Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SYARKAWI Rauf sudah hakulyakin bisa membuktikan dugaan kartel penjualan sepeda motor otomatis PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor. Padahal waktu pembacaan putusan perkara ini masih jauh.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini pun mengaku siap beradu argumen dan data dengan dua perusahaan raksasa tersebut di persidangan. "Investigator punya data kesepakatan itu dan didukung keterangan saksi," ujar Syarkawi, Selasa pekan lalu.
Sidang lanjutan dugaan kartel di balik kenaikan harga skuter matik (skutik) 110-125 cc dalam kurun 2013-2015 dijadwalkan pada Selasa pekan lalu. Agendanya pemeriksaan saksi yang diundang KPPU. Namun saksi tak hadir sehingga sidang ditunda hingga awal Oktober.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha berinisiatif memantau pasar skutik sejak 2014 yang terkonsentrasi pada segelintir perusahaan besar. Berdasarkan data KPPU, Honda dan Yamaha menguasai 97 persen pangsa pasar penjualan sepeda motor di Indonesia. Komisi juga telah mengadakan survei harga penjualan skuter matik di kota-kota besar. "Dari penelitian itu, kami temukan indikasi-indikasi dalam penetapan harga," kata Syarkawi.
Komisi Pengawas lantas menaikkan kasus ini ke tahap penyelidikan dengan memanggil saksi dan ahli. Dari keterangan salah satu saksi, KPPU menemukan dokumen yang mereka anggap sebagai bukti dugaan kartel. "Ada buktinya, kami lihat melalui e-mail. Mereka e-mail-e-mail-an untuk melakukan kartel," ujar Syarkawi. Dia, misalnya, merujuk pada surat elektronik dari Presiden Direktur PT Yamaha Indonesia saat itu, Yoichiro Kojima, kepada Vice President PT Yamaha Indonesia Dyonisius Beti.
Yoichiro mengirimkan e-mail itu pada 28 April 2014 dengan subyek "pricing issue". Isinya: perintah Yoichiro untuk mencari perbandingan harga jual skutik di Indonesia. Dalam pesan berbahasa Inggris itu, ia menyebutkan sepeda motor Yamaha dengan model Vixion dan Fino harganya lebih murah ketimbang produk Honda. Dalam pesan itu, Yoichiro menyatakan Yamaha perlu mengirimkan "pesan" kepada Honda soal kenaikan harga skutik, karena efek fluktuasi nilai tukar mata uang dan meningkatnya upah buruh.
Yoichiro meminta perbandingan harga Yamaha dan Honda dikaji lagi. Dyon lantas meneruskan e-mail tersebut kepada jajaran manajemen PT Yamaha Indonesia, seperti Direktur Marketing Yutaka Terada dan Yuji Tokunaga, Direktur Sales Sutarya, serta General Manager Marketing Hendri Wijaya.
Dari percakapan e-mail itu, KPPU menyoroti kalimat Yoichiro: "Kita perlu mengirim pesan kepada Honda bahwa Yamaha mengikuti kenaikan harga mereka". Komisi menyimpulkan perintah Yoichiro kepada bawahannya itu sebagai indikasi kartel. "Yang janggal adalah mengapa ada instruksi untuk mengirimkan kesan agar kenaikan harga diketahui Honda," demikian analisis tim KPPU dalam laporan dugaan pelanggaran yang mereka susun.
Menurut KPPU, Yamaha pun telah melaksanakan perintah Yoichiro dengan menaikkan harga skutik di pasar. "Terbukti kebijakan untuk mengikuti harga Honda berulang kali diinstruksikan Yoichiro Kojima kepada manajemen dan tim marketing." Begitulah yang tertulis dalam laporan dugaan pelanggaran.
Komisi Pengawas juga menyoroti pesan elektronik yang dikirimkan Yutaka kepada Dyon dan Sutarya pada 10 Januari 2015. Isinya pemberitahuan bahwa Yutaka pada rapat dua hari sebelumnya menolak menaikkan harga jual Yamaha mengikuti Honda per Januari 2015. Alasannya, sejak 2014, Presiden Direktur Yoichiro telah berkali-kali meminta agar harga jual produk Yamaha dinaikkan untuk memenuhi janji kepada Presiden Astra Honda Motor Thosiyuki Inuma saat bermain golf. "Seperti yang kita ketahui ini ilegal," tulis Yutaka dalam e-mail berbahasa Inggris itu.
Kepada investigator KPPU, Yutaka mengaku mendengar langsung dari Yoichiro ada pertemuan empat perusahaan di lapangan golf pada 2014. Namun, pada laporan dugaan pelanggaran, KPPU menyebutkan Yutaka ikut dalam pertemuan di lapangan golf itu bersama Yoichiro, Thosiyuki, serta Presiden Direktur Suzuki dan Kawasaki.
Investigator KPPU menduga, pada pertemuan itulah Thosiyuki meminta Yoichiro agar Yamaha mengikuti kenaikan harga jual Honda, seperti cerita pada e-mail Yutaka. Thosiyuki memang membenarkan ada pertemuan informal di lapangan golf itu. Namun, menurut dia, kongko itu terjadi pada 30 November 2014. Sedangkan e-mail Yoichiro agar bawahannya mengirimkan "pesan" kepada Honda terkirim delapan bulan sebelumnya, 28 April 2014.
Yamaha menilai KPPU salah arah ketika menduga ada kartel berdasarkan e-mail dari Yoichiro. Investigator KPPU, menurut Dyon, tak mengutip e-mail Yoichiro secara lengkap dan salah memahami konteksnya. "Sampaikan pesan kepada Honda artinya kami akan melawan." Konteks kalimat itu, kata Dyon, justru perang harga.
Toh, Komisi Pengawas berkukuh dengan tuduhannya. Menurut KPPU, dengan menaikkan harga, angka penjualan sepeda motor Yamaha pada 2014 turun jadi 2,37 juta unit dari 2,49 juta unit pada 2013. Meski angka penjualan surut, menurut KPPU, pada 2014 Yamaha mencatatkan laba Rp 1,679 triliun, naik dari Rp 1,578 triliun pada 2013. Dari perhitungan itu, KPPU menaksir keuntungan Yamaha pada 2014 melonjak Rp 127 miliar atau 47,4 persen.
Menurut Syarkawi, tanpa kartel, harga skutik semestinya hanya sekitar Rp 12 juta per unit. "Tapi di pasar sampai Rp 15 juta. Penjualan seperti ini," menurut Syarkawi, "hanya bisa dilakukan atas kesepakatan perusahaan besar."
Dyon kembali menangkis tuduhan KPPU dengan menunjukkan kesalahan perhitungan lembaga itu. Menurut dia, KPPU melakukan kesalahan fatal karena menyebut kenaikan laba Yamaha sebesar 47,4 persen. "Seolah-olah terjadi excessive profit." Padahal, kata Dyon, yang benar kenaikan laba Yamaha hanya 7,4 persen. "Coba hitung lagi dengan cermat dari mana angka 40 persen itu," tutur Dyon.
Berkaitan dengan harga skutik, menurut Dyon, KPPU juga tak menghitung pajak dan bea balik nama yang dibebankan kepada konsumen. Di Indonesia, pajak dan bea itu hampir 42 persen. "Angka ini sangat tinggi dibanding negara lain," kata Dyon.
Dyon mencontohkan harga Yamaha Mio. Berdasarkan harga pabrik (off the road), Mio dibanderol Rp 9,325 juta. Kemudian dikenai pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan yang totalnya Rp 1 juta. Selain itu, ada biaya lain, seperti pajak bea balik nama, pembuatan pelat dan surat-surat, serta margin keuntungan untuk dealer utama dan dealer penjual. Walhasil, harga skutik Yamaha Mio siap jalan (on the road) di Jakarta menjadi Rp 14,88 juta.
Seperti halnya Yamaha, Honda menuding pengusutan KPPU tidak berdasar. Menurut Deputy Head Corporate Communication Astra Honda Motor Ahmad Muhibbudin, kartel bisa terjadi ketika perusahaan berbagi pangsa pasar dengan pesaing untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Nah, pada periode penyelidikan KPPU, pangsa pasar Honda jauh di atas kompetitornya. "Bagi pemimpin pasar, untuk apa bersepakat dengan pesaing yang lebih kecil?" ujar Muhib.
Tuduhan mengambil keuntungan maksimal, menurut Muhib, juga tak terbukti karena laba Honda menurun dari Rp 4,912 triliun pada 2013 menjadi Rp 4,886 triliun pada 2014. Padahal angka penjualan skutik Honda naik. Menurut Muhib, penurunan profit itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain daya beli konsumen, nilai tukar dolar, inflasi, dan upah tenaga kerja. "Kami tak mengerti mengapa tiba-tiba disebut melakukan kartel," ujar Muhib.
Linda Trianita, Pingit Aria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo