Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edward Snowden rupanya masih berhasrat pulang kampung. Bagi pria 33 tahun asal North Carolina ini, Rusia tak lebih dari tempat berlindung sementara. Dari pengasingannya di Moskow, Snowden terus memelihara asa bahwa Barack Obama bakal mengampuni dia sebelum Presiden Amerika Serikat itu angkat kaki dari Gedung Putih pada 20 Januari 2017.
Namun, nahas bagi Snowden, harapan untuk menjejakkan kaki di tanah airnya makin samar. Lebih dari tiga tahun sikap Washington terhadap dia belum berubah. Snowden, yang membongkar praktek gelap Badan Keamanan Nasional Amerika (NSA), tetap dicap sebagai musuh negara. "Saya belum bisa pulang," ujarnya. "Saya tidak tahu kapan (situasi) itu akan berubah."
Situasi makin runyam saat Komisi Intelijen Dewan Perwakilan Rakyat Amerika angkat suara, Kamis dua pekan lalu. Komisi yang membentuk panel penyelidikan kasus Snowden itu merilis laporan setebal 36 halaman. Dalam ringkasan laporan itu, yang dibuka untuk publik, Komisi menarik kesimpulan: "Edward Snowden bukan pahlawan. Dia seorang pengkhianat yang berpaling dari kolega dan negaranya," kata Ketua Komisi Intelijen Devin Nunes.
Sederet tuduhan lain makin menyudutkan Snowden. Komisi, misalnya, tidak mengakui eks analis NSA dan Badan Intelijen Amerika (CIA) itu sebagai peniup peluit. Itu sebabnya hak-hak Snowden tak perlu dilindungi. Pada Juni 2013, Snowden membikin gempar dunia setelah membocorkan program pengintaian NSA. Menurut dia, lembaga telik sandi itu secara masif telah menyadap data Internet dan telepon seluler setiap warga Amerika.
Komisi juga menyoroti rekam jejak Snowden. Dalam ringkasan laporan, Komisi menuliskan bahwa Snowden telah memalsukan catatan kinerja selama di NSA. Ia juga dituding berbohong atas cedera kakinya saat pelatihan pasukan khusus Angkatan Darat. Snowden, yang gagal lulus seleksi, akhirnya masuk NSA. "Ia telah menyalin 1,5 juta dokumen NSA sehingga mengancam keamanan nasional," begitu isi sebagian ringkasan tersebut.
Selama dua tahun mengusut kasus Snowden, Komisi menggandeng Komunitas Intelijen Amerika. Wadah raksasa telik sandi Negeri Abang Sam itu beranggotakan 16 lembaga pemerintah, termasuk NSA, CIA, Biro Investigasi Federal (FBI), dan Departemen Luar Negeri Amerika. Anggota Komisi menelisik ratusan dokumen dari Komunitas Intelijen, mengikuti lusinan rapatnya, mewawancarai personel yang mengenal Snowden, hingga mendatangi stasiun pengawasan NSA di Hawaii, yang pernah menjadi tempat kerja Snowden.
Dari persembunyiannya di Moskow, Snowden membantah sebagian besar isi laporan itu. Lewat akun Twitter dan pengacaranya, Ben Wizner, misalnya, ia menilai bocornya 1,5 juta dokumen NSA tidak masuk akal. "NSA membesarkan angkanya karena tidak dapat melacak seberapa banyak file yang telah disalin Snowden," begitu menurut Wizner.
Dinah PoKempner tidak habis pikir terhadap Komisi Intelijen DPR Amerika. Penasihat umum Human Rights Watch ini menganggap Komisi sengaja merilis laporan hasil investigasi kasus Edward Snowden pada 15 September lalu. Sehari sebelum itu, Human Rights Watch, Amnesty International, American Civil Liberties Union, serta beberapa organisasi pegiat hak asasi manusia terkemuka lain meluncurkan kampanye pengampunan bagi Snowden.
Dua hari berselang, film biopik Snowden diputar perdana di Amerika. Film Hollywood besutan sutradara Oliver Stone itu menggambarkan sepak terjang Snowden dalam membongkar kebusukan lembaga telik sandi negaranya. Film berjudul Snowden itu membingkai Snowden bak pahlawan, citra yang ditentang otoritas Amerika. "Komisi merilis laporan guna melawan (kampanye) grasi untuk Snowden," ujar PoKempner.
Perempuan berambut perak itu mengatakan kampanye tidak hanya meminta Presiden Obama memaafkan tindakan Snowden. Kampanye yang juga disebarkan lewat situs pardonsnowden.org itu mendesak Obama mencoret semua jerat dakwaan terhadap Snowden, antara lain pembocoran rahasia negara dan aksi spionase.
Situs pardonsnowden.org menggalang petisi dukungan untuk Snowden. Secarik surat terbuka kepada Obama, dengan judul "Mohon Ampuni Edward Snowden", terpampang di dalamnya. Siapa saja dapat membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk sokongan. Laman situs itu juga menampilkan waktu hitung mundur masa jabatan Obama. Pada 21 September lalu, Obama hanya memiliki 120 hari tersisa.
Ratusan nama beken mendukung petisi pro-Snowden. Salah satunya George Soros. Miliarder Amerika berkebangsaan Yahudi itu tercatat sebagai pendiri dan ketua Soros Fund Management dan Open Society Foundation. Selain Soros, ada aktor Mark Ruffalo dan John Cusack; aktris Susan Sarandon; pendiri Apple, Steve Wozniak; serta mantan calon Presiden Amerika dari Partai Demokrat, Bernie Sanders.
Fenomena Snowden juga membelah sikap media massa di Amerika. The Guardian, New York Times, dan The Intercept—yang menerbitkan sejumlah besar dokumen rahasia NSA dari Snowden—menyerukan agar Washington dapat memulangkan pria berkacamata itu ke tanah airnya tanpa tuntutan. "Organisasi media berkewajiban melindungi sumber beritanya," kata Glenn Greenwald, jurnalis investigasi The Intercept.
Namun tidak demikian dengan Washington Post. Lewat tulisan editorial dalam edisi 17 September lalu, harian terkemuka di Amerika itu justru menentang kampanye pengampunan Snowden. Menurut Post, Snowden seharusnya bertanggung jawab atas tindakannya. Terlebih, ia telah terikat sumpah dan kontrak kerja sebagai agen NSA. "Presiden Obama seharusnya tetap menjawab 'tidak'," begitu versi Post.
Greenwald geram terhadap tulisan berjudul "Tiada Ampun bagi Edward Snowden" tersebut. Menurut dia, sikap Washington Post menorehkan catatan memalukan dalam sejarah media di Amerika. Padahal, dengan menerbitkan kisah Snowden, harian itu sukses menyabet Penghargaan Pulitzer 2014 bidang pelayanan publik. "Tindakan itu adalah bentuk pengkhianatan jurnalistik terhadap sumber beritanya sendiri," ujarnya.
Greenwald, 49 tahun, dan pembuat film, Laura Poitras, 52 tahun, adalah dua orang pertama yang dipercaya menemui Snowden di Hong Kong pada 9 Juni 2013. Di sebuah kamar di Hotel Mira, Snowden pertama kali mengulurkan sebagian bocoran dokumen NSA kepada Greenwald—saat itu masih bekerja di The Guardian. Poitras merekam kejadian itu dan mengolahnya menjadi film dokumenter berjudul Citizenfour, yang tayang pada 2014.
Berkejaran dengan waktu, harapan Edward Snowden kepada Barack Obama cukup besar. Margaret Love menilai hal itu wajar. "Bila ingin mencatatkan pemberian pengampunan sebanyak pendahulunya, dia (Obama) akan 'mengobral' di sisa waktunya menjabat," kata Love, pejabat pengampunan di era George H.W. Bush dan Bill Clinton.
Konstitusi Amerika memberi Presiden dua bentuk wewenang pengampunan. Presiden dapat mengurangi masa hukuman. Selain itu, Presiden bisa mengampuni dan memulihkan seluruh hak sipil seseorang. "Kami berfokus pada pengurangan hukuman, bukan pengampunan," ujar Obama pada Agustus lalu. Namun dia melanjutkan, "Ketika saya meninggalkan Gedung Putih, jumlah pengampunan akan sejalan dengan yang pernah diberikan presiden-presiden sebelumnya."
Dibandingkan dengan Ronald Reagan, Bill Clinton, dan George W. Bush, tiga presiden dengan dua periode masa jabatan, rekor Obama masih kalah jauh. Reagan tercatat mengampuni 393 orang, Clinton 396, dan Bush 189. Sedangkan Obama, sejak menjabat pada 20 Januari 2009, "Baru mengampuni 70 orang," begitu menurut Departemen Kehakiman Amerika.
Pengampunan terbaru oleh Obama diberikan pada Januari lalu. Saat itu, ia membebaskan empat warga Iran, yaitu Bahram Mechanic, Nima Golestaneh, Tooraj Faridi, dan Khosrow Afghahi, sebagai bagian dari pertukaran tahanan antara Amerika dan Iran. "Pengampunan dalam kasus keamanan nasional ditangani secara terpisah," demikian diberitakan USA Today.
Peluang Snowden tampaknya bakal menipis selepas Obama turun takhta. Sebab, calon pengganti Obama, entah Donald Trump entah Hillary Clinton, bereaksi lantang terhadap kasus Snowden. "Dia telah mencuri informasi dan melanggar hukum Amerika," kata Clinton. Trump tak kalah keras berkomentar. "Pada zaman dulu, mata-mata dieksekusi," ujarnya.
Nasib Snowden memang bergantung pada keputusan Obama. "Menurut saya, Snowden bukan patriot," kata Obama, tiga tahun silam. Pada Juli 2015, Gedung Putih menanggapi petisi dalam situs whitehouse.gov. Seperti di pardonsnowden.org saat ini, petisi itu meminta pengampunan Snowden. "Ia harus pulang ke Amerika dan dinilai oleh juri (pengadilan). Jangan bersembunyi di balik rezim otoriter (Rusia)."
Di tanah airnya, Undang-Undang Spionase siap menjerat Snowden. Ancamannya 30 tahun penjara. Namun, menurut dia, Obama harus membuat pengecualian. "Itu kenapa ada wewenang pengampunan," ujar Snowden dalam wawancara dengan The Guardian, Senin dua pekan lalu. Ya, Snowden masih menjaga asa untuk pulang kampung. "Dia mencintai Amerika. Dia hanya ingin kembali ke rumah," kata sutradara Oliver Stone.
Mahardika Satria Hadi (The Guardian, HRW, Observer, The Nation, New York Times, The Intercept)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo