TELEPON di meja Humas UI berdering. "Selamat pagi," terdengar
suara Dipo Alam. Bekas ketua DM UI itu mengabarkan mendapat
'cuti besar' dari Laksusda Jaya sejak 9 Agustus lalu. Bersama
beberapa mahasiswa lainnya, sejak Januari lalu ia ditahan
kemudian ditempatkan di beberapa rumah dalam kompleks Asrama
Kodam V/Jaya Taji Malela, Bekasi, yang kemudian terkenal dengan
"Kampus Kuning".
Esoknya, dengan ransel di bahu, bekas ketua DM IKIP Jakarta,
Sulaeman Hamzah, tergopoh-gopoh memasuki ruang DM IKIP. Ia
membawa berita sama. Di kantin Fakultas Psikologi UI, sementara
itu dua orang fungsionaris DM UI nongkrong: Jo Rumeser dan Indra
K. Budenani. "Kami dapat cuti puasa, tapi masih wajib lapor,"
ujar Jo.
Seminggu kemudian, sehari menjelang HUT Proklamasi, Laksusda
Jaya membebaskan mereka. Dilepas pula dosen IKIP Jakarta Arif
Rachman dan lima mahasiswa lainnya. Tampaknya mereka kebagian
remisi (keringanan hukuman), yang diberikan setiap 17 Agustus.
Tahun ini, di seluruh Indonesia hampir 15.000 tahanan yang
mendapat remisi.
Sawito Taraweh
Bersamaan dengan itu penyair dan dramawan Rendra juga mendapat
cuti besar. Perkaranya kini sudah diserahkan oleh Oditur Militer
Daerah kepada Kejati. Dan sebulan lalu Kejati sudah
menyerahkannya ke Kejaksaan Agung. "Sekarang ia masih dalam
tahanan Laksusda Jaya. Tinggal menunggu keputusan Kejaksaan
Agung," kata Letkol Anas Malik, Kapendam V/Laksusda Jaya.
Empat hari sebelum cuti, para tahanan dipindah dari Kampus
Kuning ke tahanan POM-ABRI Jalan Guntur, Jakarta. Di sana mereka
ditempatkan di sebuah barak seperti tahanan lainnya. Menurut Jo
Rumeser, mereka pernah mogok bahkan telanjang, menuntut
perbaikan menu makanan. Hanya Sulaeman Hamzah yang dipisahkan
di sel belakang gedung Mahkamah Agung. Di seberang sel itulah
letak RTM Budi Utomo. Di sana, setiap malam Sulaeman sembahyang
taraweh bersama Sawito.
Dengan penglepasan itu, tahanan Laksusda Jaya tinggal 11 orang.
Selain Rendra dan AM Fatwa (Sekretaris II Majelis Ulama DKI
Jaya) serta empat pemuda anggota GPI (yang ditahan dalam rangka
pengamanan SU MPR yang lalu), masih ada lima mahasiswa. Mereka
itu: Lukman Hakim, Doddy Suradiredja, Bram Zakir (ketiganya
fungsionaris DM UI), Hudari Hamid (bekas ketua DM IKIP) dan
Harun Yusuf (IAIN Jakarta).
Sampai minggu lalu, berkas perkara Fatwa belum sampai ke tangan
Kejati berbeda dengan ke sembilan tahanan Iain -- sementara
perkara mahasiswa kabarnya akan diutamakan.
Perkara Arif Rachman pernah ditimbang-timbang tapi akhirnya tak
jadi diberkaskan. Seorang pejabat di Kejati menyatakan, perkara
Arif "kekurangan unsur-unsur pidana untuk diadili".
Jo dan Indra kini menebus kuliahnya yang tercecer satu semester,
selain ingin aktip lagi dalam kegiatan mahasiswa. Pekan lalu Jo
memenuhi nazarnya mencukur klimis janggut dan kumisnya yang
melebat. Tapi sial, rumah kontrakannya di belakang Fakultas
Psikologi UI sudah digusur. Kini ia menumpang di rumah seorang
kenalan.
Terobosan Budaya
Pada hari yang hampir bersamaan, Kejati Ja-Bar melepas 11
mahasiswa Bandung, tujuh di antaranya dari ITB. Antara lain:
Heri Akhmadi, Al-Hilal, Moh. Iqbal, Ramles Manampang, Irzadi
Mirwan, Abdurrachim, Rial Ramli dan Iskadir Chotob (Unpad).
Mereka itu sebenarnya sudah bebas 16 Agustus. Tapi karena
Iskadir Chotob belum mendapat jaminan dari Rektornya, maka "demi
kebersamaan, kami menunggu sampai dua hari kemudian," kata Heri
Akhmadi, bekas ketua DM ITB.
Mereka juga masih wajib lapor: setiap Rabu. Menurut Kapendam
VI/Laksusda Ja-Bar, Mayor Sudjono, penglepasan itu setelah ada
jaminan tertulis dari para Rektor yaitu bersedia menghadapkan
mahasiswanya bila setiap saat diperlukan untuk pemeriksaan.
Status mereka kini tergantung dari hasil pemeriksaan Kejati.
"Yang jelas mereka sudah berada di luar dan bebas kuliah,"
tambah Sudjono.
Karena hal itu tak berarti dihentikannya pemerkaraan, maka
Sugeng Setiadi dari Biro Hukum ITB akan mengusahakan
penyelesaiannya. Misalnya menghubungi LBH Pusat di Jakarta untuk
membela mereka.
Dengan bebasnya mereka, habis pula semua tahanan mahasiswa di
Bandung. Heri Akhmadi ketika ditemui TEMPO, enggan menceritakan
pengalaman selama ditahan. "Saya tak mau meromantisir masa lalu.
Yang penting bagaimana dengan masa depan," kata Heri. Sikap
mereka tetap. "Sejak dulu kami tidak pernah berorientasi pada
kekuasaan. Tapi pada perubahan. Gerakan kami pun bukan gerakan
politik, melainkan 'terobosan budaya'. Benar kami punya sikap
politik, tapi gerakannya itu bukan gerakan politik." Heri, ketua
DM ITB yang sejak dulu menginginkan adanya perubahan kulturil
itu, lalu beranggapan tak perlu ada normaisasi kampus, karena
"tak ada yang perlu dinormalkan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini