Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berpenampilan "ala kadarnya", perempuan itu mendatangi Kantor Pelayanan Pajak Tebet, Jakarta Selatan, Selasa tiga pekan lalu. Kepada petugas pajak yang melayaninya, wanita berkaus oblong dan bercelana jins lusuh itu mengenalkan diri bernama Carolin Carolina, direktur sebuah perusahaan alat elektronik.
Petugas langsung curiga sewaktu Carolin mengutarakan maksudnya untuk mengurus sertifikat faktur pajak elektronik, yang mulai berlaku pada 1 Juli lalu. "Karena penampilan dia tak seperti seorang bos perusahaan," kata Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Yuli Kristiyono ketika menceritakan kembali kejadian itu, 7 Juli lalu.
Kecurigaan petugas bertambah karena Carolin tampak ragu-ragu menyebutkan alamat rumah dan tanggal lahirnya sendiri. Petugas di bagian pendaftaran pun meminta perempuan itu naik ke lantai dua. Di sana rupanya sudah menunggu beberapa penyidik dari Direktorat Jenderal Pajak.
Setelah diinterogasi hampir dua jam, Carolin akhirnya menyerah. Ia mengakui memakai identitas palsu untuk membuat faktur elektronik karena disuruh bosnya yang bernama Andreas. Carolin pun buka-bukaan bahwa dia terlibat dalam sindikat faktur pajak fiktif.
Berbekal informasi dari Carolin, pada 20 Juni lalu, tim penyidik Direktorat Jenderal Pajak menggerebek rumah di Jalan Daan Mogot Kilometer 10 Nomor 38, Jakarta Barat. Di sana penyidik mendapati enam rekan Carolin yang berprofesi sebagai direktur jadi-jadian dari berbagai perusahaan. "Tugas mereka sama, menjadi kurir untuk mengurus faktur fiktif," ujar seorang penyidik yang turut menggerebek rumah tersebut.
Langkah penyidik pajak sempat terhambat ketika memburu pemimpin komplotan: Andreas. Soalnya, semua direktur jadi-jadian itu mengaku tak tahu di mana bos mereka tinggal. Satu-satunya petunjuk datang dari seorang karyawan yang pernah mengantar Andreas ke Apartemen Central Park. Rombongan penyidik pun bergerak ke apartemen di kawasan Grogol, Jakarta Barat, itu.
Setelah tiga hari mengintai apartemen tersebut, penyidik pajak akhirnya mencium jejak Andreas. Tapi dia jarang mendatangi apartemen itu. Pada 23 Juni lalu, penyidik bersiap menangkap sasaran mereka. Namun, ditunggui sampai siang, Andreas tak kunjung muncul. Ia baru datang menjelang magrib, dengan mobil Toyota Fortuner putih. "Kami sampai batal salat untuk menangkap dia," kata seorang penyidik.
Keesokan harinya, penyidik pajak menitipkan Andreas ke ruang tahanan Markas Besar Kepolisian RI. Sedangkan tujuh orang kaki tangan dia sejauh ini belum ditahan. "Mereka kami anggap kooperatif," ucap Yuli. Menurut catatan Yuli, penangkapan komplotan Daan Mogot merupakan kasus pertama percobaan penerbitan faktur fiktif setelah Direktorat Jenderal Pajak menerapkan sistem pelayanan elektronik.
Rumah satu lantai di Jalan Daan Mogot itu tampak tak terawat. Kelir cokelatnya mengelupas di sana-sini. Keramik terasnya pun berselimut debu tebal. "Dari luar kelihatan seperti tak berpenghuni. Padahal di dalamnya sudah disulap seperti kantor," kata seorang penyidik Direktorat Jenderal Pajak.
Di rumah itulah Andreas menjalankan bisnis gelapnya: menjual faktur fiktif. Perusahaan yang akan mengakali laporan pajak cukup membeli faktur bodong dari komplotan ini. Untuk memenuhi permintaan pelanggan, Andreas dan kawan-kawan menyiapkan 58 nama perusahaan fiktif yang bisa mengeluarkan faktur dengan jenis dan nilai transaksi yang bisa dinegosiasikan. "Ada perusahaan elektronik, peralatan kantor, sampai bangunan," ujar sang penyidik.
Dari markas Andreas dkk, penyidik menyita puluhan stempel perusahaan plus contoh tanda tangan direktur jadi-jadian dari tiap perusahaan. Di samping itu, ada stempel rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, serta kecamatan yang diduga dipakai untuk memalsukan identitas dan tempat domisili perusahaan.
Menurut Yuli Kristiyono, komplotan Andreas sudah bekerja sejak 2007. Selama ini jejaknya tak tercium karena mereka bekerja dengan rapi. Misalnya, Andreas membekali anak buahnya dengan keahlian menghitung pajak agar tak mengeluarkan faktur yang mudah memancing kecurigaan aparat.
Yuli menerangkan, ada dua modus pelanggaran pajak oleh perusahaan pemakai faktur fiktif. Pertama, perusahaan memanipulasi faktur untuk memperoleh restitusi atau pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak dari negara. Namun, menurut Yuli, modus ini jarang dipakai karena prosesnya melibatkan audit keuangan, sebelum wajib pajak nakal memperoleh pengembalian.
Adapun cara kedua, ini yang paling umum, adalah menerbitkan faktur pajak berdasarkan transaksi fiktif. Cara ini pula yang digunakan komplotan Daan Mogot. Dengan modus transaksi fiktif ini, perusahaan nakal bisa mengurangi jumlah pajak pertambahan nilai—sebesar 10 persen per transaksi—yang harus mereka bayarkan kepada negara.
Sejauh ini Direktorat Jenderal Pajak masih menelisik perusahaan mana saja yang pernah memakai jasa Andreas dkk serta berapa jumlah pajak yang mereka gelapkan. Dari lamanya sindikat ini beroperasi, Yuli memperkirakan, nilai faktur fiktif yang sudah diterbitkan mereka bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Meski Andreas dkk merupakan komplotan pertama yang terbongkar sejak Direktorat Jenderal Pajak menerapkan sistem faktur pajak elektronik, kasus pemalsuan faktur pajak sudah beberapa kali terungkap. Kerugian negara diperkirakan mencapai triliunan rupiah (lihat "Pemalsuan yang Terungkap").
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, peluang pemalsuan faktur pajak masih terbuka lebar meski sistemnya telah beralih dari manual ke elektronik. Penyebabnya, Direktorat Jenderal Pajak belum memiliki mekanisme ketat dalam memverifikasi pemohon sertifikat faktur.
Selain itu, menurut Yustinus, Direktorat Jenderal Pajak belum memiliki data pasti berapa sebenarnya jumlah wajib pajak yang terdaftar. Padahal data tersebut merupakan dasar penghitungan potensi pendapatan negara dari sektor pajak. "Dengan data yang baku, pengawasan pun akan lebih ketat," kata Yustinus.
Tertangkapnya jaringan Andreas dkk, di mata Yustinus, lebih karena faktor kebetulan semata. "Kebetulan petugas curiga pada Carolin. Bagaimana kalau pemohon datang dengan tampang meyakinkan?" ucap Yustinus.
Syailendra Persada
Aparat Pajak yang Terlibat
Sepanjang 2014, ada 298 pegawai pajak yang ketahuan melakukan berbagai pelanggaran, termasuk bekerja sama dengan jaringan pembuat faktur fiktif. Dari jumlah tersebut, 111 orang dikenai sanksi ringan, 42 orang dijatuhi sanksi sedang, dan 110 orang dihukum berat.
Syailendra | Sumber: Wawancara/PDAT
Pemalsuan yang Terungkap
April lalu, Satuan Tugas Penanganan Faktur Pajak Fiktif mengungkap data mencengangkan. Sepanjang semester kedua 2014, di Provinsi Jawa Timur saja ditemukan 841 pengguna faktur pajak fiktif dengan nilai sekitar Rp 375 miliar. Lalu, di Jawa Tengah-Yogyakarta, terungkap ada 290 wajib pajak pengguna faktur fiktif dengan nilai Rp 179 miliar. Di DKI Jakarta, nilainya lebih fantastis lagi. Sebanyak 499 perusahaan diduga memakai faktur fiktif untuk mengemplang pajak senilai Rp 934,21 miliar. Inilah sejumlah kasus yang terungkap.
2013
Oktober
Direktorat Jenderal Pajak menangkap seorang pengusaha percetakan asal Sulawesi Selatan yang memalsukan faktur pajak. Akibat perbuatannya, negara merugi sekitar Rp 1,1 miliar.
Seorang pengusaha asal Bekasi ditangkap karena menerbitkan faktur fiktif. Pengusaha berinisial MBA ini bahkan sampai memalsukan akta notaris. Kerugian negara diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
2014
April
Direktorat Jenderal Pajak menangkap dua gembong penerbit faktur fiktif di Jakarta Timur. Keduanya merupakan konsultan pajak yang sudah beroperasi sejak 2003. Nilai kerugian negara mencapai Rp 247 miliar.
September
Empat bekas petugas kebersihan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kramatjati ditangkap karena menerbitkan faktur fiktif untuk delapan perusahaan. Mereka menjalankan bisnis gelapnya sejak 2010. Total kerugian negara belasan miliar rupiah.
2015
Januari
Seorang pengusaha farmasi asal Surakarta, Ariadi, menjadi tersangka penggangsiran uang negara senilai Rp 1,06 miliar melalui penerbitan faktur fiktif.
Mei
Direktorat Jenderal Pajak menemukan 290 wajib pajak yang diduga memakai faktur pajak fiktif di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Nilainya mencapai Rp 179 miliar.
Juni
Ada 841 pengguna faktur pajak fiktif dengan nominal senilai Rp 375 miliar di Jawa Timur. Rinciannya untuk DJP Jawa Timur I sebesar Rp 246,85 miliar dari 588 wajib pajak. Lalu DJP Jawa Timur II sebesar Rp 113,99 miliar dari 205 wajib pajak. Terakhir, DJP Jawa Timur III sebesar Rp 14,13 miliar dengan 48 wajib pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo