BOROBUDUR nampaknya semakin angker begitu senja tiba. Rumah
penduduk yang masih kukuh di sekitar candi itu kini gelap.
Kegelapan masih ditambah lagi dengan kesunyian. Tak lagi ada
kerumunan di depan pesawat televisi. Orang pun tak lagi
bergerombol di jalan, sambil menatap candi yang bagai bertabur
bintang, seperti sebelumnya.
Aliran listrik yang menuju perkampungan sekitar candi itu, telah
diputus PLN sejak akhir Maret. Kampung itu - Dukuh Ngaran,
Kenayan, Gopalan, Gendingan, Sabrangrowo - dikenal sebagai
daerah zone II pengembangan Borobudur. Dalam kawasan ini, akan
dibangun taman yang dikelola oleh PT Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan. Rumah-rumah memang harus digusur dari
zone II itu.
Bahwa masih add rumah yang berdiri, itu adalah kasus lama yang
cukup pelik penyelesaiannya. Sebanyak 98 kepala keluarga masih
bertahan, tak mau digusur mengikuti yang lainnya, menempati
pemukiman pengganti (pemukti) yang telah disediakan pemerintah.
Mereka menempuh berbagai cara seperti mengadu ke LBH, mengirim
utusan ke DPRD atau berunding dengan pengelola PT Taman Wisata.
Hasilnya tak pernah final, karena para penduduk itu pada
prinsipnya tetap tak mau pindah.
"Kalau dijadikan taman, biarkan kami hidup di dalam taman. Kalau
candi dilestarikan, kenapa penduduknya tidak sekalian
dilestarikan, begitu pernah diucapkan Setro Wikromo, mewakili
mereka yang bertahan. Pemda Kabupaten Magelang yang menangani
pembebasan tanah untuk PT Taman Wisata tentu saja tak bisa
menerima semua itu. Karena pendirian taman wisata dan pembagian
zone didasarkan atas riset, baik menyangkut arkeologi, sejarah
maupun pengembangan candi itu sendiri. (TEMPO, 26 Februari
1983).
PLN Wilayah XIII Cabang Magelang pertama kali mengirim
pemberitahuan akan adanya pemutusan aliran listrik pada 2 Juli
1982. Waktu itu penduduk dianjurkan untuk segera membongkar
instalasi listrik di rumah yang akan kena gusur, karena aliran
akan diputus awal September. Tak ada yang menghiraukan anjuran
tersebut. PLN juga tak bertindak walau bulan September telah
lewat. Alasannya, sebagian jaringan masih diperlukan untuk
penerangan pasar.
Tetapi ketika Pasar Borobudur dipindah ke pemukiman baru bulan
Oktober 1982, aliran listrik ke rumah penduduk di zone II tetap
tak diapa-apakan. Bagi penduduk rupanya ini dianggap suatu
"kemenangan" hingga mereka semakin kukuh untuk bertahan. Sampai
tiba waktunya, 31 Maret lalu, PLN benar-benar memutuskan aliran
listrik. Penduduk jadi tersentak dan ramairamai mendatangi
Kelompok Studi Bantuan Hukum (KSBH) Yogya untuk mengadukan
masalahnya. Lembaga ini - yang bersama LBH Yogya, sudah memberi
bantuan hukum sejak 1981, lewat LBH Pusat mengimbau PLN dan
Pemda Magelang agar membatalkan pencabutan aliran listrik itu.
"Kalau pemerintah mengambil sikap keras, pasti penduduk akan
lebih keras, dan itu jelas bukan penyelesaian," ujar Abdul
Hakim, SH, manajer eksekutif LBH di Jakarta. "Tindakan pemutusan
listrik itU tidak lain hanya bermaksud agar masyarakat seger?
meninggalkan daerah itu," lanjutnya.
Komentar lebih keras datang dari KSBH Yogya. "Pencabutan listrik
itu merupakan tindakan sewenang-wenang," kata Moh. Farid dari
Komisi Penerangan KSBH. "Apapun yang terjadi, penduduk tetap tak
mau pindah, mereka telaniur telah mencintai desanya yang sudah
turun-temurun ditempati."
Bupati Magelang, Drh. Soepardi tak merasa mencabut aliran
listrik. Apalagl itu proyek listrik masuk desa dan baru menyala
awal 1980. "Yang terjadi adalah pemindahan aliran dari zone II
yang harus dikosongkan ke pemukiman pengganti, karena jaringan
telah selesai," katanya lewat telepon Senin malam kepada E.H.
Kartanegara dari TEMPO. Tentang zone II, bupati sudah
menganggapnya sebagai suatu daerah kosong, dan "sesuai surat
gubernur, zone itu dijadikan taman wisata yang pembangunannya
semestinya sudah dimulai tahun 1981."
Kepala PLN Cabang Magelang, Kasdik Sumawinata, BEE, juga tak
merasa "mencabut aliran". Listrik itu dipindahkan dari zone II
karena sangat membahayakan untuk pekerjaan taman wisata.
Apalagi, "PLN sudah selesai memasukkan aliran listrik ke
pemukiman baru dengan anggaran Rp 104 juta lebih," katanya.
Berbagai kemudahan telah diberikan, misalnya hak pelanggan tetap
sama, biaya pemindahan aliran tak dipungut.
Penduduk tak banyak berkomentar. Mereka hanya membisu sewaktu
menyaksikan petugas PLN membenahi kawat-kawat yang mulai dilepas
dari tiang listrik. Sementara jalanan di sana-sini sudah mulai
digali untuk pembangunan taman wisata. Kepala Dukuh Kenayan,
Martosuyono berkata: "Dulu sebelum ada listrik, kami pakai lampu
minyak, sekarang kembali pakai lampu minyak, tak ada persoalan."
Sikap bertahan mereka ternyata masih kukuh, entah sampai kapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini