Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati bukan baru, pesawat Fokker 50 itu masih cukup bagus. Berkapasitas 50–58 penumpang, burung besi buatan Belanda ini mampu melesat dengan kecepat-an 500 kilometer per jam. Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jende-ral Rya-mi-zard Ryacudu, pernah menggunakannya, April dua tahun lalu. Bersama sejumlah pejabat AD, ia terbang dari Pangkalan Udara Halim Perdana-kusumah, Jakarta, menuju Surabaya.
Itulah penerbangan pertama Ryami-zard bersama pesawat Fokker ”milik” Angkatan Darat. Sejak itu, dalam kurun waktu hampir setahun, ia memakai 14 kali pesawat yang sama. Ryamizard antara lain pernah terbang ke Bandung, Banda Aceh, dan Medan. Dalam daf-tar penggunaan pesawat yang diperoleh Tem-po, istrinya, Nyonya Nora Ryami-zard, juga tercatat dua kali memakai Fok-ker itu untuk pergi ke Bandung, Yog-yakarta, Surabaya, dan Denpasar.
Jangan heran jika ada yang mengira pesawat itu mi-lik Angkatan Darat. Apala-gi, sebelumnya Ryamizard memang berencana membeli pesawat Fok-ker. Setelah ia digantikan Jende-ral Djoko Santoso pada akhir Februa-ri 2005, anehnya, Angkatan Darat t-idak pernah lagi memakainya. Diduga pesa-wat itu tidak dibeli, melainkan hanya disewa dari PT Trans-wisata Prima Aviation, perusaha-an pe-nye-waan pesawat di Jakarta.
Persoalan muncul karena saat itu Ang-katan Darat telah mengeluarkan duit Rp 20 miliar yang semula dialokasikan untuk pembelian pesawat tersebut. Ke mana dana itu mengaliri kini tengah ditelusuri petinggi TNI AD.
Angkatan Darat sebenarnya berencana membeli helikopter Bell buatan Textron Incorporated, Kanada. Dana yang disediakan Rp 20 miliar, diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Namun, menurut sumber Tempo, KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu lalu mengalihkan dana ini untuk membeli pesawat Fokker 50 pada pertengah-an Juli 2003.
Perubahan rencana itu diduga tidak dilaporkan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam proyek ini. Djoko Susilo, politikus Partai Amanat Nasional yang sudah dua periode menjadi anggota Komisi Pertahanan DPR, menyebutkan tak ada pembahasan Fokker 50 untuk Angkatan Darat di parle-men pada 2003.
Mantan Direktur Jenderal Sar-ana Per-tahanan Aqlani Maza pun mengatakan, Departemen Pertahanan tak pernah meng-usulkan Fokker-50 untuk Angkat-an Darat. ”Spesifikasi teknis Fok-ker-50 itu bukan untuk Angkatan Da-rat,” kata-nya.
Untuk melaksanakan keinginannya, Rya-mizard menugaskan Komandan Pusat Penerbangan Angkatan Darat, Bri-gadir Jenderal Arifin Seman, untuk memimpin proyek pembelian. Proyek ini dilakukan tanpa tender. Arifin menggandeng PT Abadi Sentosa Perkasa, per-usahaan rekanan lama Angkatan Darat, yang berkantor di Kebayoran Center, Mayestik, Jakarta Selatan.
Rencana itu berjalan mulus. Asisten Lo-gistik KSAD, Mayor Jenderal Kiswan-ta-ra Partadireja, pun menyetujui. Dia me-matok harga pembelian setinggi-tingginya Rp 20 miliar. ”Komandan Pusat Penerbangan agar segera menyiapkan bahan dalam rangka negosiasi,” demikian ditulis Kiswantara dalam sebuah memo tertanggal 21 Juli 2003 yang didapat Tempo.
Empat hari kemudian, rapat negosiasi digelar oleh panitia pengadaan di Markas Besar Angkatan Darat. Dipimpin Wa-kil Asisten Logistik KSAD Brigjen Koesmayadi, rapat dihadiri Didi Laksmana dari PT Abadi Sentosa Perkasa. Hasilnya? Kedua pihak sepakat meng-ikat kontrak jual beli Fokker 50 senilai Rp 20 miliar termasuk pajak.
Kontrak pembelian secara resmi diteken pada 29 Juli 2003. Sepekan kemudian, dana dari Angkatan Darat masuk ke rekening PT Abadi Sentosa sebesar Rp 17,7 miliar (harga dipotong pajak dan biaya administrasi).
Anehnya, tiga hari setelah menerima setoran, PT Abadi ternyata mengalihkan kembali uang itu ke rekening Letnan Kolonel Cpl Syofianil Husni, sekre-taris panitia pengadaan Fokker 50 di Angkatan Darat. Tak berlangsung lama, duit itu nangkring di rekening Syofianil. Perwira yang kini bertugas di Seko-lah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, itu kembali mengalihkannya ke rekening atas nama Hartono T. di Bank Buana Indonesia Cabang Mangga Dua, Jakarta. Setelah itu, uang tak terlacak arahnya.
Baik Didi Laksmana maupun Syofia-nil menjelaskan, pengalihan uang itu atas perintah Brigjen Koesmayadi. Kedua-nya mengaku tidak mengenal Hartono dan perannya dalam proses transaksi. Syofianil hanya menyatakan bahwa Har-tono adalah teman dekat Koesma-yadi. ”Saya juga mendengar, pengalihan uang ini disetujui oleh KSAD (Jenderal Ryamizard),” katanya kepada Tempo.
Koesmayadi sendiri menolak dimintai kon-firmasi. ”Saya tidak bisa bicara. An-da tanya langsung ke KSAD saja,” ka-ta-nya.
Pembelian Fokker 50 memang benar-benar terjadi pada Februari 2004. Semula dipakai oleh Mandarin Airlines, Ci-na, saat dibeli pesawat itu dimiliki oleh Aircraft Holding IX LLC, perusaha-an asal Belanda. Perusahaan ini menjualnya de-ngan harga US$ 19 juta.
Masalahnya, transaksi ternyata tidak atas nama Angkatan Darat, melainkan PT Transwisata Prima Aviation. Data itu tercantum dalam berbagai dokumen yang diperoleh Tempo, termasuk salin-an faktur pembelian yang diteken oleh David L. Tashjian, Managing Director Aircraft Holding.
Meski semua dokumen atas nama Trans-wisata, pesawat itu seolah-olah te-lah dikuasai oleh Angkatan Darat. Dua pe-kan setelah transaksi, Komandan Pusat Pener-bangan Arifin Seman lalu menye-rahkan lagi pesawat itu kepada per-usahaan yang sama. Penyerahan itu tercantum dalam berita acara yang juga diteken oleh Maxwell Armand, Direktur Utama Trans-wi-sata. Di situ disebutkan, pesawat di-serahkan untuk men-dukung kegiatan pelatihan awak pesawat. ”De-ngan penye-rah-an ini, peng-operasian dan keaman-an menjadi tanggung jawab Transwisata,” begitu tertulis pada berita acara itu.
Akhirnya, pesawat bernomor regis-tra-si PK-TWR itu pun menjadi bagian dari armada Transwisata. Selain dipa-kai oleh Angkatan Darat, Fokker 50 juga disewakan ke pihak luar. Pada musim kampanye Pemilihan Umum 2004, pesawat ini pernah dipakai ba-nyak calon presiden. Menurut Manajer Operasi Transwisata, Kapten Kosasih Gani, Fokker PK-TWR itu menjadi pesawat termuda dan merupakan andalan per-usahaannya. ”Itu pesawat kami yang pa-ling bagus saat ini,” katanya.
Setelah Jenderal Djoko Santoso tam-pil menjadi KSAD pada awal tahun lalu, ba-rulah status pesawat itu dipersoalkan. Sang Jenderal menolak meneken su-rat perintah penandatangan-an draf kerja sama antara Angkatan Darat dan Trans-wisata yang diminta Brigjen Arifin Seman.
Sejak penyerahan pesawat pada Maret 2004, kerja sama pengoperasian pesawat itu memang belum di-ikat secara resmi. Apalagi, belakangan Transwisata malah mengklaim defisit sebesar US$ 946.644 atau sekitar Rp 8,5 miliar.
Dalam suratnya kepada KSAD Djoko Santoso, Agustus tahun lalu, Brigjen Arifin Seman menulis perincian angka defisit itu. Pada sisi penerimaan ditulis, dana dari Angkatan Darat sebesar US$ 2.043.425. Sedangkan pendapatan dari penggunaan oleh pihak lain hanya sebesar US$ 250.390.
Dari sisi pengeluaran disebutkan bia-ya pembelian USS$ 1,9 juta. Ada pula bia-ya pengujian awal dan pengecatan ulang US$ 270.320. Pengeluaran terbesar ada pada pos biaya operasio-nal KSAD, yakni US$ 313.623. Transwisata juga mengajukan klaim pembelian suku cadang yang nilainya US$ 114.433 atau sekitar Rp 1 miliar. Menurut Arifin, suku cadang itu dibutuhkan karena s-ejak 28 Juni 2005 pesawat tidak laik terbang.
Menurut Wakil KSAD Letjen Harry Tjahyana, pimpinan Angkatan Darat te-lah menggelar rapat staf membahas masalah itu. Kesimpulannya, Angkatan Da-rat berkeberatan dengan beban yang ber-jibun itu. ”KSAD juga telah melaporkan masalah ini ke Departemen Pertahanan,” katanya kepada Tempo. Hanya, saat ditanyakan status kepemilikan pesawat itu, Harry buru-buru menyatakan: ”Biar KSAD saja yang menjelaskan.”
Status kepemilikan pesawat itu menjadi soal utama. Ryamizard kepada Tempo menyatakan bahwa pembel-ian pesawat itu urung dilakukan. ”Dulu memang mau beli, tapi nggak jadi,” kata-nya (lihat Jangan Saya Diadu dengan KSAD).
Lalu, ke mana uang Rp 20 mil-iar yang sudah mengucur? Didi Laksm-a-na, rekanan yang pertama kali meneri-ma transfer uang dari Angkatan Darat, menolak memberi jawaban. ”Saya nggak enak ngomong; ini menyangkut rezeki banyak orang,” katanya. Adapun Mayjen Kiswantara, yang kini menjadi Asisten Logistik Kepala Staf Umum TNI, mengaku tak tahu banyak. ”Waktu saya menjadi Asisten Logistik KSAD, proses pengadaannya sudah dimulai,” tuturnya.
Brigjen Arifin Seman juga menampik menjawab pertanyaan Tempo. Ia tidak merespons permintaan wawancara dan daftar pertanyaan yang dikirimkan kepadanya melalui faksimile. Saat Tempo dua kali datang ke kantornya di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, para stafnya menyatakan Arifin sedang berada di luar kota.
Kini petinggi Angkat-an Darat berusaha mene-lusuri dan menarik lagi dana yang telanjur me-ngucur. Mereka akan mengembalikan ke rencana awal, yakni membeli helikopter Bell. Mungkinkah ini dilakukan? ”Kenapa tidak,” kata Harry Tjahyana.
Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, Angelus Tito, Badriah
Dana Mengucur, Lalu Lenyap
Semula Angkatan Darat ingin membeli helikopter Bell dengan dana Rp 20 miliar yang diambil dari APBN 2003. Belakangan, duit dialihkan untuk membeli pesawat Fokker 50 yang kemudian bermasalah. Pesawat ini ternyata tidak dibeli, tapi diduga hanya disewa. Kepemilikannya masih atas nama PT Transwisata Prima Aviation, sebuah perusahaan penyewaan pesawat. Duit Rp 20 miliar itu seolah melayang.
1 Juli: Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu, memberi wewenang kepada Komandan Pusat Penerbangan AD, Brigjen Arifin Seman, untuk melaksanakan proyek pengadaan satu pesawat fixed wing.
21 Juli: Asisten Logistik KSAD Mayor Jenderal Kiswantara Partadireja menyetujui penunjukan langsung PT Abadi Makmur Sentosa sebagai rekanan pengadaan Fokker 50. Surat ditembuskan ke Jenderal Ryamizard.
25 Juli: Wakil Asisten Logistik Brigadir Jenderal Koesmayadi memimpin rapat negosiasi antara panitia pengadaan Fokker 50 dan PT Abadi Makmur Sentosa. Mereka sepakat harga pesawat Rp 20 miliar, termasuk pajak 10 persen, dengan waktu penyerahan 10 pekan setelah transaksi.
29 Juli: Brigjen Arifin Seman menerbitkan surat penunjukan PT Abadi Sentosa Perkasa sebagai rekanan.
7 Agustus: Dana Rp 17.703.000.000 (nilai pesawat setelah dipotong pajak dan biaya lainnya) keluar dari Angkatan Darat dan dikirim ke PT Abadi Sentosa.
10 Agustus: Abadi mengembalikan dana senilai Rp 17,7 miliar dalam bentuk cek kepada Letkol Cpl. Syofianil Husni, sekretaris panitia pengadaan Fokker 50, lalu disimpan di rekeningnya di Bank Mandiri.
13 Agustus: Syofianil mentransfer uang itu ke rekening di Bank Buana Indonesia cabang Mangga Dua atas nama Hartono T. Menurut Syofianil, dia adalah teman dekat Brigjen Koesmayadi. Setelah itu, aliran dana tak terlacak.
4 Maret: Komandan Pusat Penerbangan Angkatan Darat, Brigjen Arifin Seman, menyerahkan Fokker 50 kepada Direktur Utama Transwisata, Maxwel Armand. Dalam berita acara penyerahan disebutkan, pesawat dipakai untuk mendukung pelatihan awak pesawat dan operasional pimpinan TNI Angkatan Darat.
14 April: Jenderal Ryamizard menyetujui kerja sama antara TNI AD dan Transwisata.
25 Februari: Jabatan KSAD diserahterimakan dari Ryamizard ke Jenderal Djoko Santoso.
23 Maret: Brigjen Arifin Seman meminta KSAD menerbitkan surat perintah untuk menandatangani kerja sama dengan Transwisata. Surat tak direspons.
12 April: Arifin Seman meminta lagi KSAD menerbitkan surat perintah untuk menandatangani kerja sama dengan Transwisata. Surat ini juga tak direspons.
25 Juli: Transwisata mengajukan dana pembelian suku cadang ke Angkatan Darat melalui Komandan Pusat Penerbangan.
29 Agustus: Komandan Pusat Penerbangan melaporkan status kepemilikan pesawat Fokker 50 kepada KSAD Jenderal Djoko Santoso. Dilaporkan pula Transwisata mengalami defisit sebesar US$ 944.644.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo