KAMPANYE Bob Geldof dalam menghantam para perekam kaset bajakan Indonesia ternyata masih berakibat panjang. Kali ini yang terkena adalah Anthony Darmawan Setiono, pemilik perusahaan eksportir kaset Inexco. Pengusaha muda ini terpaksa mendekam di tahanan di New York selama tiga hari. Ia baru dapat bebas setelah membayar uang jaminan lebih dari Rp 100 juta. Padahal, impiannya ke New York adalah mendapat untung. Semua ini dimulai dengan niat Anthony, yang bukan anggota Asosiasi Perekam Nasional Indonesia (APNI), memasarkan kaset hasil rekamannya ke Amerika, setelah berhasil melakukan hal serupa ke Timur Tengah. Sadar akan bahaya tuntutan pemilik hak cipta (copyright) ia pun kabarnya sempat minta bantuan Konsulat Jenderal RI di New York untuk mencari mitra dagang, awal tahun lalu. Maklum, dengan murahnya harga kaset kosong di Indonesia dan canggihnya teknologi rekaman yang dimiliki, Anthony merasa mampu bersaing di pasaran AS walaupun dengan membayar royalty. Entah bagaimana mulainya, menurut sebuah sumber di Departemen Luar Negeri Anthony akhirnya bermitra dengan seorang warga RI bernama Suko Prasetyo. Tokoh ini dikenal sebagai bekas manajer Elteha yang kemudian menjadi importir. Kepada mitra dagangnya ini Suko mengaku mewakili NBS Enterprise dan minta dikirim contoh produksi perusahaannya, Inexco. Setelah menyatakan puas atas kualitas 30-an kaset yang dikirim sebagai contoh, Suko mengirim teleks meminta dikirim lagi 5.000 kaset. Menurut Anthony, Suko inilah yang menginstruksikan agar kaset dikirim terpisah dari labelnya dengan maksud agar tak mendapat kesulitan dengan pabean. Untuk itu, kaset tadi dinyatakan sebagai kaset kosong. Sebagai ongkos pengganti, NBS mengirimkan uang lebih dari 7.000 dolar AS. Kaset itu pun dikirim dan NBS, kemudian mengirim teleks menyatakan telah menerima barang. Selain itu, Anthony diundang ke AS untuk melakukan negosiasi transaksi selanjutnya. Anthony tentu saja menyambut tawaran ini. Maka, pada 11 Desember lalu ia tiba di New York, untuk memenuhi undangan menemui rekan dagang Suko pada tanggal 16 nya. Hanya saja, Anthony mulai curiga karena rekan dagang Suko yang bernama Kenneth Griffith sudah menawarkan membuka LC tanpa menyinggung-nyinggung soal copyright. Konon, karena kecurigaan itu ia minta nasihat pihak Konjen dan dianjurkan menghubungi penasihat hukum. Sial, sebelum hal itu sempat dilakukan, Antony keburu disergap petugas pabean AS pada tanggal 13 sore. Menurut harian Sinar Harapan, penyergapan ini dilakukan di hadapan Atase Perdagangan RI di New York, Edward Parapat. Sayangnya, pejabat ini menolak memberi keterangan ketika dihubungi TEMPO via telepon. "Saya hanya dapat memberi keterangan setelah sidang," katanya sambil menjelaskan bahwa proses penyidangan akan dilakukan pada tanggal 10 Januari itu. Anthony kemudian dibantu oleh Konsulat Jenderal RI di New York dengan menyediakan penasihat hukum. Memang tuduhan yang ditimpakan padanya cukup berat. Dalam dakwaannya, pihak kejaksaan setempat menuduh Anthony memasukkan dan memperdagangkan barang bajakan ke wilayah AS dan memberi pernyataan palsu pada saat memasukkan kaset tersebut. Untuk itu, ia bisa kena denda 250 ribu dolar atau hukuman penjara lima tahun. Sebagai saksi diajukan Kenneth Griffith yang ternyata memang seorang agen khusus dari departemen keuangan AS. Bahkan NBS Enterprise pun diakui, dalam dakwaan itu, sebagai perusahaan fiktif yang keberadaannya hanya digunakan untuk menjebak Anthony. Alhasil, kontak dagang yang dilakukannya selama ini ternyata sebenarnya dilakukan dengan kantor pabean New York. Toh bukan berarti Anthony tanpa harapan. Menurut sumber TEMPO di Departemen Luar Negeri, penasihat hukum Anthony cukup yakin dapat membebaskan kliennya. Sebab, dalam hukum di AS tidak dibenarkan melakukan penjebakan seperti ini. Sebagai contoh, sumber tadi menceritakan kisah raja mobil De Lorean yang dibebaskan pengadilan walaupun terbukti melakukan transaksi perdagangan heroin. De Lorean dibebaskan karena transaksi perdagangan heroin itu merupakan inisiatif petugas FBI. Ini terbukti di pengadilan. Keyakinan para penasihat hukum Anthony ini, tampaknya, diperkuat dengan bukti pengiriman teleks kliennya kepada Atase Perdagangan RI yang jelas-jelas menyatakan niat Anthony membayar royalty. Tapi dapatkah para hakim AS menerima bukti ini di tengah berita ramainya pembajakan hak cipta di Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini