Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"saya tak akan hanyut" (cs)

Profil Idham Chalid, tokoh yang dituduh "licin" bahkan "aportunistis" oleh lawan-lawannya dan dipuji penuh "toleransi" dan "bisa diterima semua pihak" oleh pendukungnya.(nas)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABlNET jatuh-bangun, pemerintahan berganti, gunung meletus toh Kiai Haji Idham Chalid, 60 tahun, tetap berada di pucuk. Deretan panjang jabatan yang pernah dipegangnya memang mengesankan. Jabatan Ketua Umum PB NU (Tanfidziah) dipegangnya sejak 1956. Sebelumnya, sedari 1950 ia anggota DPR. Dua kali kedudukan Wakil Perdana Menteri II dipegangnya, dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (1956-1957) dan Kabinet Karya. Menyusul kemudian jabatan anggota DPA (1959-1960), sebelum ia terpilih sebagai Wakil Ketua MPRS pada 1960. Di zaman Orde Baru, kiai yang lahir di Setui, Kalimantan Selatan ini mula-mula menjabat Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Pembangunan. Setelah itu kedudukan Ketua DPR/MPR dipangkunya. Sejak 1978 ia menjabat Ketua DPA. Selain itu Idham juga menduduki jabatan Presiden Partai Persatuan Pembangunan. Mengapa Idham begitu awet bertahan? Ada yang menganggap itu berkat kepintarannya mencium "arah angin" dan "mengikuti arus". Betulkah? Idham Chalid dengan keras membantah. "Itu penilaian orang. Orang menilai saya dari sudut mana mereka berpijak. Itu terserah saja. Saya tidak akan hanyut," ujarnya pekan lalu pada TEMPO. Tokoh kurus yang hampir selalu mengenakan kopiah hitam ini tampaknya memang tidak peduli dengan penilaian orang terhadapnya. "Saya hanya mengabdi pada bangsa dan tanah air sebagai amal kepada Allah semata. Sebagai seorang Muslim saya selalu berdoa kenada Allah Swt agar pada akhirnya saya menjadi khusnul khatimah (orang yang mengakhiri hidupnya dalam limpahan serba kebaikan -- Red)," katanya. Kedengarannya bagai suatu pengakuan yang tulus dari seorang yang sering dituduh "tidak tegas", "pintar merangkul", "licin", bahkan juga "oportunistis" oleh lawan-lawannya. Namun dari kalangan pendukungnya, segudang pujian juga ditumpukkan pada Idharn Chalid: ia "penuh toleransi", "tidak radikal" "tidak pernah marah", "punya kepemimpinan yang kolegial" dan "bisa diterima semua pihak". Tampaknya Idham Chalid memang tokoh kontroversial, justru dengan tak banyak bicara. Namun riwayat hidupnya menceritakan banyak hal tentang tumbuhnya seorang tokoh politik Indonesia. Idham Chalid memperoleh pengetahuan agamanya dengan belajar dari pesantren ke pesantren. Dalam usia 18 tahun, pada 1940, ia jadi guru pada Madrasah Pondok Modern Gontor, Jawa Timur Pada 1944 ia menjabat Direktur Normal School di Amuntai, Kal-Sel. Suatu sumber menyebutnya sebagai anggota Dewan Banjar yang dibentuk Belanda pada 1947, hingga ia diskors dari keanggotaannya pada Syarikat Kerakyatan Indonesia. Namun menurut Idham, keanggotaannya dalam Dewan itu karena dipilih oleh Badan Koordinasi Partai-Partai Republikein. Bahkan ia mengatakan bahwa ia kemudian dipenjarakan Belanda pada November 1949. Pada 1950 ia diangkat menjadi anggota Parlemen mewakili Kal-Sel, dan sebagai hasil Pemilu 1955 ia terpilih sebagai anggota DPR mewakili Ja-Bar. Keterlibatannya di NU dimulai dengan kegiatannya dalam Gerakan Pemuda Ansor. Kemudian Idham Chalid menjadi Sekretaris Pribadi K.H. Wahid Hasjim, tokoh besar NU yang pernah menjabat Menteri Agama. Agaknya terutama berkat hubungan baiknya dengan tokoh inilah Idham makin menjulang karirnya. Pada Muktamar NU di Medan 1956 ia terpilih sebagai Ketua Umum NU. Idham waktu itu juga mendapat dukungan kuat para ulama. "Sebelum almarhum Wahid Hasyim meninggal, beberapa kali ia menitipkan Idham Chalid pada saya, agar saya jangan berpisah dengan Idham. Sejak itu ia saya anggap sebagai anak sendiri," cerita K.H. As'ad Syamsul Arifin, pimpinan Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Menurut Kiai As'ad, karena amanat itulah ia menjadi orang pertama yang mendukung Idham sebagai calon Ketua Umum dalam Muktamar Medan. Dukungan terus diberikan pada kepemimpinan Idham dalam Muktamar Bandung dan Sala. Pada Muktamar Surabaya 1971, menurut Kiai As'ad ia sudah meminta agar Idham mundur saja karena ia melihat adanya pengaruh yang kurang baik bila NU terus menerus dipimpin orang yang sama. Namun menurut dia, Idham meminta diberi kesempatan sekali lagi. "Karena ia masih baik, saya berikan dukungan lagi," kata Kiai As'ad. Waktu itu dua pendiri NU,K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Bisri Syansuri memang masih hidup, hingga dianggap bisa "mengontrol" Idham. Menjelang Muktamar Semarang pada 1979, dalam tiga kali pertemuan dengan Idham, Kiai As'ad meminta Idham agar mundur sebagai Ketua Umum dan memperkuat Syuriah. Alasannya, Syuriah semakin lemah karena semakin tuanya Kiai Bisri. "Idham Chalid waktu itu setuju," kata Kiai As'ad. Idham kabarnya membicarakan permintaan Kiai As'ad -- dan juga persetujuannya -- pada K.H. Sjaichu dan K.T. Saifuddin Zuhri. Bahkan Idham konon menyatakan akan mendukung Sjaichu sebagai pehggantinya. Namun tatkala muktamar berlangsung, ternyata Idham Chalid muncul lagi sebagai calon. "Saya langsung pulang," ujar Kiai As'ad. Versi Idham Chalid sendiri mengenai peristiwa itu belum jelas. Mungkin itu bakal muncul juga dalam memoar yang kini tengah ditulisnya. "Setiap habis sembahyang subuh saya menulis. Dengan tangan, sebab saya tidak biasa mengetik," kata Idham. Menurut Idham, jabatannya selama 26 tahun terus-menerus sebagai Ketua Umum NU "merupakan amanah, kepercayaan dari umat. Dalam setiap muktamar saya terpilih, walau tidak pernah kampanye. Di kalangan kami, warga nahdliyyin, kampanye semacam itu kan tidak dikenal". Idham Chalid, bapak dari 15 orang anak (lahir dari 4 orang ibu, seorang sudah meninggal), ini ternyata tetap populer. Tamu di rumahnya tetap membanjir, walau ia sering sulit dijumpai. Ia tidak selalu ada di rumahnya di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat. Kadang-kadang ia ada di rumahnya yang lain, di Bintaro, Blok A, atau Cipete -- tempat ia mendirikan sebuah pesantren. Semangat belajarnya tetap tinggi. Ia kelihatan selalu membawa kamus. Bahasa asing yang dikuasainya: Arab, Inggris, Belanda dan Jepang. Selain itu juga Jerman dan Prancis secara pasif. Hobinya memang membaca. "Terutama saya suka membaca biografi orang-orang besar. Dan juga sejarah," ujarnya. Rupanya sejarah juga yang nanti akan menilai tokoh macam apa sebenarnya Idham Chalid itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus