DI Islamabad sendiri suasana cukup tenang, tidak ada berita yang
mengejutkan. Tapi dunia di luar Pakistan sudah geger -- seolah
ada percobaan menggulingkan Presiden Zia Ul-Haq. Sekelompok
perwira tentara konon ditangkap karenanya.
"Laporan yang sampai di Barat," demikian berbagai kantor-berita
terutama dari London, New York dan Washington melansir cerita
tentang percobaan kudeta yang gagal itu. Pihak resmi Pakistan
pekan lalu membantahnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya berita itu, kebetulan Presiden
Zia sedang tidak populer di dalam negerinya. Ia masih belum mau
melepaskan Hukum Darurat yang berlaku sejak Juli 1977. Ia
mempertahankan rezim militer, dan menunda pemilu yang dijanjikan
sampai dua kali. Ia sewenang-wenang menahan orang tanpa diadili,
seperti Ny. Bhutto, janda bekas PM yang sudah dihukum gantung,
dan anaknya.
Oposisi terhadap pemerintahannya agak mereda, mungkin
terselubung, sebagai akibat intervensi militer Soviet di
Afghanistan, yang mengalihkan perhatian rakyat Pakistan ke
ancaman baru. Hingga Presiden Zia dapat kesempatan pula
memainkan "kartu" baru terutama terhadap Amerika Serikat.
Hubungan AS-Pakistan sudah lama tidak mesra. Padahal Pakistan
pernah menjadi sekutu AS dalam Cento, suatu pakta militer.
Bantuan AS tidak dapat diharapkannya ketika India menggasak dan
mengalahkannya dalam perang 1965 dan 1971. Bahkan pemerintahan
Carter terus-menerus menentang proyek nuklir Pakistan, sementara
India sudah lebih maju dalam program nuklirnya.
Kejengkelan Pakistan terhadap AS tampaknya menggunung. Ini pula
gerangan yang memperlambat kedatangan pasukan keamanan Pakistan
ketika para demonstran membakar gedung kedutaan besar AS di
Islamabad tahun lalu.
Namun Presiden Carter mengirim penasihatnya urusan Keamanan
Nasional, zbigniew Brzezinski, ke Pakistan Januari lalu.
Tujuannya ialah memperbaiki kembali hubungan kedua negara.
Terutama karena intervensi Soviet di Afghanistan, AS menawarkan
bantuan US$ 400 juta (Rp 250 milyar -- suatu paket berjangka 2
tahun untuk keperluan militer dan ekonomi.
"Itu peanuts (kacang tanah)," sambut Presiden Zia. Ia menganggap
tawaran AS itu tidak berarti apa-apa bagi keperluan Pakistan,
jika dikehendaki untuk menghadapi ancaman Soviet.
Pakistan tidak secara terbuka menyebut berapa jumlah yang
diperlukannya, tapi lewat saluran tak resmi dikerahui ia
menghendaki bantuan US$ 2 milyar (Rp 1250 milyar) dalam jangka 5
tahun. Selain untuk menghadapi ancaman dari perbatasan bagian
barat, Pakistan juga mgin membangun persenjataannya yang sudah
jauh kuno dibanding kepunyaan India. Menurut data yang tersiar,
kekuatan India dan Pakistan ialah 4 banding 1 di darat dan 7
banding 1 di udara.
Setelah Carter mengutus Clark Clifford ke New Delhi, apalagi
setelah Menlu Soviet Andrei Gromyko berunding dengan PM Indira
Gandhi, AS tidak mau mengambil risiko. Bila bantuannya terlalu
besar pada Pakistan, pasti India khawatir dan marah. Sedang AS
juga berkepentingan membina hubungan baik dengan India, yang
sangat bersahabat dengan Soviet. Dalam percaturan ini, AS
melihat India lebih penting ketimbang Pakistan, yang kebetulan
selama ini sudah mendekatkan diri pada Cina, sahabat AS.
Tapi kalau sekedar US$ 400 juta. kata Zia, "itu hanya akan
mengundang amarah lebih besar'dari Uni Soviet, yang kini jauh
lebih berpengaruh di kawasan ini ketimbang AS." Akhirnya Zia
secara resmi menolak tawaran AS itu, 2 bulan setelah ia
berunding dengan Brzezinski. Dan Gedung Putih kecewa, karena
tidak bisa merebut hati Zia.
Dengan latarbelakang ini tersiar berita sensasional mengenai
adanya komplor yang gagal menggulingkan Zia. "Laporan yang
sampai di Barat" itu menyebut komplot itu cenderung menerima
tawaran paket US$ 400 juta dari AS. Ditimbulkannya kesan bahwa
komplot itu pro-AS. Sedang Zia, tulis Washington Post
sebelumnya, mungkin akan mencari "akomodasi dengan Uni Soviet"
dan akan "meyakinkan lagi Moskow bahwa dia tidak menghimpun para
pejuang Afghan."
Tentara Soviet yang beroperasi di Afghanistan pekan lalu
diberitakan "dalam jarak lemparan batu" -- bisa dilihat dari
perbatasan Pakistan. Dan itu yang jelas bagi Zia akan menentukan
sikapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini