Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kami hanya ingin sekolah

Pm prancis jacques chirac mencabut ruu pendidikan yang akan mengubah sistem pendidikan universitas. sebelumnya sempat timbul gelombang aksi protes sampai bentrokan fisik. seorang mahasiswa tewas. (ln)

13 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN wajah dingin, akhirnya Perdana Menteri Prancis, Jacques Chirac, muncul di layar televisi Senin lalu. Hari itu ia mengumumkan pencabutan RUU Pendidikan yang akan mengubah sistem pendidikan di universitas. "Pembaruan tampaknya baru bisa tercapai bila ada kerja sama dengan para mahasiswa dan profesor," ujar Chirac dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah berunding dengan para menterinya. Memang. Tindakan pencabutan RUU Pendidikan itu rupanya langkah akhir yang diambil pemerintahan konservatif di bawa PM Chirac. Langkah yang bisa dikatakan agak terlambat ini diambil setelah RUU baru itu menimbulkan gelombang aksi protes sekitar 200.000 mahasiswa di beberapa tempat di Paris, sejak tiga pekan lalu. Aksi protes itu ada yang berbentuk aksi mogok di kawasan mahasiswa Quartier Latin, pertunjukan musik dan pidato di Esplanade des Invalides, sebuah tempat peringatan untuk para penyandang cacat, bahkan aksi protes "bunuh diri bersama" dilakukan denga menerjunkan diri dari Jembatan Sully ke Sungai Seine di tengah Paris. Aksi protes itu dapat dimaklumi, mengingat RUU yang ditawarkan ke Assemble Nationale (DPR) oleh Menteri Pendidikan Tinggi Alain Devaquet, tiga pekan silam cukup memberatkan beban para mahasiswa. Coba saja simak tiga hal pokok yang ada dalam RUU itu. Pertama, para calon mahasiswa dan mahasiswa yang sudah duduk di tingkat satu atau dua harus menjalani sistem seleksi bila mereka ingin menempuh ujian sarjana muda. Ini dimaksudkan untuk membendung 100.000 lulusan SLTA yang memperebutkan kursi di perguruan tinggi. Kedua, uang kuliah dinaikkan dua kali lipat menjadi 900 franc setahun (sekitar Rp 240.000). Ketiga, sebuah perguruan tinggi bisa mengeluarkan ijazah, dan mereka pun bisa minta akreditasi untuk mendapatkan ijazah negeri. Aksi protes ini juga menimbulkan bentrokan fisik. Itu terjadi Kamis pekan lalu, tatkala para mahasiswa melempari polisi yang memblokir jalan menuju ke gedung parlemen. Gas air mata dan air disemprotkan polisi untuk menghalau mereka. Peristiwa yang berlangsung selama empat jam di Esplanade des Invalides mencederai 170 orang. Namun, puncak dari segalanya terjadi Jumat malam pekan lalu, ketika seorang mahasiswa bernama Malik Oussekine, 22, tewas. Mahasiswa berdarah campuran Prancis-Aljazair itu -- menurut saksi mata -- tewas karena perut dan wajahnya ditendang sepatu lars, ketika polisi berusaha membubarkan sisa demonstran yang masih bergerombol di depan Universitas Sorbonne. Tapi seorang penuntut umum di Paris, Michel Jeolle, mengatakan penyebab kematian Malik adalah serangan jantung. "Memar di lengan dan wajahnya tak sampai membuat dia mati, kok," ujarnya. Pernyataan itu membuat para orangtua murid berang, dan mereka melakukan demonstrasi di depan kantor wali kota Prancis. Sejumlah mahasiswa tampak di antara mereka sambil mengibarkan spanduk, "Kami hanya ingin sekolah. Chirac, kami ingat terus sampai 1988 (tahun pemilihan presiden Prancis)". Sementara itu, para demonstran di tempat lain makin beringas. "Polisi tidak kelihatan batang hidungnya, seakan membiarkan mereka bertindak buas. Bukan lagi sebagai pelajar," kata seorang penjaga toko. Akhirnya, sesuai dengan tuntutan aksi protes itu, Menteri Pendidikan Tinggi Alain Devaquet mengajukan surat pengunduran diri kepada PM Jacques Chirac. Presiden Prancis Francois Mitterrand, yang sedang menghadiri KTT Masyarakat Eropa di London, kembali ke Paris dan mengadakan pertemuan dengan PM Chirac, Sabtu pekan lalu. "Persatuan nasional harus diutamakan, dan saya melawan setiap kekerasan yang ada," ujarnya. Chirac menuduh aksi unjuk rasa itu didukung oleh pihak oposisi sosialis dan komunis yang ingin menjatuhkan pemerintahannya yang baru berusia sembilan bulan. Sementara itu, aksi mogok di Bandara Charles de Gaulle dan Orly menyebabkan 12 penerbangan domestik dan luar negeri batal. Para mahasiswa pun masih ngotot untuk tetap mengadakan unjuk rasa lagi, Rabu ini. Didi Prambadi, Laporan Sapta Adiguna (Paris)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus