Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kabar Oktober Merah di Malacanang

Presiden Duterte menuding Partai Komunis hendak menggelar kudeta. Dituding cuma fantasi.

2 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Filipina Rodrigo Duterte saat menghadiri pelantikan Kepala Kepolisian Filipina di Kota Quezon, Manila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi dan tentara Divisi Infanteri Ketujuh Angkatan Bersenjata Filipina mengepung sebuah rumah di pinggiran Barangay Agbannawag, Kota Madya Rizal, Provinsi Nueva Ecija, di utara Filipina, Sabtu sore pertengahan Oktober. Mereka langsung menangkap empat perempuan yang sedang berada di sana. Kara-patan, organisasi pegiat hak asasi manusia negeri itu, menyatakan dua di antaranya mengalami cedera berat dengan luka-luka di wajah.

Mereka adalah Yolanda Diamsay, Eulalia Pangkaliwangan Ladesma, Rachel Acana Galario, dan Elaine Ezdel Amocling. Militer menyebut mereka sebagai anggota organisasi terlarang Tentara Rakyat Baru, sayap bersenjata Partai Komunis Filipina. Menurut juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina, Brigadir Jenderal Edgard Arevalo, empat orang itu sedang melakukan rekrutmen, propaganda, dan penghasutan di daerah tersebut. Tentara menemukan sepucuk pistol mitraliur 9 milimeter, amunisi, 4 granat tangan, alat peledak, laptop, 10 telepon seluler, 1 printer, dan dokumen subversif.

Namun, menurut Karapatan, para perempuan itu hanya aktivis dan penangkapan tersebut ilegal. Menurut organisasi itu, Diamsay dan Ladesma adalah anggota Anakpawis, partai politik yang berfokus pada petani dan buruh. Adapun Amocling dan Galario anggota Gabriela Women, organisasi kiri yang berfokus pada perjuangan hak-hak perempuan.

”Karapatan sangat mengutuk penangkapan, penahanan, dan penyiksaan ilegal yang dialami empat perempuan pembela hak asasi manusia di Nueva Ecija. Hal ini tak bisa diterima. Inilah yang terjadi ketika Anda memiliki pasukan keamanan yang tidak menghormati hak asasi manusia,” kata Sekretaris Jenderal Karapatan Cristina Palabay kepada The Philippine Star. ”Inilah jenis polisi dan militer yang kami miliki: orang-orang berseragam tanpa integritas dan tidak menghormati perempuan serta hak-hak mereka.”

Militer menyatakan Amocling adalah mahasiswa Polytechnic University of the Philippines di Manila, satu di antara 18 perguruan tinggi tempat perekrutan personel Tentara Rakyat Baru. Menurut militer, kegiatan di kampus itu, termasuk pemutaran film yang mengkritik masa darurat militer di bawah diktator Presiden Ferdinand Marcos, telah meradikalisasi mahasiswa. Deputi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina Brigadir Jenderal Antonio Parlade menyebutkan film itu menghasut mahasiswa untuk memberontak dengan menggambarkan Presiden Rodrigo Duterte sebagai pemimpin otoriter seperti Marcos.

Penangkapan tersebut, menurut Edgard Arevalo, adalah bagian dari upaya untuk menggagalkan operasi ”Oktober Merah”, rencana kudeta oleh Partai Komunis. Militer mengklaim para tokoh komunis sedang mempersiapkan upaya mengkudeta Duterte pada hari peringatan ulang tahun emas Partai Komunis Filipina, 26 Desember mendatang.

”Kami menggambarkan rencana destabilisasi ini bergulir karena pemimpin komunis bermaksud mengadakan gerakan anti-pemerintah pada Oktober, November, sampai perayaan ulang tahun pendirian mereka pada Desember,” ujar Arevalo seperti dikutip The Philippine Star.

Isu kudeta itu pertama kali dilontarkan Presiden Duterte pada 9 September lalu. ”Saya kira ada orang-orang dekat Duterte yang menyampaikan hal tersebut kepada Duterte,” tutur Richard Javad Heydarian, akademikus Filipina penulis The Rise of Duterte: A Populist Revolt against Elite Democracy, kepada Tempo, pertengahan Oktober lalu.

Menurut Duterte, ada tiga pengkritiknya yang diduga hendak melakukan hal itu. “Liberal, Trillanes, bahkan Partai Komunis. Tiga orang ini, awasi mereka,” ujar Duterte, merujuk pada Partai Liberal, Senator Antonio Trillanes dari Partai Magdalo, dan Partai Komunis Filipina. ”Mereka yang berada di belakang rencana penggulingan yang akan berpuncak pada Oktober. Kalian awasi ketiganya, mereka berkaitan,” ucapnya saat berpidato di Istana Malacanang, Manila, seperti dikutip CNN Philippines.

Duterte telah meminta kepolisian dan militer menangani hal ini. Dia mengaku memiliki informasi tentang rencana kudeta, tapi harus berkonsultasi dulu dengan Mahkamah Agung sebelum merilis buktinya kepada masyarakat. Menurut dia, kelompok itu berusaha melawan pemerintah dengan mengangkat sejumlah isu, seperti kenaikan harga barang dan masalah pasokan beras.

Akhir September lalu, Parlade memamerkan segepok dokumen rahasia berisi rencana kudeta itu saat diwawancarai CNN Philippines. Parlade menyatakan komunis hendak menduduki beberapa daerah dan menggalang unjuk rasa di sejumlah tempat. ”Mereka mengangkat isu tentang dugaan pembunuhan di luar hukum dan pembunuhan terhadap pribumi di Mindanao oleh pemerintah,” katanya.

Ini bukan pertama kalinya Duterte menuding oposisi hendak menggesernya secara paksa. Maret lalu, dia menuduh Trillanes bersama Senator Leila de Lima dan Leni Robredo, Wakil Presiden Partai Liberal, berencana menggusurnya melalui pemakzulan. Leila de Lima kemudian ditangkap polisi dalam kasus narkotik. Trillanes, bekas tentara yang terlibat kudeta gagal pada era Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, ditahan polisi karena Duterte mencabut amnesti yang dulu diberikan Arroyo.

Anggota Tentara Rakyat Baru, organisasi sayap Partai Komunis Filipina, mengikuti apel rutin di Mindanao, Filipina.

Namun militer membantah tuduhan Duterte terhadap para politikus. ”Ini rencana Partai Komunis dan Tentara Rakyat Baru,” tutur Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Carlito Galvez dalam dengar pendapat dengan Senat, akhir September lalu. ”Mereka ingin bisa berkoalisi dengan oposisi. Itu sebabnya, niat kami adalah benar-benar melindungi oposisi yang sah.”

Parlade menyatakan rencana kudeta itu telah ada sejak September tahun lalu. Militer mengetahuinya setelah menyita sembilan laptop dari orang yang diduga anggota Partai Komunis dalam sebuah penggerebekan di Kota General Santos, Mindanao, Juli tahun lalu.

Namun Ketua Minoritas Senat Franklin Drilon menyebut rencana kudeta tersebut cuma kisah fantasi yang tak bisa dipercaya yang diambil dari novel Tom Clancy, The Hunt for Red October. ”Ini lagu lama dan terdengar seperti rekaman rusak,” ucapnya kepada Manila Standard.

Francis Pangilinan, senator dari Partai Liberal, menyarankan Duterte memecat orang-orang yang telah memberikan laporan intelijen palsu ini. ”Siapa pun yang memberi Presiden laporan intelijen palsu dan direkayasa ini harus dipecat,” ujarnya dalam sebuah pernyataan.

Namun Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gloria Macapagal-Arroyo menyatakan ”Oktober Merah” itu nyata. ”Jika Presiden percaya bahwa ini adalah ancaman, itu didasari informasi yang baik. Maka kita harus mempercayai apa pun yang ia katakan,” ucap mantan Presiden Filipina ini.

Militer selama ini berusaha memadamkan pemberontakan Partai Komunis, yang bergerilya di berbagai daerah. Hampir setiap pekan ada laporan pertempuran antara militer dan kelompok pemberontak. Kantor Urusan Publik Angkatan Bersenjata menyatakan, sepanjang tahun ini, militer telah menyita 821 senjata api dan 324 peledak yang didapat dari 131 kamp. Dalam sepuluh bulan terakhir, total 8.665 pemberontak komunis telah menyerah dan akan diproses kelayakannya untuk mengikuti program kembali ke masyarakat.

Petinggi militer Filipina memperkirakan Partai Komunis memiliki 5.000 gerilyawan. Namun Jose Maria Sison, Ketua Partai Komunis, mengaku hanya punya 110 front gerilyawan. Setiap front berisi 90-120 orang. Artinya, jumlah maksimum gerilyawan 13.200 orang, di luar milisi bentukan organisasi mereka di perdesaan.

Menurut Sison, partainya belum mampu menggulingkan Duterte secara paksa dan syarat perubahan rezim belum terpenuhi saat ini. ”Penggulingan Duterte dapat diwujudkan hanya jika ada gerakan masyarakat yang besar dengan dukungan militer,” tuturnya, seperti dikutip The Manila Times. ”Partai tidak bisa melakukan itu. Tak ada juga rencana koalisi dengan Trillanes dan Partai Liberal.”

Duterte mengajak kelompok komunis ini berunding setelah dilantik sebagai presiden. Tapi ia kemudian membatalkan rencana perundingan damai, sementara pejabat pemerintah yang diidentifikasi sebagai anggota kelompok kiri dipecat atau mundur. Jumat dua pekan lalu, Duterte kembali menawarkan perdamaian. ”Letakkan senjatamu dan kita tak ada masalah lagi. Jika kamu ingin masuk politik, itu baik,” katanya.

IWAN KURNIAWAN (THE PHILIPPINE STAR, CNN PHILIPPINES, MANILA STANDARD, THE MANILA TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus