UCAPAN semacam "Wah, ketemu lagi" sering terdengar di Bangkok
setelah kabinet baru terbentuk. Jenderal Prem Tinsulanonda pekan
lalu mengumpulkan sejumlah "muka lama" dalam kabinetnya yang
terdiri dari 37 anggota.
Banyak orang sipil, sedikit jenderal dijumpai dalam kabinet
Prem. Bahkan banyak anggotanya pernah jadi menteri atau tokoh
dari periode -- "eksperimen demokrasi" -- tahun 1973-76. Lebih
menarik lagi ialah Prem merangkul golongan yang tadinya
beroposisi terhadap pemerintahan Kriangsak Chomanan.
Umpamanya, tiga dari keempat Wakil PM mewakili masing-masing
bekas partai oposisi utama: Aksi osial, Chart Thai dan
Demokrat. Ketiga partai itu telah keras sekali mengritik
kebijakan ekonomi Kriangsak yang membuat harga bahan bakar
minyak dan biaya hidup melonjak. Mereka tadinya memelopori
mosi-tidak-percaya di parlemen, dan mengipas frustrasi
masyarakat hingga terjadi serentetan demonstrasi. Justru kini
mereka pula yang ditugasi menangani soal ekonomi itu.
Kriangsak tadinya memang terpaksa menaikkan harga BBM karena
pasaran dunia pun melambung, sedang Muangthai 100% mengimpor
minyak. Tapi pihak oposisi pada dasarnya memang sudah tidak
senang terhadap pribadi Kriangsak.
Demikian yakin pada kekuatannya, Kriangsak bahkan enggan
mencalonkan diri dalam pemilu April 1979. Jika ia mencalonkan
diri, diduga ia akan terpilih dan mungkin bisa berakar di
parlemen. Selama 28 bulan berkuasa, Kriangsak pada hakekatnya
tidak punya pangkalan politik. Ia cuma mengandalkan
popularitasnya tahun 1977 setelah tergulingnya pemerintahan
Tanin Kraivixien yang dibenci itu.
Namun Kriangsak yang mundur secara sukarela (29 Februari) diakui
bukanlah seorang PM yang jelek tadinya. Konon ia lega setelah
tidak jadi PM. "Sekarang saya bebas," katanya selalu pada para
sahabat dan penggemarnya. "Bebas lagi untuk main golf."
Kini PM Prem melangkah dengan popularitas seperti yang diperoleh
Kriangsak tahun 1977. Tapi masalah besar yang dihadapi Kriangsak
masih harus diatasi Prem. Antara lain:
Ekonomi. Ini jadi urusan Wakil PM Boonchu Rojanasathien, Dir-Ut
Bangkok Bank, bekas menteri keuangan dalam pemerintahan Kukrit
Pramoj tahun 1976. Boonchu adalah tangan kanan Kukrit yang
memimpin Partai Aksi Sosial.
Ekspor hasil pertanian Muangthai tahun ini diduga akan merosot,
karena kemarau. Kalau tahun lalu ekspor berasnya mencapai 2,7
juta ton, tahun ini diduga sekitar 1,5 juta ton. Dengan biaya
impor minyak yang makin tinggi, diduga defisit dalam neraca
pembayarannya akan paling mencemaskan negara itu.
Maka Bangkok tetap mengekspor beras, jagung dan tapioka ke Uni
Soviet, yang sedang terkena embargo Amerika Serikat berhubung
peristiwa Afghanistan. Sebagai sekutu AS, demikian tanggapan
pemerintah Carter, Muangthai seyogyanya mengikuti embargo itu.
Lagi pula komoditi Muangthai itu masuk ke kapal Soviet bukan
secara curah, melainkan dengan karung. Kenapa? Ada kecurigaan
bahwa semua itu supaya bisa diangkut Soviet ke pelabuhan Vietnam
guna membantu pemerintahan Heng Samrin di Kampuchea.
Pengungsi. Wakil PM Thanat Khoman, pemimpin Demokrat, yang ikut
membangun ASEAN selagi masih jadi Menlu, cenderung akan menutup
arus pengungsi dari Kampuchea. Kebijakan "pintu terbuka" yang
dianut Kriangsak akan diakhirinya. Tapi dia mungkin bertikai
dengan Menlu Sitthi Sawetsila. Adalah Marskal Sitthi itu -- yang
juga menjabat Menlu dalam kabinet Kriangsak -- menganut "pintu
terbuka" itu hingga pengungsi membanjir masuk. Ketika itu
Muangthai mendapat penghargaan internasional. Tapi kini dana
badan internasional untuk keperluan pengungsi sudah menipis,
mungkin segera akan habis, sedang sumber dana baru belum
kelihatan. Ini tampaknya jadi urusan utama Thanat Khoman, 65
tahun yang kembali lagi ke pemerintahan sesudah 9 tahun absen.
Banyak pengamat di Bangkok mempergunjingkan bagaimana kabinet
Prem dapat segera mengatasi masalah besar itu. Dan berapa lama
pula popularitas Prem bisa bertahan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini