Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kembali ke pesantren (dlm cs)

Sejarah lahirnya NU, organisasi sosial keagamaan, pada tahun 1926. keterlibatannya di bidang politik tahun 1952, kini ada rencana kembali ke asas semula setelah terjadi pembaharuan struktur politik.(nas)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIDIRIKAN oleh sekelompok ulama pada 1926, Nahdlatul Ulama umumnya dianggap lahir sebagai reaksi kelompok tradisional itu terhadap munculnya gerakan modernisasi Islam yang dilakukan Muhammadiah. Organisasi sosial keagamaan ini mulai meninggalkan cirinya pada 1952, tatkala keluar dari Masyumi dan mandiri sebagai partai. Secara politis NU membuat langkah yang mengejutkan tatkala menempati urutan ke-3 dan meraih 45 kursi dalam Pemilu 1955 (sebagai perbandingan, PNI dan Masyumi masing-masing mendapatkan 57 kursi, sedang PKI 39 kursi). Maka mulailah berkembang sayap politik NU, di samping ulama. Dalam tahap ini para politisi yang mewakili NU pada lembaga legislatif dan eksekutif, datang dari "bawah", dengan akar kuat pada tradisi NU. Keterlibatannya yang semakin dalam di bidang politik menyebabkan NU makin jauh dari kehadirannya sebagai jamiyah. Porsi terbesar kegiatannya juga semakin beralih ke bidang politik. Sebab ketika itu ukuran "kebesaran" dinilai dari keberhasilan suatu partai dalam berpolitik. Pembaharuan struktur politik, berupa penyederhanaan struktur kepartaian, yang terjadi setelah Pemilu 1971 ternyata berakibat panjang. Parpol yang berfusi, turun derajatnya menjadi unsur. Konflik antarunsur -- seperti antara NU dan MI dalam PPP -- terjadi dalam usaha memperebutkan kendaii politik partai. Intern unsur NU pun tak sepi dari konflik antara ulama dan politisi memperebutkan kepemimpinan. Pembaharuan struktur politik antara lain juga mengharuskan pemisahan agama dan politik. Tingkah laku politik yang dianggap oposisi dan apatis tidak dikehendaki. Ini juga mengakibatkan konflik dalam parpol, hingga menimbulkan pergeseran-pergeseran. Kelompok yang dianggap "kurang akomodatif" bisa di-recall keanggotaannya di DPR, atau tidak dicalonkan lagi dalam Pemilu. Dalam hal ini pemerintah, yang berkepentingan memelihara stabilitas demi pembangunan, sangat berperan. Hingga kemudian buat para politisi parpol, hubungan baik dengan pemerintah menjadi amat penting, guna memperkuat posisi politiknya. Hubungan ini bahkan terasa lebih penting ketimbang dukungan dari bawah Kebijaksanaan "massa mengambang" juga makin menjauhkan politisi dari akarnya. Di NU, perkembangan ini menyebabkan peran ulama makin dikesampingkan. Semula mereka merupakan perantara antara politisi dan massa. Kini, seperti terlihat dalam penyusunan daftar calon PPP untuk Pemilu 1982, para politisi bisa melepaskan ketergantungannya pada ulama. Idham Chalid, yang dikenal punya hubungan baik dan diterima pemerintah karena sikapnya yang moderat, tampaknya merupakan tumpuan kelompok politisi NU yang condong bersikap akomodatif. Bisa dimengerti jika para pendukungnya tidak ingin melihat patron mereka ini digeser dari kedudukannya. Menyusutnya peranan semula NU rupanya disadari oleh para ulama. Dalam Muktamar Semarang 1979 disepakati untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan seperti waktu didirikan pada 1926. Dibanding dengan Muhammadiah, misalnya, yang memiliki banyak sekolah, rumah sakit dan usaha sosial lainnya, NU memang ketinggalan jauh. Ini rupanya yang antara lain ingin dikejar. Dengan kembali sebagai organisasi sosial, para ulama NU di samping ingin mengembalikan wibawa ulama juga ingin menjauhi konflik yang gampang timbul jika NU tetap terlibat dalam politik. Para politisi NU dengan demikian kelak tidak akan lagi tampil sebagai wakil NU, tetapi sebagai pribadi. Dengan kata lain, NU akan kembali ke pesantren. Rencana ini tampaknya didukung oleh sebagian besar warga NU, termasuk Idham Chalid. "Saya berharap agar NU nanti akan lebih banyak mencurahkan kegiatan di bidang dakwah dan pendidikan," ujarnya. Dukungan juga datang dari generasi muda NU. Bekas ketua umum Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia Ahmad Bagja menilai, "sebagai organisasi sosial-keagamaan, manfaat kehadiran NU akan bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, khususnya jamaah NU sendiri," katanya. Kebijaksanaan pemerintah, agar semua parpol dan ormas nantinya hanya berasaskan Pancasila, tampaknya tak bertentangan dengan rencana NU kembali ke khittah-nya semula. Tahun depan, agaknya banyak menjanjikan perubahan dalam kehidupan politik di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus