Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kursi penonton Stadion Petrasport di Kairo kosong-melompong. Mengherankan, hanya segelintir orang berada di stadion menyaksikan pertandingan sepenting ini Sabtu dua pekan lalu. Dua kesebelasan berhadapan dalam pertandingan babak kualifikasi Piala Afrika, salah satunya mengenakan kostum mencolok: merah, hijau, dan hitam.
Kesebelasan Libya mengungkapkan keberpihakannya kepada pasukan pemberontak yang menggunakan bendera itu dan berhasil merebut Tripoli dua pekan lalu. Demi keamanan, pertandingan Libya melawan Mozambik di Kairo itu dilangsungkan secara tertutup karena Mozambik merupakan salah satu negara yang belum mengakui Dewan Transisi Nasional, yang kini berkuasa di Libya.
Tak ada tempik-sorak penonton ketika pada menit ke-30 pemain Libya, Rabie el-Lafi, berhasil menyarangkan bola ke gawang kesebelasan Mozambik. Hanya segelintir pendukung kesebelasan Libya di barisan depan stadion yang menyambut gol kunci kemenangan Libya itu dengan teriakan sukacita.
Hiruk-pikuk kegembiraan yang lebih besar terlihat di Tripoli. Ratusan orang berkumpul di Lapangan Hijau, yang kini dinamai Lapangan Syuhada. Mereka menonton pertandingan lewat layar lebar. Warga begitu terbawa suasana pertandingan. Seorang penonton mencemooh Saadi, salah satu anak Muammar Qadhafi, yang tak begitu piawai bermain bola tapi pernah menjadi kapten tim nasional,
Begitu peluit akhir berbunyi, suara tembakan terdengar bersahutan. Di jalanan di pinggir pantai, yang biasanya sepi sejak pasukan anti-Qadhafi masuk Tripoli, suara kendaraan dan klakson tak henti dibunyikan. Pengendaranya melambaikan bendera tiga warna. Warga lupa sejenak dengan per tempuran yang tengah terjadi. Mereka berpesta.
"Pertama kami menang atas kezaliman. Dan sekarang dalam pertandingan bola," kata Abdel Wahab Shoush, yang ikut menonton bola di Lapangan Syuhada.
Para penentang Qadhafi memang tak sekadar merayakan kemenangan tim negerinya, yang pertama kali bertanding sejak konflik pecah antara pendukung dan penentang Qadhafi. Mereka juga merayakan kebebasan dalam dunia sepak bola. "Sekarang kami bebas dari Qadhafi," kata Salah el-Swehly, seorang pemberontak dari Misrata.
Seperti dalam urusan lain, keluarga Qadhafi campur tangan dan mempolitisasi sepak bola. Saat Saadi menjadi kapten tim nasional Libya dan menjadi pemimpin Federasi Sepak Bola Libya, tim bola menjadi simbol pemerintahan Qadhafi.
Sebelum Saadi terlibat dalam sepak bola, Qadhafi tak mengizinkan presenter televisi mengumumkan nama-nama pemain. "Dia tidak mau melihat kesuksesan ataupun ekspresi kreativitas rakyat Libya, atau melihat seseorang lebih terkenal ketimbang dia," kata Omar Hadad, warga Benghazi, yang datang mendukung tim nasionalnya di Kairo.
Kini tim bebas memilih pemain. Anggotanya direkrut dari berbagai daerah, terutama Benghazi dan Tripoli. Salah seorang pemain yang dulu bermain untuk Al Ahly Tripoli, Mohammed Ghanad, menyebut pertandingan ini sebagai sebuah awal.
Wajah sepak bola Libya kini berubah. "Ini sangat spesial," kata seorang warga Tripoli, Mourad Mounir, 23 tahun. "Ini kemenangan untuk para syuhada, tidak hanya permainan sepak bola." Tim Libya, yang berada di urutan kedua Grup B, bersiap untuk pertandingan berikutnya di Piala Afrika, yang akan digelar Januari-Februari tahun depan.
Bola mampu menjadi pemersatu kembali rakyat Libya. "Di Libya, semua orang cinta bola. Kalau kami menang dan masuk final, saya pikir hampir semua rakyat Libya akan melupakan masa lalu, dan berfokus pada pertandingan," ujar Human Abu Rawi, warga Tripoli, yang juga datang ke Kairo untuk memberi dukungan.
Purwani Diyah Prabandari (BBC, AP, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo