Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bertahan dalam gelap

Aliran listrik di sekitar candi borobudur (zane ii) diputuskan, penduduk yang tak mau pindah tetap bertahan dan mengadu ke kelompok studi bantuan hukum (ksbh). (nas)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOROBUDUR nampaknya semakin angker begitu senja tiba. Rumah penduduk yang masih kukuh di sekitar candi itu kini gelap. Kegelapan masih ditambah lagi dengan kesunyian. Tak lagi ada kerumunan di depan pesawat televisi. Orang pun tak lagi bergerombol di jalan, sambil menatap candi yang bagai bertabur bintang, seperti sebelumnya. Aliran listrik yang menuju perkampungan sekitar candi itu, telah diputus PLN sejak akhir Maret. Kampung itu - Dukuh Ngaran, Kenayan, Gopalan, Gendingan, Sabrangrowo - dikenal sebagai daerah zone II pengembangan Borobudur. Dalam kawasan ini, akan dibangun taman yang dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan. Rumah-rumah memang harus digusur dari zone II itu. Bahwa masih add rumah yang berdiri, itu adalah kasus lama yang cukup pelik penyelesaiannya. Sebanyak 98 kepala keluarga masih bertahan, tak mau digusur mengikuti yang lainnya, menempati pemukiman pengganti (pemukti) yang telah disediakan pemerintah. Mereka menempuh berbagai cara seperti mengadu ke LBH, mengirim utusan ke DPRD atau berunding dengan pengelola PT Taman Wisata. Hasilnya tak pernah final, karena para penduduk itu pada prinsipnya tetap tak mau pindah. "Kalau dijadikan taman, biarkan kami hidup di dalam taman. Kalau candi dilestarikan, kenapa penduduknya tidak sekalian dilestarikan, begitu pernah diucapkan Setro Wikromo, mewakili mereka yang bertahan. Pemda Kabupaten Magelang yang menangani pembebasan tanah untuk PT Taman Wisata tentu saja tak bisa menerima semua itu. Karena pendirian taman wisata dan pembagian zone didasarkan atas riset, baik menyangkut arkeologi, sejarah maupun pengembangan candi itu sendiri. (TEMPO, 26 Februari 1983). PLN Wilayah XIII Cabang Magelang pertama kali mengirim pemberitahuan akan adanya pemutusan aliran listrik pada 2 Juli 1982. Waktu itu penduduk dianjurkan untuk segera membongkar instalasi listrik di rumah yang akan kena gusur, karena aliran akan diputus awal September. Tak ada yang menghiraukan anjuran tersebut. PLN juga tak bertindak walau bulan September telah lewat. Alasannya, sebagian jaringan masih diperlukan untuk penerangan pasar. Tetapi ketika Pasar Borobudur dipindah ke pemukiman baru bulan Oktober 1982, aliran listrik ke rumah penduduk di zone II tetap tak diapa-apakan. Bagi penduduk rupanya ini dianggap suatu "kemenangan" hingga mereka semakin kukuh untuk bertahan. Sampai tiba waktunya, 31 Maret lalu, PLN benar-benar memutuskan aliran listrik. Penduduk jadi tersentak dan ramairamai mendatangi Kelompok Studi Bantuan Hukum (KSBH) Yogya untuk mengadukan masalahnya. Lembaga ini - yang bersama LBH Yogya, sudah memberi bantuan hukum sejak 1981, lewat LBH Pusat mengimbau PLN dan Pemda Magelang agar membatalkan pencabutan aliran listrik itu. "Kalau pemerintah mengambil sikap keras, pasti penduduk akan lebih keras, dan itu jelas bukan penyelesaian," ujar Abdul Hakim, SH, manajer eksekutif LBH di Jakarta. "Tindakan pemutusan listrik itU tidak lain hanya bermaksud agar masyarakat seger? meninggalkan daerah itu," lanjutnya. Komentar lebih keras datang dari KSBH Yogya. "Pencabutan listrik itu merupakan tindakan sewenang-wenang," kata Moh. Farid dari Komisi Penerangan KSBH. "Apapun yang terjadi, penduduk tetap tak mau pindah, mereka telaniur telah mencintai desanya yang sudah turun-temurun ditempati." Bupati Magelang, Drh. Soepardi tak merasa mencabut aliran listrik. Apalagl itu proyek listrik masuk desa dan baru menyala awal 1980. "Yang terjadi adalah pemindahan aliran dari zone II yang harus dikosongkan ke pemukiman pengganti, karena jaringan telah selesai," katanya lewat telepon Senin malam kepada E.H. Kartanegara dari TEMPO. Tentang zone II, bupati sudah menganggapnya sebagai suatu daerah kosong, dan "sesuai surat gubernur, zone itu dijadikan taman wisata yang pembangunannya semestinya sudah dimulai tahun 1981." Kepala PLN Cabang Magelang, Kasdik Sumawinata, BEE, juga tak merasa "mencabut aliran". Listrik itu dipindahkan dari zone II karena sangat membahayakan untuk pekerjaan taman wisata. Apalagi, "PLN sudah selesai memasukkan aliran listrik ke pemukiman baru dengan anggaran Rp 104 juta lebih," katanya. Berbagai kemudahan telah diberikan, misalnya hak pelanggan tetap sama, biaya pemindahan aliran tak dipungut. Penduduk tak banyak berkomentar. Mereka hanya membisu sewaktu menyaksikan petugas PLN membenahi kawat-kawat yang mulai dilepas dari tiang listrik. Sementara jalanan di sana-sini sudah mulai digali untuk pembangunan taman wisata. Kepala Dukuh Kenayan, Martosuyono berkata: "Dulu sebelum ada listrik, kami pakai lampu minyak, sekarang kembali pakai lampu minyak, tak ada persoalan." Sikap bertahan mereka ternyata masih kukuh, entah sampai kapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus