap Hizbullah sebagai ancaman utama di perbatasannya, terutama karena persenjataan kelompok tersebut yang semakin canggih dan pengaruhnya yang meluas ke Suriah.
Sedangkan bagi Hizbullah, Israel adalah negara ilegal yang berdiri di atas tanah Palestina yang diduduki, dan mereka berupaya untuk menghapus keberadaan Israel dari wilayah tersebut.
Pakar militer Riad Kahwaji mengatakan perang besar antara Israel dan Hizbullah telah dimulai setelah Israel melancarkan serangan udara ke Lebanon pada Senin, 23 September 2024. Kahwaji juga menyatakan eskalasi yang terjadi di Lebanon, yang sebenarnya bisa dicegah jika Hizbullah bersedia menyetujui solusi diplomatik.
"Saat ini, menurut saya, Netanyahu dan pemerintah Israel berharap serangan udara ini cukup untuk mendorong Hizbullah agar mencari solusi diplomatik dan memisahkan Lebanon dari konflik di Gaza. Jika tidak, mereka sedang mempersiapkan tahap kedua, yang kemungkinan besar berupa serangan darat," ujar Kahwaji Senin, 23 September 2024 dilansir dari Al Arabiya. Ia menambahkan serangan darat kemungkinan akan menjadi langkah lanjutan jika Hizbullah tidak bersedia bernegosiasi.
"Jika Hizbullah setuju untuk mencari solusi diplomatik, maka ini bisa menghindarkan dari serangan darat yang dapat memicu komplikasi lebih lanjut di masa depan," jelas Kahwaji.
Ia juga menggambarkan Hizbullah sedang berada dalam posisi sulit, dengan struktur komando dan komunikasi mereka yang mengalami gangguan serius. Kahwaji menilai Hizbullah telah mengalami serangan hebat selama seminggu terakhir. Struktur komando mereka rusak, sistem komunikasi terancam, dan pasukan elit mereka, Radwan, yang biasanya memimpin operasi penting, sudah kehilangan komandonya. .
AL JAZEERA | VOX | AL ARABIYA | TEMPO.CO
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini