Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Keok Bahkan di Rumah Sendiri

Partai Demokrat kalah telak dalam pemilihan umum sela, bahkan di basisnya. Obama diperkirakan makin terisolasi.

17 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang-orang di kubu Partai Republik, yang bekerja untuk memenangkan calonnya dalam persaingan memperebutkan kursi Senat di Negara Bagian Colorado, Amerika Serikat, mengendus sesuatu telah terjadi bahkan sebelum suara dihitung. Pada Selasa dua pekan lalu itu, mereka merasakan ada yang bergeser: pada hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara, para pemilih di pinggiran Denver, yang dua kali mendukung Presiden Barack Obama, beramai-ramai meninggalkan Senator Mark Udall dari Partai Demokrat.

"Kami berpikir (penghitungan suara) malam ini bisa diselesaikan lebih awal," kata Cory Gardner, calon dari Partai Republik yang mengalahkan Udall.

Kemenangan Republik di Colorado tergolong mengejutkan, serupa dengan kemenangannya di North Carolina serta kekalahan yang nyaris ditanggung di Virginia, dan melampaui kejayaan di negara-negara bagian yang selama ini memang menjadi basisnya. Ketiga negara bagian itu sebelumnya diyakini, baik oleh Demokrat maupun Republik, bakal dikuasai Demokrat.

Dalam pemilihan umum sela pada Selasa dua pekan lalu itu, Republik mendulang suara yang memungkinkannya merebut kursi lebih banyak, melampaui yang dikuasai Demokrat, di Senat—sekurang-kurangnya tujuh kursi. Selain itu, Republik memperkuat dominasinya di Dewan Perwakilan Rakyat dan memenangi pertarungan memperebutkan kursi gubernur bahkan di basis Demokrat, seperti di Maryland.

Dibandingkan dengan yang sebelumnya, pemilihan umum itu merupakan yang terburuk dari segi tingkat partisipasi pemilih. Di 43 negara bagian, kurang dari separuh penduduk yang berhak memilih yang benar-benar menggunakan suaranya. Dan tak satu pun negara bagian yang angka tingkat partisipasinya melampaui 60 persen; angka nasionalnya: 36,4 persen. Ini tingkat partisipasi terendah dalam 72 tahun terakhir.

"Terakhir kali tingkat partisipasi pemilihan umum nasional serendah pemilihan umum pada 4 November ini, Hitler masih berkuasa dan (Senator Republiken) Mitch McConnell baru berusia 9 tahun," tulis Time.com.

Dari mereka yang menggunakan hak pilih, sekilas, bisa ditangkap kesan inilah pemilihan umum yang pekat diwarnai kekecewaan mendalam, kalau bukan amarah. Hasil exit poll memaparkan dua pertiga pemilih yakin bahwa negara sedang berada di jalur yang salah. Sebagian besar menyatakan kekecewaan atau kegusaran terhadap kinerja bukan hanya Obama, melainkan juga partai politik dan Kongres.

Namun, di balik itu, ada hal lain yang sebenarnya lebih mendasar.

l l l

Jika diperhatikan, Amerika sebenarnya sedang dalam keadaan bugar, paling tidak menurut standar Eropa: dalam lima tahun terakhir, ekonominya tumbuh, pasar modal bergairah, tingkat pengangguran turun, dan keadaan keuangan negaranya sehat. Pemilih juga masih mendukung kebijakan-kebijakan Obama tentang imigran dan aborsi. Bertumpu pada hal-hal ini, orang luar akan bertanya-tanya kenapa bisa partai asal presiden yang berkuasa kalah telak—walaupun kekeokan ini sudah diramalkan sebelumnya.

Para analis melihat hasil dari pemilihan umum sela itu paling tidak menghadapkan kedua partai dengan fakta penting yang tak terelakkan: pergeseran demografi yang perlahan-lahan menata ulang komposisi penduduk yang berhak memilih, menjadikannya lebih beragam secara ras, tak bisa menundukkan lingkungan politik yang sulit, dan pesan politik yang memang lemah. Dan kecakapan Demokrat dalam memanfaatkan teknologi untuk memobilisasi serta membidik pemilih pun mulai diimbangi oleh Republik, yang mengadopsi teknik dan cara serupa.

"Demokrat telah menjual mitos tentang kemampuan magis mereka di lapangan," kata Brad Todd, ahli strategi yang bekerja untuk Gardner. "Tapi mereka melontarkan yang terbaik yang mereka punya kepada kami, dan itu tak cukup."

Analis berpendapat bahwa para pemimpin kedua partai, dan mereka yang mengamati Gedung Putih, mesti mengkaji ulang asumsi mereka tentang peta bumi pemilih. Yang terjadi, sementara Republik merayakan kejayaan di negara-negara bagian yang pemilihnya cenderung memutuskan di saat-saat terakhir, seperti Colorado, Demokrat merasa kecewa kandidatnya tak bernasib baik di Georgia dan Texas, yang diyakininya makin kompetitif karena ada pergeseran demografi, khususnya di kalangan pemilih keturunan Hispanik.

Di Georgia, Jason Carter dan Michelle Nunn, dua kandidat Demokrat, kalah dengan perolehan suara jauh lebih buruk ketimbang yang diperkirakan. Di Texas, jutaan dolar yang diguyurkan Demokrat untuk mendongkrak peluang kandidat gubernurnya, Wendy Davis, dan meletakkan fondasi bagi masa depan partai di negara bagian itu pun sia-sia. Greg Abbott, kandidat Republik yang membidik dengan agresif kaum Latin dan dengan aktif mempromosikan bahwa ibu mertuanya adalah keturunan Hispanik, sukses merebut 43 persen pemilih Hispanik.

Di samping hal lain, seperti ketergantungan pada pemilih perempuan, Demokrat menghadapi kenyataan pahit berkaitan dengan apa yang disebut sebagai pemilih Obama. Mereka ini, selain kaum perempuan, adalah kaum muda dan kelompok minoritas. Setelah penghitungan suara, para ahli strategi Demokrat mendapati fakta betapa para pemilih Obama sama sekali sulit dimobilisasi dalam keadaan Obama sendiri tak membukukan kinerja terbaiknya.

Dalam kenyataannya, bahkan para kandidat Demokrat sengaja memilih mengambil jarak dengan Obama. Mereka meminta Obama tak membantu berkampanye. Mereka justru muncul seakan-akan sebagai kandidat Republik. Sikap ini, tentu saja, menguntungkan Republik; tanpa agenda kampanye yang lebih daripada sekadar serangan terhadap Obama, mengklaim bahwa Obama adalah bencana bagi negara, Republik seakan-akan berhasil meyakinkan pemilih perihal kredibilitasnya.

Dibandingkan dengan pemilihan umum pada 2012, para pemilih yang datang ke bilik-bilik suara adalah mereka yang berusia lebih tua, lebih banyak yang berkulit putih, dan lebih konservatif. Sebanyak 65 persen dari mereka yang memilih berusia di atas 45 tahun (pada 2012 proporsinya 54 persen).

Fakta itu menghadapkan Demokrat pada masalah lain, terutama jika mantan menteri luar negeri Hillary Clinton memang jadi mencalonkan diri dalam pemilihan presiden pada 2016: akankah perubahan demografi yang menjadikan Amerika lebih bineka cukup memberikan keuntungan dan menghapuskan dampak buruk dari merosotnya kegairahan pemilih minoritas yang terilhami oleh Obama.

"Kita tak boleh semata-mata berasumsi bahwa pemilih Obama otomatis akan muncul demi kandidat presiden dari Demokrat," ujar David Plouff, mantan manajer kampanye Obama.

l l l

DI East Room, Gedung Putih, pada Rabu pekan lalu Presiden Barack Obama terlihat berbicara dengan nada penuh keyakinan di hadapan wartawan. Dalam konferensi persnya sehari setelah kekalahan Demokrat jadi pengetahuan umum, dia menegaskan bahwa mandatnya adalah merealisasi janji-janjinya. Untuk itu, dalam dua tahun sisa masa pemerintahannya, dia menyatakan siap mencari kesamaan pandangan dengan Republik, yang kini menguasai Kongres—dengan kemenangan di Senat dan makin kuatnya dominasi di DPR. Tapi dia juga memastikan menggunakan otoritasnya sebagai eksekutif, untuk mengabaikan Kongres, jika memang keadaan mengharuskan.

"(Hasil pemilihan umum) ini tak membuat saya gundah. Ini menyemangati saya, karena ini berarti demokrasi berfungsi," ucapnya. Dia mengaku bertanggung jawab karena membiarkan berkembangnya kekhawatiran rakyat Amerika yang bertambah yakin pemerintahannya tak berfungsi dan tak merespons dengan baik kebutuhan mereka.

Menurut dia, pelajaran paling penting dari pemilihan umum sela itu adalah Demokrat dan Republik harus bekerja lebih keras demi mewujudkan kerja sama kedua pihak. Untuk itu, kata dia, "Yang tak akan saya lakukan adalah cuma menunggu."

Peluang bekerja sama dengan Republik untuk memenuhi tuntutan itu bukan tak ada. Tapi, menurut para pengamat, hal ini akan sangat bergantung pada bagaimana Republik memandang kemenangannya: apakah sebagai kesempatan untuk ikut menjalankan pemerintahan atau semata hendak menyabotase kebijakan dan mencari-cari kesalahan Obama.

Sementara hal itu masih menghadapi aneka kemungkinan, posisi Obama sendiri dipastikan tak banyak berubah. David Rothkopf, yang menulis di Foreign Policy, menggambarkan, setelah pemilihan umum sela itu, Obama "bagaikan sebuah pulau". Menurut dia, isolasi itu bermula dari kenyataan bahwa sejak awal, bagi Obama dan tim kampanyenya, Partai Demokrat bukan yang terpenting. "Ini bukan tentang tim di pemerintahan.... Ini selalu tentang seseorang yang merupakan produk, pembawa pesan, misi, dan alasan pokok yang semuanya dikemas jadi satu."

Dia melihat, dalam dua tahun mendatang, sangat besar kemungkinannya apa pun wajah optimisme yang hendak dikenakan, bertentangan dengan kenyataan, Obama akan menuai hasil dari narsisisme politik dan kebijakannya. Akibatnya, dia menambahkan, bukan hanya buruk bagi Obama, melainkan juga bagi Amerika dan perannya di dunia.

Purwanto Setiadi (The Economist, Foreign Policy, The Inquisitr, The New York Times, PoliticusUSA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus