Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA hampir dua jam Suprapto Suryodarmo terus memegang blarak atau daun kelapa. Blarak itu dipangkas jadi sepanjang dua lengan orang dewasa. Bentuknya dipermak mirip gunungan wayang. Suprapto memegangi blarak itu dengan posisi berdiri di depan dada hingga melewati tinggi kepala.
Pemimpin Padepokan Lemah Putih, Karanganyar, Jawa Tengah, ini mengawali gerak tari dengan mengelilingi salah satu halaman samping dua bangunan Candi Kimpulan. Pria 66 tahun itu berjalan pelan. Begitu sampai tiga atau lima meter, dia menangkupkan kepala ke bawah, menempelkan blarak ke tanah. Begitu usai merunduk, dia berdiri lagi, melangkah, dan mengulangi gerak sama di tempat lain.
Penampilan Prapto yang berkolaborasi dengan sejumlah penari dan musikus tersebut berlangsung di pelataran Candi Kimpulan di area Perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Selasa pekan lalu. Pertunjukan berjudul Ruwatan itu merupakan penutup dari serangkaian acara hasil kerja sama Padepokan Lemah Putih, Kalanari Theatre Movement (Yogyakarta), dan UII.
Candi Kimpulan adalah candi baru yang lokasinya di area Perpustakaan UII di Jalan Kaliurang Kilometer 14. Candi kecil ini awalnya ditemukan secara tak sengaja pada 11 Desember 2009 tatkala UII membangun gedung perpustakaan. Candi ini terpendam sekitar 5 meter. Bangunan ini sederhana, berbentuk bujur sangkar, dan di dindingnya tak terdapat relief-relief atau ukir-ukiran indah. Di dalam candi terdapat patung Ganesha, lembu Nandi, dan lingga-yoni. Candi ini diduga adalah sebuah candi desa dari zaman Mataram kuno.
Panitia pembangunan gedung Perpustakaan UII pada 2009 itu tidak ingin merobohkan candi demi pendirian gedung. Bahkan kemudian mereka berusaha menyesuaikan pembangunan dengan candi. Mereka mengubah desain awal bangunan perpustakaan. Mulanya lokasi candi diperuntukkan sebagai halaman tengah seperti umumnya tata arsitektur banyak gedung kampus UII. Halaman itu kemudian digeser lokasinya agak menjorok ke sudut depan bangunan. "Meskipun hanya merombak struktur fondasi yang sebagian sudah jadi, kami perlu tambahan dana lumayan besar akibat perubahan itu," kata Wakil Direktur Program Internasional UII Wiryono Raharjo.
Namun pengubahan itu mengakibatkan gedung Perpustakaan UII menjadi terlihat artistik. Mungkin Perpustakaan UII merupakan satu-satunya perpustakaan di Indonesia yang memiliki pemandangan sebuah candi. Bangunan perpustakaan dibentuk setengah lingkaran mengelilingi candi alit tersebut. Bangunan perpustakaannya sendiri didesain serba kaca. Dari ruang-ruang baca perpustakaan tingkat I, II, atau III bisa dilihat langsung adanya candi.
Separuh sisi bangunan perpustakaan juga dibuatkan jalan keluar berbentuk melengkung. Strukturnya menukik ke bawah. Jalan itu berlapis dua jenis, yakni undak bertingkat dan lantai datar. "Agar pengunjung perpustakaan kalau keluar lewat sini akan berjalan melambat dan tertarik melihat candi," ujar Wiryono.
Bagi Prapto sendiri, Candi Kimpulan temuan purbakala yang unik. Adanya arca Ganesha bertudung—serupa songkok—di atas kepalanya, menurut dia, adalah hal yang sangat berharga. Sebab, selama ini arca Ganesha belum pernah ditemukan di seantero candi-candi kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Bagi Prapto, ditemukannya arca Ganesha di sebuah lokasi perpustakaan seolah-olah bukan kebetulan. Ganesha melambangkan pengetahuan. Belalainya yang ujungnya berada di mangkuk adalah simbol bahwa ia selalu menyerap pengetahuan. Di kompleks candi itu juga, ketika penggalian, didapatkan lempeng emas bergambar padma. Simbol Padma selama ini adalah lambang Universitas Gadjah Mada. "Saya merasa ada percakapan yang intens antara peradaban masa lalu dan sekarang," ujar Prapto.
Pengajar Program Kajian Media dan Budaya Sekolah Pascasarjana UGM, Kris Budiman, melihat Candi Kimpulan memiliki kemiripan dengan candi-candi Jawa Timur. "Dengan ditemukannya Ganesha, Candi Kimpulan membuka banyak kemungkinan kajian baru mengenai masa Mataram kuno," kata Kris.
Prapto mengatakan pentas merupakan bentuk syukur atas penemuan kembali Candi Kimpulan. Mantra, doa, dan musik rancak ditampilkan untuk menggambarkan kesegaran dari kemunculan sesuatu yang baru. "Pertunjukan ini untuk menghormati kehadiran kembali Candi Kimpulan," ucap Prapto.
Dalam pentas Ruwatan, Prapto ditemani Jen Shyu, musikus dan penari keturunan Timor Leste-Taiwan. Jen Shyu melakukan gerak tari menggambarkan orang sedang kebingungan mencari barang hilang. Seluruh mukanya ditutupi cawan tembaga kuning. Kain tipis yang tertempel di sekeliling pinggiran cawan menyelimuti kepalanya. Dia bergerak bertahap dari halaman samping Candi Kimpulan, lalu menaiki tangga kayu di salah satu bangunan batu berbentuk panggung tempat persemayaman Ganesha. Sembari menari, dari mulutnya terus terdengar lamat-lamat lantunan mantra.
Pentas bertambah hidup dengan iringan beragam instrumen musik yang menyuarakan dengungan panjang tanpa henti. Dari berbagai sudut, Misbach Daeng Bilok meniup shakuhaci, seruling asal Jepang. Tiupan shakuhaci itu berpadu dengan harpa angin yang digerakkan oleh empat rekannya. Harpa angin berbentuk seperti busur itu terus mengeluarkan derau angin tanpa henti. Pembawa harpa angin dari Komunitas Lahere, Makassar, itu membunyikan alat musiknya sambil berlari mengelilingi halaman Candi Kimpulan.
Musikus muda Yogyakarta, Wukir Suryadi, menambah dengungan dengan suara alat musik hasil modifikasi dia dari bekas kendang milik ayahnya. Wukir membunyikannya dengan memutar perangkat seperti pedal di ujung kendang. Alat itu mengeluarkan bunyi mirip suara garengpung. "Nguuung…." Selain Suprapto dkk, ada penampilan koreografer asal Venezuela, Estefania Pifano. Seniman Inggris, Lynda Brainsbury, berkolaborasi dengan Galih Nagasena (Solo) dan Sunarso. Diane Butler dari Bali ikut menampilkan tarian berjudul 21 Titik Hening.
Dan Suprapto—tokoh meditasi gerak yang memiliki banyak murid di berbagai belahan dunia—pun mengibaskan blarak dan menelungkupkannya ke tanah. Ia seolah-olah membersihkan aura negatif. Di tengah pertunjukan, tiba-tiba turun hujan. Hujan lebat itu berangsur surut menjadi gerimis ketika pertunjukan Ruwatan usai. "Candi ini seperti benar-benar bersih dan disucikan," kata Suprapto.
Addi Mawahibun Idhom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo