FLORES de Mayo, Bunga Bulan Mei, adalah salah satu upacara religius penting bagi rakyat Filipina. Berintikan adorasi bagi Bunda Maria, upacara itu menyertakan aneka bunga sebagai simbol persembahan. Tahun ini, di sela-sela kesyahduan liturgi dan wangi floral di seluruh negeri, berembuslah bocoran kabar hasil pemilu 10 Mei lalu, yakni Presiden Gloria Macapagal-Arroyo mempertahankan kursinya dengan merebut 12.554.127 suara (39,5 persen). Ini berarti putri mantan presiden Diosdado Macapagal itu akan kembali memerintah Filipina, hingga tahun 2010.
Dia mengalahkan pesaing terdekatnya, Fernando Poe Jr. (FPJ), yang meraih 11.493.345 suara (36,6 persen). Penghitungan di dua wilayah lagi—Provinsi Sarangani dan Cotabato City—masih belum tuntas, tapi diperkirakan tak akan berpengaruh banyak terhadap hasil akhir pemilu.
Bola panas yang dilepas kubu Arroyo ini kontan membuat kubu FPJ meradang. Sebab, kendati info itu berasal dari seorang pejabat tinggi di Komisi Pemilihan Umum (Comelec), sebenarnya yang berhak mengumumkan hasil pemilu menurut konstitusi Filipina cuma Kongres, yang dijadwalkan pada pertengahan Juni nanti.
Selain itu, tipisnya perbedaan suara (hanya sekitar 1 juta) membuat kubu FPJ yakin adanya permainan dan pemalsuan suara. Mereka mengancam akan menggelar revolusi jalanan (people power), yang pernah sukses mendongkel dua presiden—Ferdinand Marcos dan Joseph Estrada. Panasnya suhu politik di Filipina hari-hari ini juga ditandai dengan meningkatnya pengiriman pesan pendek via telepon genggam (SMS) yang berisi ajakan menggalang kekuatan antipemerintah.
Namun kubu Arroyo melalui juru bicara kepresidenan Ignacio Bunye menyatakan info bocoran itu sengaja disebar. Tujuannya? Menurut Bunye, untuk menangkis klaim pendukung FPJ yang selalu berkampanye bahwa Filipina kini memiliki presiden baru. Dia menambahkan, data itu berasal dari Romulo Macalintal, pengacara tim presiden di kelompok pemantau pemilu, yang menghitung tabulasi yang sudah dinyatakan sah oleh Comelec.
”Ini untuk menyeimbangkan pandangan. Sebab, jika kami tidak menjelaskan kondisi yang sebenarnya, masyarakat akan berpikir apa yang diucapkan oleh Koalisi Filipina Bersatu (KNP) itu adalah betul (bahwa FPJ memenangi pemilu),” ungkap Bunye. ”Tapi tentu saja ini bukan hasil resmi karena pengumuman final akan dilakukan oleh Kongres,” dia menambahkan. Aparat keamanan juga disiagakan Arroyo di setiap penjuru untuk menjamin hasil penghitungan tidak disabotase oleh ”gerakan massa”.
Pernyataan itu menunjukkan betapa tingginya tekanan yang dirasakan Arroyo. Reputasi Arroyo memang tak lagi seharum dulu, ketika ia menerima jabatan presiden menggantikan Joseph Estrada tiga tahun silam. Ketika itu, Estrada terjengkang akibat impeachment. Selain itu, angka pengangguran yang meroket pada triwulan pertama 2004 turut memeloroti keanggunan Arroyo sebagai seorang doktor ekonomi.
Pihak oposisi, KNP, menyebut penyebaran hasil penghitungan suara yang masih prematur dari kubu Arroyo ini sebagai hal yang ”memalukan”. Bahkan juru bicara KNP, Francis Escudero, mengancam akan mengerahkan pakar hukum untuk meneliti soal kebocoran itu. Dia mengingatkan, penyebaran hasil suara yang belum diverifikasi dapat ”menimbulkan kebingungan di seluruh negeri.” Juga bisa mengakibatkan ”otoritas dan kekuasaan yang diberikan kepada Kongres untuk mengumumkan nama presiden dan wakil presiden harus diuji kembali.”
Ingar-bingarnya saling klaim itu sepanjang minggu lalu juga merembet ke kalangan tentara. Beredar rumor, sebuah upaya kudeta tengah dirancang pihak militer. Dalam sejarah Filipina, campur tangan militer dalam politik bukan hal baru. Hampir semua presiden pernah mengalami upaya kudeta dari tentaranya sendiri. Contoh paling mutakhir adalah yang menimpa Arroyo pada Juli 2003.
Belakangan terungkap bahwa pejabat tinggi Comelec yang membocorkan data itu kepada pihak Arroyo tak lain dari Ketua Comelec sendiri, Benjamin Abalos. Astaga!
Akmal Nasery Basral (AFP, Manila Times, INQ7)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini