Proposal itu disebarkan dalam satu sidang tertutup pada pekan silam. Yang membawakannya: Perdana Menteri Israel Ariel Sharon. Yang mendengarkan: menteri-menteri kabinet. Yang tercantum sebagai intisari proposal: penarikan semua warga Israel dari Jalur Gaza dan Tepi Barat. Kepada sidang kabinet yang terhormat, Sharon meminta persetujuan atas rencana tersebut. Tapi cara rembukan rupanya buntu sehingga keputusan diambil melalui pemungutan suara.
Maka kasak-kusuk dan intrik pun merebak di tengah pro dan kontra. Menteri Negara Uzi Landau dari Partai Likud, misalnya, meminta sejumlah tokoh melobi anggota kabinet dari partainya agar menaati hasil referendum Partai Likud pada 2 Mei lalu yang menolak proposal Sharon.
Sharon tentu tak berpangku tangan. Ia ganti melobi tiga orang anggota kabinetnya, Menteri Luar Negeri Silvan Shalom, Menteri Pendidikan Limor Livnat, dan Menteri Gideon Ezra—yang sebelumnya menentang proposal. Diam-diam ia juga mengutus koleganya, Uri Shani, menemui Shimon Peres. Ia berusaha membujuk tokoh oposan itu agar bergabung dengan kabinet baru yang bakal ia bentuk jika proposal tersebut tak laku.
Di kubu lain, Menteri Keuangan Benjamin Netanyahu punya rencana sendiri dengan mendekati tokoh spiritual Shas, Rabi Ovadia Yosef. Tujuannya? Merintis jalan membentuk aliansi Likud dan Shas—jika Sharon terjungkal dari kabinet. Padahal posisi Netanyahu sendiri dalam menyikapi proposal Sharon sebenarnya tidak begitu jelas.
Sharon bukannya tak memahami situasi sarat intrik yang mengelilinginya. Setelah dipermalukan karena proposalnya ditolak oleh 60 persen anggota Partai Likud, kini ia lebih realistis meski tetap bersikap keras: Israel harus menarik diri dari Gaza dan Tepi Barat. Tapi, sebelum kelak membentuk kabinet baru, ia masih berusaha memperoleh dukungan mayoritas di kabinet. Maka terjadilah tawar-menawar politik di atas.
Semula proposal itu menawarkan pembongkaran sekaligus 21 permukiman Yahudi di Gaza—yang ditentang habis-habisan oleh kelompok garis keras Partai Likud. Belakangan Sharon melunak dengan merevisi proposal: membagi proses penarikan Israel dalam empat tahap dan memasukkan persyaratan keamanan. ”Prinsipnya tetap sama, yaitu penarikan dari Gaza dan evakuasi permukiman. Tapi kami melakukan beberapa revisi,” kata Ra’anan Gissin, penasihat media Sharon.
Revisi proposal itu akan dilaksanakan dalam empat tahap: tahap pertama, evakuasi empat permukiman Yahudi di Gaza selama tujuh hingga sembilan bulan; tahap kedua, evakuasi empat permukiman terpencil di utara Tepi Barat hingga akhir 2005; tahap ketiga, evakuasi seluruh permukiman Gush Katif di Jalur Gaza; tahap keempat, evakuasi tiga permukiman di kawasan utara Jalur Gaza.
Sharon berusaha meyakinkan kabinetnya bahwa pemerintah akan mengevaluasi setiap tahap pembongkaran permukiman Yahudi. Evaluasi itu akan dijadikan pertimbangan apakah pembongkaran bisa diteruskan atau dihentikan. Re-visi itu termasuk pembakaran sejumlah rumah pemukim Yahudi yang ditinggalkan—agar tak menimbulkan kemenangan moral di pihak Palestina.
Menurut Radio Militer Israel, sejauh ini revisi proposal itu telah mendapat dukungan 11 menteri. Itu berarti hanya diperlukan satu lagi suara menteri. Karena itu, para pengamat meramalkan Sharon bakal meraih kemenangan, terutama setelah para penentangnya mulai patah semangat gara-gara kekejaman militer Israel di Rafah ditayangkan setiap hari di televisi.
Tayangan itu tak urung menyentuh hati Menteri Kehakiman Yosef Lapid dari Partai Shinui yang moderat. Ia mengkritik insiden Rafah dan menuntut penarikan mundur Israel. ”Saya lihat seorang perempuan tua mengais-ngais di tanah mencari obat di antara reruntuhan rumahnya di Rafah. Dia mengingatkan saya akan nenek saya yang diusir dari rumahnya pada masa holocaust,” katanya. Nenek Lapid tewas di kamar gas di kamp konsentrasi Auschwitz, Austria, sebagai korban kekejaman Nazi Jerman.
Jika minggu ini kabinet menyetujui proposal tersebut, dengan mudah Sharon berlenggang untuk meraih dukungan berupa pengesahan proyek unilateral itu oleh parlemen. Apalagi, sudah bisa dipastikan, ia juga mendapat dukungan Amerika Serikat.
Raihul Fadjri (Jerusalem Post, Haaretz, Israel Insider, LA Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini