BIARKAN semua orang tahu. Kami tetap setia pada tradisi kami, sebuah tribun bagi kekuatan kiri dan pendukung nilai-nilai sosialisme,'' begitu pesan di halaman pertama harian Pravda, tatkala terbit kembali Senin pekan lalu, setelah diberangus sebulan oleh Boris Yeltsin. Biar sudah ditutup sebulan, Pravda tak sepenuhnya membungkuk pada Boris Yeltsin. Mungkin karena koran ini punya sejarah panjang. Sebenarnya Pravda lebih tua ketimbang republik diktator proletariat pertama di dunia itu. Lenin sendiri yang mendirikannya pada 5 Mei 1912, lima tahun sebelum Revolusi Bolshewik. Dan sejak saat itu Pravda yang menyandang dua Bintang Lenin tak bisa dilepaskan dari peranannya sebagai pengibar bendera Partai Komunis Uni Soviet. Bangkrutnya ideologi merah pada akhir dekade 1980-an mengawali melorotnya Pravda. Oplahnya, yang pernah mencapai 13 juta per hari, anjlok sampai sepersepuluhnya. Bahkan, awal tahun 1992, Pravda hanya dicetak 100 ribu. Untunglah ada Yanni Yannikos, kini 69 tahun. Miliuner asal Yunani ini menyuntik dana segar dengan membeli 55 persen saham Pravda. Yakni lebih balas budi daripada berbisnis. Semasa perang saudara di Yunani, ia dipenjarakan dan diancam hukuman mati. Berkat berita Pravda, eksekusinya ditunda, malah kemudian ia dibebaskan. Yang membuat Pravda ditutup Yeltsin adalah laporannya tentang penyerbuan Gedung Parlemen, 4 Oktober lalu. Di halaman satu dipasang foto-foto yang menggambarkan Gedung Parlemen ditembaki, tentara memukuli demonstran, dan gadis kecil menangisi salah satu jenazah dari 140 korban kerusuhan. ''Soviet Tertinggi, kedaulatan kolektif kita, telah dieksekusi regu tembak,'' demikian komentar Pravda kata Rusia itu berarti kebenaran. Maka, setelah Yeltsin menang, atas nama undang-undang darurat, diberangusnya 15 media simpatisan kubu garis keras, termasyuk Pravda, dan penyiaran 600 Seconds, sebuah nama acara televisi St. Petersburg yang secara tajam beroposisi terhadap Yeltsin. Khusus Pravda, Yeltsin membolehkannya beredar kembali dengan syarat: nama koran dan pemimpin redaksinya diganti. Pihak Pravda tentu saja menolak. Gennady Selesnev, sang pemimpin redaksi, memilih untuk tak menerbitkan korannya. Tapi, sikap Selesnev hanya bertahan sebulan. Tampaknya ia mengalah karena melihat anak buahnya menganggur. Ia bersedia kompromi asalkan nama Pravda tak diganti. Ia digantikan oleh Viktor Linnik, 49 tahun, wartawan senior yang pernah menjadi koresponden di New York. Menurut komentar di Moskow, kepala Linnik tak sekeras Selesnev. Paling tidak tergambar dari komentar datarnya tentang sikap Pravda setelah dibolehkan terbit kembali: ''Kami menentang ekstremisme dan kekerasan dari semua jurusan, baik kiri maupun kanan.'' Tapi ia pun tetap di garis keras. Adapun Selesnev kini hanya menjadi anggota dewan redaksi. Buat Yeltsin, kompromi ini sudah cukup. Yang tetap tak mau kompromi biarpun tak membawakan aspirasi komunisme, mingguan Den dan harian Sovyetskaya Rossiya yang nasionalistis, belum boleh terbit. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini