Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jadi Burung Hantu di Moskow

26 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah pesan pendek tiba di redaksi National Post di Toronto pada awal September lalu. Pengirimnya, Edward Snowden, berterima kasih kepada sejumlah pengungsi di Hong Kong. "Bayangkan ada pembangkang yang paling dicari di dunia diantarkan ke pintu kalian. Apakah kalian akan membukanya? Mereka bahkan tak ragu-ragu dan saya akan selalu berterima kasih untuk itu," katanya.

Pengungsi yang dimaksud adalah orang-orang dari beberapa negara—di antaranya Sri Lanka dan Filipina—yang berupaya mencari suaka dan menanti nasib baik di Hong Kong. Merekalah, pada pertengahan 2013, yang menampung Snowden ketika sedang jadi buron. Episode tentang keterlibatan mereka baru terungkap dari wawancara koran Kanada tersebut dengan Robert Tibbo, salah seorang pengacara Snowden kala itu.

Wawancara dengan Tibbo dilakukan tak lama setelah Snowden, dari tempat perlindungannya di Rusia, mengirimkan uang kepada para penolongnya dulu—senilai US$ 1.000 (sekitar Rp 13 juta) untuk setiap orang. Selain Snowden sendiri, para pendukungnya mendonasikan sejumlah dana.

Kebetulan pula kejadian-kejadian itu berlangsung menjelang pemutaran perdana film Snowden yang disutradarai Oliver Stone. Film ini menggambarkan Snowden, dalam kata-kata Stone, sebagai seorang anak muda yang melawan pemerintah Amerika Serikat karena "nurani" dan "prinsip pribadi"-nya.

Untuk keperluan pembuatan film itu, Stone kerap harus bertemu dengan Snowden. "Saya menemuinya beberapa kali selama setahun—sebenarnya malah lebih dari itu. Saya menemuinya pekan lalu atau dua pekan lalu untuk memperlihatkan versi final filmnya," ujar Stone. Pertemuan dilakukan di tempat yang dirahasiakan di Moskow.

Rusia memang tujuan Snowden mencari suaka sementara sejak pergi dari Hong Kong, dan di Moskow itulah dia tinggal. Tiga tahun lebih di sana, dia tak berubah: tetap sibuk dengan apa yang menjadi perhatiannya sejak membocorkan data kegiatan mata-mata massal yang dilakukan Amerika, dibantu negara-negara sekutunya—Kanada, Australia, Inggris, dan Selandia Baru. "Dia artikulatif, cerdas, tak berubah sama sekali," kata Stone.

Meski Snowden tak bisa bepergian, teknologi masih memungkinkannya berada di mana-mana untuk berbagi pikiran. Dua pekan lalu, misalnya, dia tampil berbicara di sebuah konferensi di Athena, Yunani, melalui sambungan video. Dalam kesempatan itu, Snowden, kini 33 tahun, menyatakan berniat menggunakan suaranya dalam pemilu November nanti. "Saya akan memilih," ujarnya.

Selain muncul di forum-forum serupa, selama setahun terakhir dia beberapa kali berbicara dengan media. Pada Maret lalu, dia menjawab pertanyaan-pertanyaan Fairfax Media dari Australia melalui Google Hangouts. Wawancara ini berlangsung dengan perantara, seseorang yang dipercaya Snowden, yang mengajukan pertanyaan kepada Snowden dan merekam jawabannya. Draf pertanyaan tertulis diajukan lebih dulu, lagi-lagi melalui perantara. Snowden dan para pengacaranya akan menyeleksinya.

Dalam berbagai kesempatan, Snowden selalu berkata bahwa keberadaannya secara fisik tak terlalu penting. Dia mengklaim "hidup di Internet". Dia bahkan menyatakan siap menghadapi risiko apa pun, yang bisa terjadi setiap saat. "Kemerdekaan sejati, menjadi benar-benar bebas, itu bertumpu pada kesediaan menerima risiko," ujarnya. Tapi kehati-hatian seperti yang dilakukannya saat menyediakan diri untuk diwawancarai itu tetap tak terelakkan, dan bisa dipahami.

Snowden sebenarnya bukan satu-satunya warga Amerika yang mesti hidup dalam pelarian seperti itu. Selain dia, ada Julian Assange, pendiri WikiLeaks. Seseorang yang berani melawan pemerintah dengan cara seperti mereka berdua, yakni Chelsea Manning, malah sudah dijatuhi hukuman penjara 35 tahun. Tapi, dibandingkan dengan Assange dan Manning, Snowden mengaku hidupnya lebih bebas.

"Daya psikologis saya sangat kuat," katanya. "Saya memang harus menanggung akibatnya. Dulu saya menjalani hidup yang luar biasa nyaman dan istimewa. Tak seorang pun di dunia tahu nama saya."

Sebelum menjadi buron, dia tinggal di Hawaii, setelah sempat bekerja pada Badan Intelijen Amerika (CIA) di Jenewa, lalu menjadi agen Badan Keamanan Nasional Amerika (NSA) di Tokyo. Dengan gaji yang lebih dari cukup, dia hidup bersama pacarnya. Tapi dia mengaku di satu titik pada masa itu menjumpai situasi tak manusiawi dan sewenang-wenang yang tak bisa dia toleransi.

Untuk memastikan situasi itu tak berlangsung terus, kini dia bekerja sama dengan sejumlah kalangan di Amerika buat menyusun draf yang bisa menjadi panduan, semacam konstitusi, untuk sebuah era baru di Internet. Menurut Stone, karena hal inilah Snowden terpaksa menjadi "burung hantu", agar bisa "berkorespondensi dengan Amerika".

Purwanto Setiadi (CNN, The Guardian, Sydney Morning Herald, The Star, Wired)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus