SATU jam sesudah penembakan, mayat Issam Sartawi masih
tergeletak berlumur darah di lobi Hotel Montchro, Albufeira,
Portugal. Tokoh moderat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)
itu ditembak oleh seorang pria jangkung, identitasnya belum
diketahui, ketika sedang bercakap-cakap dengan dubes Tanzania.
Peristiwa naas itu terjadi Minggu siang lalu tiga hari sesudah
pihak PLO menolak Raja Hussein dari Yordania mewakili rakyat
Palestina dalam perundingan damai dengan Israel.
Kehadiran Sartawi, 48 tahun, di Albufeira erat kaitannya dengan
penyelesaian kemelut Palestina. Ia, terakhir menjabat
koordinator PLO di Eropa, mengemban tugas khusus dari ketua PLO
Yasser Arafat untuk mendekati golongan kiri Israel. Mereka ini,
seperti halnya Sartawi, hadir dalam Konperensi Sosialis
Internasional ke-16 yang berlangsung di Albufeira.
Sartawi, yang selalu bepergian tanpa pengawal, memang tokoh yang
tepat untuk missi tersebut. Ia sebelumnya telah berhasil
merintis hubungan baik dengan kelompok moderat Israel yang
bersimpati terhadap penderitaan rakyat Palestina - hubungan baik
ini dijajaki Sartawi lewat wakil-wakil Dewan Israel bagi
perdamaian Israel-Palestina di tahun 1976. Tapi kali ini
missinya ditentukan lain oleh tangan teroris.
Terbunuhnya Sartawi, menurut Presiden Sosialis Internasional
Willy Brandt, mungkin dikarenakan almarhum setuju jalan damai
bagi penyelesaian masalah Palestina. "Kematiannya merupakan
peringatan bagi kita agar usaha penyelesaian konflik Timur
Tengah lebih ditingkatkan lagi," ujar Brandt.
Komentar Brandt tersebut seperti mengisyaratkan adanya pihak
tertentu yang dengan sengaja berusaha menggagalkan prakarsa
perdamaian di Timur Tengah. Sekjen Dewan Nasional Palestina
Mohammad Sebih, langsung menuding Mossad, dinas rahasia Israel,
berdiri di belakang pembunuhan Sartawi. Israel membantah
tudingan itu. Dan menuduh tokoh PLO garis keras, Abu Nidal, yang
mendalangi perbuatan keji tersebut.
Dengan terbunuhnya Sartawi penyelesaian damai krisis Timur
Tengah tampak bertambah runyam. Perundingan penarikan mundur
tentara Israel dari Libanon, yang terbentur pada soal Mayor Saad
Hadad dengan 2.000 tentaranya, buntu. Sementara itu Israel terus
melanjutkan perluasan pemukiman di wilayah Tepi Barat tanpa ada
yang mampu menghentikannya.
AS, sampai Sabtu lalu, masih belum memperlihatkan tanda-tanda
memaksa Israel untuk menghentikan usaha pemukiman itu. Malah
mereka menekan Palestina dengan syarat: Raja Hussein harus hadir
dalam perundingan damai Timur Tengah.
Mengapa AS memaksakan syarat itu? Jika PLO menerima persyaratan
itu berarti mereka menyetujui rencana perdamaian Reagan - yang
hanya mengakui hak otonomi Palestina dalam sebuah ikatan dengan
Yordania. Jadi bukan hak untuk membentuk negara merdeka
sebagaimana dituangkan dalam rencana perdamaian Fez dan
dikukuhkan lagi oleh sidang Dewan Nasional Palestina di Aljir,
Februari silam.
Pertentangan yang mendasar antara usul Reagan dan rencana
perdamaian Fez, yang disponsori oleh Arab Saudi, telah
mengakibatkan perundingan damai di Timur Tengah jadi
berlarut-larut. Sementara Israel tetap saja membangun pemukiman
di Tepi Barat. Tidak heran bila Hussein terpaksa mengultimatum
PLO agar dalam tempo 48 jam memberikan jawaban: memberi dukungan
kepadanya atau tidak. Sebab, "waktu sudah mendesak," katanya.
Tapi PLO tak mengacuhkannya - seperti diketahui Hussein tidak
sedia berunding dengan Israel jika tidak mendapat mandat penuh
dari PLO.
Tidak diberikannya dukungan oleh PLO kepada Hussein, satu
peluang lenyap sudah. Yang paling dirugikan bukan Yordania
melainkan rakyat Palestina. Sebab Tepi Barat, yang diincar
Palestina untuk tempat pemukiman, tiap hari digerogoti Israel.
Seperti kata seorang politisi Yordania yang dekat dengan Istana:
"Bila kita tidak menekan Israel untuk melakukan negosiasi
mengenai Tepi Barat sekarang, mereka yang akan memaksa kita
berunding soal Tepi Timur sebentar lagi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini