BELUM lagi hilang gema tentang Perang Dunia III, Radio Israel di Tel Aviv sudah menandaskan bahwa pemerintahan PM Shimon Peres pada dasarnya tidak bermaksud menyerang Libya. Radio itu juga membantah spekulasi tentang kerja sama Israel-AS yang akan bergabung dalam satu tindakan pembalasan terhadap Libya. Berita ini disiarkan Ahad lalu, tiga hari sesudah Peres bersumpah akan menghukum Libya, negara yang, katanya, bergelimang kejahatan. "Israel tidak akan tinggal diam," ujar PM Israel itu tandas, seraya menyerukan supaya kerja sama dinas rahasia diperbaiki dan pengamanan pesawat udara, kapal, dan bandar udara ditingkatkan. Mengingat hanya satu warga Israel tewas dari 19 yang meninggal, akibat serangan di bandar udara Roma dan Wina, maka amarah Peres tampaknya terlalu dibesar-besarkan. Adapun serangan maut terhadap perusahaan penerbangan Israel, El Al, di Roma dan Wina terjadi Jumat dua pekan silam dan cukup menggegerkan Eropa serta Timur Tengah. Tapi manakala AS tampak ragu melancarkan serangan balasan, sementara negara Eropa Barat bersikap penuh perhitungan, Israel pun bertanya "apakah negeri itu mesti berperang sendirian melawan terorisme." Seruan Washington agar terhadap Libya dikenakan sanksi politik dan ekonomi, ternyata, sebegitu jauh tidak pula memperoleh tanggapan. Tel Aviv pada mulanya mencurigai PLO sebagai pelaku teror. Tapi ketika kantor berita Libya, Jana, di Tripoli menyanjung serangan maut itu sebagai tindakan kepahlawanan, maka Israel dan AS kontan mengamuk pada Libya. Apalagi sesudah Mohammed Sarham, perusuh Palestina di Roma, mengaku tentang adanya hubungan dengan Abu Nidal, tak ayal lagi, kecaman lawan bertubi-tubi dihunjamkan kepada Qadhafi. Pemimpin Libya itu membantah tuduhan ini, tapi diakuinya serangan terhadap El Al telah merugikan perjuangan Palestina. Ia mengakui pernah bertemu dengan Abu Nidal di suatu tempat, tapi Libya tidak menyediakan kamp-kamp latihan militer seperti yang dtuduhkan Israel. Celoteh Qadhafi ini sia-sia saja karena AS, demi solidaritas dengan Israel, mulai menggerakkan Armada VI ke perairan Libya, akhir pekan lalu. Melihat gelagat tak sedap ini, pemimpin Libya itu pun angkat bicara dalam konperensi pers yang mengambil tempat di sebuah ladang gandum, di luar Kota Tripoli, Ahad siang lalu. Menurut Qadhafi, manuver 40 kapal perang AS tak dapat tidak harus ditafsirkan sebagai satu pernyataan perang. Merasa terancam, Qadhafi menyatakan negaranya berada dalam keadaan darurat, sementara tentara diperintahkan siaga penuh. Tak lupa ia sesumbar tentang pasukan berani mati, yang kalau perlu bisa menghantam orang-orang Amerika di jalan-jalan kotanya sendiri. Dalam kesempatan itu diingatkannya bahwa peningkatan ketegangan di Laut Tengah bisa saja pecah menjadi Perang Dunia III. Mengetahui betapa seriusnya "ancaman" Amerika, Liga Arab, yang tengah bersidang di Tunis, segera mengecam keras perlakuan AS terhadap Libya. Ancaman Armada VI bahkan dianggap tantangan bagi seluruh dunia Arab. Lebih dari itu, Liga, yang beranggotakan 21 negara Arab itu, bertekad menyokong Libya, jika negara tersebut benar-benar diserang kelak. PLO juga rupanya tidak akan segan-segan memihak Qadhafi, apabila ternyata Amerika dan Israel jadi mengeroyok Libya. Uni Soviet tidak ketinggalan, mengecam keras sikap bermusuhan yang dipertontonkan Amerika. Namun, sampai Selasa pagi pekan ini, rudal SAM-5 permukaan ke udara belum perlu ditembakkan ke arah Armada VI. Sementara itu, kehidupan di Tripoli berjalan sebagaimana biasa. Tidak ada manuver militer yang mencurigakan seluruh negeri malah kelihatan aman tenteram. Bahkan, "tidak ada orang Amerika angkat kaki dari Libya," kata seorang diplomat di sana. "Mereka beroleh penghasilan besar di sini dan tidak ada petunjuk nyawa mereka terancam," tambah sumber itu. Memang, tidak kurang dari Qadhafi sendiri yang menjamin keselamatan 1.500 warga Amerika yang bekerja di pertambangan minyak Libya. Dan mereka diistimewakan sebagai tamu. Tidak jelas apakah karena perilaku manis ini AS berubah sikap. Yang pasti, juru bicara Gedung Putih Larry Speakes telah meredakan ketegangan dengan pernyataan bahwa kegiatan Armada VI hanya merupakan patroli rutin. Dan yang terlibat bukan 40, tapi cuma 24 kapal, termasuk kapal induk Coral Sea dan penjelajah Yorktown. Sementara itu, Pentagon tutup mulut tentang dua kapal induk lainnya, America dan lowa, yang sudah bertolak menuju Laut Tengah. Andai kata manuver itu serius, bagi Libya ini toh bukan yang pertama kalinya. Dalam satu perang-perangan di Laut Tengah, Agustus 1981, AS bukan saja mengirimkan kapal induk Nimmitz, tapi juga menembak jatuh dua pesawat tempur Libya, Sukhoi SU-22. Qadhafi protes keras untuk serangan yang kemudian dikenal sebagai insiden Teluk Sidra. Apakah akan terjadi insiden Sidra berikutnya? Pertanyaan ini untuk sementara dibiarkan tak terjawab oleh Washington, sedangkan Qadhafi mungkin tengah tersenyum lebar di kemahnya. AS dan Israel boleh menggertak dan menggebrak, tapi pemimpin Libya itu tahu pasti bahwa negara Eropa, khususnya Jerman Barat dan Italia, bergantung sekali pada minyaknya. Dia bukan saja bebas dari sanksi ekonomi dan politik, tapi boleh menepuk dada untuk dukungan Liga Arab yang sekonyong-konyong memihak kepadanya. Isma Sawitri Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini