Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Karnaval Politik di Paris

Pemerintah Prancis akhirnya merevisi UU Tenaga Kerja yang kontroversial itu.

17 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musim semi di Paris tahun ini tampak seperti perpanjangan musim dingin. Namun, angin kencang dan udara yang menggigit tulang tak kunjung melumpuhkan semangat para demonstran yang setiap hari turun ke jalan-jalan Paris.

Akhirnya, awal pekan lalu, pelatar-an Universitas Sorbonne, Paris, disesaki massa yang terdiri dari mahasiswa Le Sorbonne dan para pekerja bersorak tak berkesudahan karena pemerintah memu-tuskan mencabut Undang-Undang Tenaga Kerja Muda (Youth Labour) yang kontroversial. Awal pekan lalu, pemerintah akhirnya mengabulkan tuntutan para de-monstran. Presiden Jacques Chirac meng-umumkan UU itu akan diganti.

Inilah ujung dari rangkaian aksi unjuk rasa yang sempat melumpuhkan 35 kota di Prancis. Pasal mengenai Kontrak Kerja Pertama (Contrat Premiere Embauche atau CPE) yang menjadi pangkal kemarahan para demonstran akan direvisi. Sebelumnya, UU itu menyatakan sebuah pasal yang kontroversial: tertera dalam UU itu, para pekerja yang berusia 26 tahun ke bawah diberi masa percobaan 2 tahun. Sesudahnya, perusahaan bisa mengakhiri kontrak tanpa memberikan penjelasan.

Mahasiswa naik darah. Kaum pekerja naik darah. Maka, bersatulah kalangan universitas dan Serikat Pekerja yang c-emas bahwa kontrak kerja model be-gitu bisa disalahgunakan oleh perusahaan be-sar. Mereka bisa seenaknya memecat karyawan. Ujung-ujungnya, anak-anak mu-da pun kian sulit mendapat pekerja-an.

Memang, masalah pengangguran di Prancis kian hari kian pelik. Lebih dari 20 persen tenaga kerja muda—18 sampai 25 tahun—menganggur. Di kawasan-kawasan miskin, jumlah ini menyundul angka 40 persen.

Sebelum kompromi dicapai, Perdana Menteri Dominique de Villepin se-mpat menyatakan bahwa sistem kontrak ini justru untuk mengatasi masalah pe-ngangguran di Prancis. Ia berkilah, sis-tem yang baru justru memacu para peng-usaha untuk merekrut lebih ba-nyak lagi anak-anak muda. Villepin juga meng-ingatkan kerusuhan yang baru-baru ini melanda beberapa kota.

Namun, desakan para demonstran, yang jumlahnya mencapai seratus ribu orang dan melumpuhkan transportasi dan pelayanan publik di 35 kota, ternyata tak bisa ditampik lagi. Bahkan pada Rabu dua pekan silam diperkirakan hampir dua juta orang turun

ke jalan-jalan sekitar Paris. Ini diang-gap sebagai demonstrasi terbesar di Prancis sejak kerusuhan 1968, pa-ling t-i-dak karena sudah melibatkan van-dal-isme dan bentrok fisik antara polisi dan de-monstran. Universitas La Sorbonne di-kelilingi polisi dan ditutup untuk umum kecuali untuk mereka yang mendapat izin jauh hari sebelumnya.

Pada Rabu pekan lalu, persis pada saat dua juta demonstran siap turun ke jalan sore hari, untung saja sistem transportasi metro (kereta bawah tanah) tidak ikut mogok seperti yang lain. Tempo saat itu masih sempat masuk mengamati universitas La Sorbonne yang di dalamnya sunyi sepi karena resmi tertutup. Para demonstran mulai turun berjalan dan berseru di jalan-jalan protokol dan terpecah melalui St. Germaine.

Udara dingin dan angin yang semakin menderu diterabas tanpa persoalan.

Untuk waktu yang lama, pemerintah Prancis tetapi berkukuh memperta-han-kan undang-undang ini. Para mahasiswa dan serikat pekerja juga berkeras, tidak kuliah dan mogok bekerja. Pendeknya, Paris berada dalam situasi campuran antara karnaval politik dalam semburan sisa musim dingin.

Toh, Chirac tak bisa membiarkan ”pertengkaran” ini berlarut-larut. Selu-ruh dunia sudah menoleh dan menanti reaksi pemerintah Prancis. Akhirnya, Chirac mengumumkan bahwa Kontrak Kerja Pertama akan diganti dengan kebijakan lain untuk mengatasi pengangguran di kalangan generasi muda.

Bukan hanya urusan Kontrak Kerja yang akan dirombak. Parlemen Prancis telah mengusulkan 30 peruba-han atas undang-undang ini, yang akan se-gera diajukan ke sidang Senat (Majelis Tinggi) Prancis.

Puaskah para demonstran? Wakil pe-mimpin serikat pekerja terbesar k-edua Prancis, CGT, Maryse Dumas, de-ngan girang menyatakan pencabutan u-ndangundang ini adalah keberhasilan aksi bersama pekerja dan mahasiswa.

Salah seorang pemimpin mahasiswa, VictorVidilles, menyatakan pen-cabutan undang-undang ini baru langkah awal. ”Itu saja tidak cukup karena angka pengangguran masih sangat tinggi di Prancis,” demikian katanya dengan ga-gah perkasa. Ia menyatakan telah siap menggalang aksi yang lebih besar lagi untuk menekan pemerintah agar menepati janji-janjinya dalam perumusan proposal baru pekan mendatang.

Yang kini kehilangan senyum adalah Perdana Menteri Villepin. Kegagal-an-nya meloloskan undang-undang ini ada-lah sebuah tamparan yang memalukan. Ia telah mempertaruhkan karier politiknya sebagai calon kandidat presiden pada pemilihan umum tahun depan. Peringkatnya dalam jajak pendapat di media-media Prancis kian melorot digempur demo. Toh, ia masih membela diri. Apa yang ia lakukan, ”Tidak bisa dimengerti oleh semua orang. Saya sa-ngat menyesal,” keluhnya. Dan karnaval politik di antara deru angin itu masih belum selesai.

Andari Karina Anom (BBC, LE MONDE, AFP), Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus