Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan korban tewas mencapai 3.000 orang, wabah virus ebola di Afrika Barat bukan hanya bakal terus menjadi masalah kesehatan. Di tiga negara yang terjangkiti, serangan virus itu juga perlahan-lahan menggerogoti kegiatan ekonomi. Di Sierra Leone, kata Menteri Pertanian Joseph Sam Sesay, "Perekonomian kempis 30 persen karena ebola."
Menurut Bank Dunia, di Sierra Leone, pertanian merupakan sektor yang paling terpukul karena 66 persen penduduknya petani. Padahal negara yang dibelit perang sipil satu dekade hingga 2002 itu baru bangkit perekonomiannya menjadi salah satu yang tercepat di Benua Hitam.
Kini Sierra Leone harus memangkas ramalan pertumbuhan ekonominya pada 2014, dari 11,3 menjadi 8 persen. Pendapatan nasional turun US$ 60 juta dalam sebulan terakhir karena ebola mempengaruhi sektor pertambangan. London Mining, perusahaan pertambangan dari Inggris yang beroperasi di sana, misalnya, harus memotong perkiraan produksinya. Bidang pariwisata, yang menarik 60 ribu orang tahun lalu, juga ikut suram.
Bertetangga, Liberia bernasib serupa. Di negara yang pernah didera perang saudara 14 tahun itu ekonomi tumbuh 8 persen dalam dua tahun terakhir. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonominya hanya 2,5 persen-perkiraan sebelumnya 5,9 persen. Menteri Keuangan Liberia Amara Konneh mengatakan hal ini merupakan akibat pukulan di sektor pertambangan, pertanian, dan jasa. Penyebabnya, wilayah produktif pertanian terpaksa dikarantina, pekerja asing dievakuasi, perbatasan ditutup, dan penerbangan ditunda.
Salah satu investor terbesar di Liberia, perusahaan tambang asal Eropa Barat, ArcelorMittal, mengumumkan keadaan force majeure atas proyek yang seharusnya meningkatkan produksi bijih besi mereka tiga kali lipat. Perusahaan minyak kelapa sawit asal Malaysia yang beroperasi di sana, Sime Darby, juga mengurangi produksi. Menurut Konneh, negaranya kehilangan pendapatan pajak US$ 30 juta, angka yang besar bagi negara kecil dengan pendapatan per kapita US$ 410 itu.
Di Guinea, angka perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini merosot dari 4,5 menjadi 2,4 persen. Negara berpenduduk 12 juta orang dengan pendapatan per kapita US$ 460 itu terpukul di sektor pertanian dan jasa.
Mohamed Cherif Abdallah, Ketua Kelompok Pengusaha Conakry, Guinea, mengeluhkan bisnisnya terganggu. "Wabah ini menghambat aktivitas ekonomi dalam negeri. Orang asing tak mau datang," ucapnya. Penduduk di wilayah pertanian komoditas ekspor, seperti kakao dan minyak kelapa sawit, saja kabur menghindari ebola. Laporan Bank Dunia menyebutkan produksi kakao merosot dari 3.511 ton menjadi 2.296 ton dalam enam bulan terakhir. Produksi minyak kelapa sawit pun turun 75 persen.
Berdasarkan data ekonomi teranyar di tiga negara tersebut, Bank Dunia berupaya menghitung dampak jangka pendek ebola. Total kerugian bagi ketiga negara bertetangga itu, dari kacamata ekonomi makro, mencapai US$ 359 juta. Angka kerugian terbesar terjadi di Sierra Leone, yaitu 3,3 persen dari produk domestik brutonya senilai US$ 163 juta. Guinea rugi 2,1 persen dari PDB, berarti US$ 130 juta.
Sebenarnya Guinea merupakan lokasi awal merebaknya virus. Tapi dampak di negara itu terhitung paling kecil karena lokasi merebaknya virus adalah area pedalaman dan menteri kesehatan cenderung bergerak cepat bersama Dokter Lintas Batas (MSF). Di Sierra Leone dan Liberia, ebola menyebar di lingkungan urban yang padat.
Dalam jangka menengah, Bank Dunia punya dua skenario besar kerugian secara makro. Pertama, jika virus ebola bisa diatasi atau disebutnya low-ebola, total kerugian di tiga negara bisa ditekan menjadi US$ 97 juta. Skenario kedua, jika kondisi penyebaran ebola seperti sekarang atau high-ebola terus berlanjut tanpa penanganan efektif, total kerugian bisa berlipat menjadi US$ 809 juta.
Analisis Bank Dunia yang dipublikasi di situs resminya menyebut dampak ekonomi terbesar dari krisis ebola bukan dari biaya langsung seperti kematian, penularan, dan perawatan, melainkan karena sikap enggan turun tangan akibat khawatir tertular. Setelah kasus pertama ebola dilaporkan pada Maret 2014, muncul keengganan orang bekerja sama dengan orang lain, lalu berkurangnya partisipasi tenaga kerja, berlanjut dengan penutupan tempat kerja. Operasi transportasi pun terhenti, sehingga membuat pemerintah menutup pelabuhan dan bandara.
"Temuan kami memperjelas, semakin cepat respons penanganan yang cukup, serta mengurangi ketakutan dan ketidakpastian, semakin cepat kita bisa mengurangi dampak ekonomi ebola," kata Jim Yong Kim, Presiden Kelompok Bank Dunia.
Atmi Pertiwi (World Bank, BBC, The Economist, Sudan Vision Daily)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo