SEORANG anak muda dengan santai berjalan di daerah pertokoan di
Salisbury, Zimbabwe-Rhodesia. Dia mengenakan baju lengan panjang
dengan motif bendera Inggris Union Jack. Hari-hari itu 6,8 juta
penduduk Rhodesia menantikan tibanya seorang gubernur dari
Inggris sebagai pertanda kembalinya 'penjajahan' ke negara itu.
Ini merupakan hasil konperensi yang disponsori Inggris bagi
penyelesaian sengketa antara pemerintah Abel Muorewa - yang
didukung kaum kulit putih -- dengan Front Patriotik, gerilya
kaum kulit hitam.
Konperensi selama 82 hari di London itu sepakat untuk menerima
kehadiran Inggris sebagai penguasa sementara. Sampai
pemerintahan baru dibentuk berdasarkan hasil pemilihan umum di
bawah supervisi 'penjajah sementara' itu. Dan pekan lalu, Lord
Soames pemimpin Konservatif di Majelis Tinggi Inggris yang
ditunjuk sebagai Gubernur Rhodesia, tiba di Salisbury.
Secara Sepihak
Di lapangan terbang ia disambut dengan lagu kebangsaan Inggris
God Save the Queen, yang sudah 14 tahun tak pernah
diperdengarkan lagi. Bahkan lagu itu hampir tak dikenal oleh 230
ribu kaum kulit putih yang jadi penduduk negara itu. Yaitu sejak
lan Smith secara sepihak memutuskan hubungan Rhodesia dengan
Inggris, tahun 1965.
Namun sukses tidaknya keputusan London ini -- yang oleh pers
Inggris disebut sebagai keberhasilan pribadi Lord Carrington,
Menlu Inggris -- masih banyak tergantung pada sikap selanjutnya
Front Patriotik yang dipimpin oleh Joshua Nkomo dan Robert
Mugabe. Karena salah satu prasyarat pemilu adalah suatu gencatan
senjata antara gerilya Front Patriotik dan Angkatan Bersenjata
Rhodesia.
Semula gencatan senjata diperkirakan akan tercapai 3 hari
setelah diumumkannya persetujuan London, 5 Desember yang
lalu.Tapi suatu pertempuran antara tentara pemerintah Salisbury
dan gerilya kulit hitam terjadi lagi 14 Desember, sehari setelah
kedatangan Lord Soames.
Di London, pemimpin Front Patriotik, Joshua Nkomo mengatakan
bahwa tak akan ada gencatan senjata sampai Front yakin adanya
kesamaan status dengan tentara pemerintah Salisbury. Nkomo juga
mempersalahkan Inggris yang terlalu cepat mengirimkan
gubernurnya sebelum perjanjian gencatan senjata ditandatangani.
Menurut rencana, sekitar 15.000 gerilyawan akan melaporkan diri
ke 14 tempat 'wilayah penyatuan'. Sementara 20.000 tentara
pemerintah Salisbury akan berada di sekiur kamp militer yang
tersebar di berbagai tempat. Kegiatan kedua pihak akan dimonitor
oleh Pasukan Negara Persemakmuran yang berkekuatan 1.200 orang.
Kehadiran pasukan pengawas ini diharap akan menjamin terciptanya
perdamaian. Namun James Chikerema, bekas pemimpin gerilya dan
ketua Partai Demokrasi Zimbabwe mengatakan bahwa pasukan
pengawas itu pasti akan mundur bila pertempuran secara
besar-besaran terjadi.
Sambil menunggu terbentuknya pemerintahan baru dari suatu negara
merdeka yang akan dinamakan Zimbabwe Inggris dan Amerika Serikat
secara sepihak telah mencabut embargo ekonominya terhadap
Rhodesia. Hal ini mungkin akan menjengkelkan negara-negara
Afrika dan negara komunis di PBB.
Sanksi itu diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 1966
atas permintaan Inggris. Kini Inggris dan AS mencabutnya dengan
maksud memperlancar penyelesaian bagi suatu sengketa yang telah
berlangsung selama 10 tahun .
Secara sayup-sayup masih kedengaran sikap pesimis dari berbagai
kalangan di Rhodesia. Seorang pengusaha kulit putih yang berdiam
di luar kota Salisbury mengatakan bahwa penyelesaian ini hanya
akan mengakhiri keterlibatan Inggris "Tapi saya pikir
pertempuran akan terus berlangsung," kata pengusaha itu sambil
tetap menyandang senjatanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini