KABlNET jatuh-bangun, pemerintahan berganti, gunung meletus toh
Kiai Haji Idham Chalid, 60 tahun, tetap berada di pucuk. Deretan
panjang jabatan yang pernah dipegangnya memang mengesankan.
Jabatan Ketua Umum PB NU (Tanfidziah) dipegangnya sejak 1956.
Sebelumnya, sedari 1950 ia anggota DPR. Dua kali kedudukan Wakil
Perdana Menteri II dipegangnya, dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo
(1956-1957) dan Kabinet Karya. Menyusul kemudian jabatan anggota
DPA (1959-1960), sebelum ia terpilih sebagai Wakil Ketua MPRS
pada 1960.
Di zaman Orde Baru, kiai yang lahir di Setui, Kalimantan Selatan
ini mula-mula menjabat Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat dalam
Kabinet Pembangunan. Setelah itu kedudukan Ketua DPR/MPR
dipangkunya. Sejak 1978 ia menjabat Ketua DPA. Selain itu Idham
juga menduduki jabatan Presiden Partai Persatuan Pembangunan.
Mengapa Idham begitu awet bertahan? Ada yang menganggap itu
berkat kepintarannya mencium "arah angin" dan "mengikuti arus".
Betulkah? Idham Chalid dengan keras membantah. "Itu penilaian
orang. Orang menilai saya dari sudut mana mereka berpijak. Itu
terserah saja. Saya tidak akan hanyut," ujarnya pekan lalu pada
TEMPO.
Tokoh kurus yang hampir selalu mengenakan kopiah hitam ini
tampaknya memang tidak peduli dengan penilaian orang
terhadapnya. "Saya hanya mengabdi pada bangsa dan tanah air
sebagai amal kepada Allah semata. Sebagai seorang Muslim saya
selalu berdoa kenada Allah Swt agar pada akhirnya saya menjadi
khusnul khatimah (orang yang mengakhiri hidupnya dalam limpahan
serba kebaikan -- Red)," katanya.
Kedengarannya bagai suatu pengakuan yang tulus dari seorang yang
sering dituduh "tidak tegas", "pintar merangkul", "licin",
bahkan juga "oportunistis" oleh lawan-lawannya. Namun dari
kalangan pendukungnya, segudang pujian juga ditumpukkan pada
Idharn Chalid: ia "penuh toleransi", "tidak radikal" "tidak
pernah marah", "punya kepemimpinan yang kolegial" dan "bisa
diterima semua pihak".
Tampaknya Idham Chalid memang tokoh kontroversial, justru dengan
tak banyak bicara. Namun riwayat hidupnya menceritakan banyak
hal tentang tumbuhnya seorang tokoh politik Indonesia.
Idham Chalid memperoleh pengetahuan agamanya dengan belajar dari
pesantren ke pesantren. Dalam usia 18 tahun, pada 1940, ia jadi
guru pada Madrasah Pondok Modern Gontor, Jawa Timur Pada 1944 ia
menjabat Direktur Normal School di Amuntai, Kal-Sel.
Suatu sumber menyebutnya sebagai anggota Dewan Banjar yang
dibentuk Belanda pada 1947, hingga ia diskors dari
keanggotaannya pada Syarikat Kerakyatan Indonesia. Namun menurut
Idham, keanggotaannya dalam Dewan itu karena dipilih oleh Badan
Koordinasi Partai-Partai Republikein. Bahkan ia mengatakan bahwa
ia kemudian dipenjarakan Belanda pada November 1949. Pada 1950
ia diangkat menjadi anggota Parlemen mewakili Kal-Sel, dan
sebagai hasil Pemilu 1955 ia terpilih sebagai anggota DPR
mewakili Ja-Bar.
Keterlibatannya di NU dimulai dengan kegiatannya dalam Gerakan
Pemuda Ansor. Kemudian Idham Chalid menjadi Sekretaris Pribadi
K.H. Wahid Hasjim, tokoh besar NU yang pernah menjabat Menteri
Agama. Agaknya terutama berkat hubungan baiknya dengan tokoh
inilah Idham makin menjulang karirnya. Pada Muktamar NU di Medan
1956 ia terpilih sebagai Ketua Umum NU. Idham waktu itu juga
mendapat dukungan kuat para ulama.
"Sebelum almarhum Wahid Hasyim meninggal, beberapa kali ia
menitipkan Idham Chalid pada saya, agar saya jangan berpisah
dengan Idham. Sejak itu ia saya anggap sebagai anak sendiri,"
cerita K.H. As'ad Syamsul Arifin, pimpinan Pesantren Sukorejo,
Asembagus, Situbondo. Menurut Kiai As'ad, karena amanat itulah
ia menjadi orang pertama yang mendukung Idham sebagai calon
Ketua Umum dalam Muktamar Medan.
Dukungan terus diberikan pada kepemimpinan Idham dalam Muktamar
Bandung dan Sala. Pada Muktamar Surabaya 1971, menurut Kiai
As'ad ia sudah meminta agar Idham mundur saja karena ia melihat
adanya pengaruh yang kurang baik bila NU terus menerus dipimpin
orang yang sama. Namun menurut dia, Idham meminta diberi
kesempatan sekali lagi. "Karena ia masih baik, saya berikan
dukungan lagi," kata Kiai As'ad.
Waktu itu dua pendiri NU,K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Bisri
Syansuri memang masih hidup, hingga dianggap bisa "mengontrol"
Idham. Menjelang Muktamar Semarang pada 1979, dalam tiga kali
pertemuan dengan Idham, Kiai As'ad meminta Idham agar mundur
sebagai Ketua Umum dan memperkuat Syuriah. Alasannya, Syuriah
semakin lemah karena semakin tuanya Kiai Bisri. "Idham Chalid
waktu itu setuju," kata Kiai As'ad.
Idham kabarnya membicarakan permintaan Kiai As'ad -- dan juga
persetujuannya -- pada K.H. Sjaichu dan K.T. Saifuddin Zuhri.
Bahkan Idham konon menyatakan akan mendukung Sjaichu sebagai
pehggantinya. Namun tatkala muktamar berlangsung, ternyata Idham
Chalid muncul lagi sebagai calon. "Saya langsung pulang," ujar
Kiai As'ad.
Versi Idham Chalid sendiri mengenai peristiwa itu belum jelas.
Mungkin itu bakal muncul juga dalam memoar yang kini tengah
ditulisnya. "Setiap habis sembahyang subuh saya menulis. Dengan
tangan, sebab saya tidak biasa mengetik," kata Idham.
Menurut Idham, jabatannya selama 26 tahun terus-menerus sebagai
Ketua Umum NU "merupakan amanah, kepercayaan dari umat. Dalam
setiap muktamar saya terpilih, walau tidak pernah kampanye. Di
kalangan kami, warga nahdliyyin, kampanye semacam itu kan
tidak dikenal".
Idham Chalid, bapak dari 15 orang anak (lahir dari 4 orang ibu,
seorang sudah meninggal), ini ternyata tetap populer. Tamu di
rumahnya tetap membanjir, walau ia sering sulit dijumpai. Ia
tidak selalu ada di rumahnya di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta
Pusat. Kadang-kadang ia ada di rumahnya yang lain, di Bintaro,
Blok A, atau Cipete -- tempat ia mendirikan sebuah pesantren.
Semangat belajarnya tetap tinggi. Ia kelihatan selalu membawa
kamus. Bahasa asing yang dikuasainya: Arab, Inggris, Belanda dan
Jepang. Selain itu juga Jerman dan Prancis secara pasif. Hobinya
memang membaca. "Terutama saya suka membaca biografi orang-orang
besar. Dan juga sejarah," ujarnya. Rupanya sejarah juga yang
nanti akan menilai tokoh macam apa sebenarnya Idham Chalid itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini