INILAH pertama kali, setelah lebih dari delapan tahun, pilot Soviet penembak pesawat penumpang milik Korea Airlines bercerita panjang lebar. Ia diwawancarai seorang wartawan Eropa, dan hasilnya diterbitkan kantor berita foto Prancis GAMMA, belum lama ini. Awal September 1983, sebuah Boeing 747 milik Korea Airlines ditembak jatuh oleh Soviet di atas perairan internasional antara Jepang dan Uni Soviet. Pesawat itu dari New York menuju Seoul. Semua penumpang, 269 orang termasuk awak pesawat, dinyatakan tewas. Korea Selatan, Jepang, dan sejumlah negara Barat meminta pertanggungjawaban Soviet. Sembilan hari sesudahnya, pemerintah Soviet baru membenarkan bahwa pihaknya menembak jatuh sebuah pesawat. Waktu itu, pihak Korea dan negara-negara Barat mengkritik Soviet yang asal tembak. Karena, menurut mereka, tak mungkin pilot Soviet tak mengenal bahwa itu pesawat sipil. Soviet menjawab, pesawat tersebut melanggar wilayah udara, pilot Soviet tak mengenalnya sebagai pesawat sipil karena lampu pesawat dimatikan semuanya, dan tembakan peringatan dengan peluru api tak digubris. Sampai di situ, apa sebenarnya yang terjadi tak diketahui. Tak ada yang mencoba -- setidaknya bila ada belum berhasil -- mewawancarai pilot yang menembak itu. Baru pekan lalu, GAMMA menyiarkan wawancara dengan Gennadij Osipovitj, pilot yang meruntuhkan Boeing 747 itu ke dasar laut. Ia, kini 47 tahun, pensiun sejak dua tahun lalu, hidup bersama istri dan seorang anak lelakinya di Majkop, kota kecil di Rusia bagian selatan, di timur Laut Hitam. "Saya hanya menjalankan tugas," katanya. Lalu ia bercerita, begitu ia melihat pesawat pelanggar wilayah tersebut, ia tahu pesawat itu jet penumpang. Ada perintah menembak. Tapi Osipovitj memberi tahu pangkalan bahwa lampu di kokpit pesawat yang nyelonong itu menyala. Perintah lalu diubah, hanya untuk memaksa pesawat itu mendarat. Setelah komunikasi gagal, Osipovitj menggoyang-goyangkan sayap pesawatnya, memberi isyarat pada pilot pesawat sipil itu untuk mendarat. Tak ada reaksi. "Lalu saya menembakkan kanon peringatan," tuturnya (ini berbeda dengan keterangan pejabat Soviet bahwa pilot SU-15-nya menembakkan peluru api). Tapi tetap tak ada reaksi. Malah, kata Osipovitj pula, pesawat itu mengurangi kecepatan, satu cara untuk melepaskan diri darinya. Hal ini lebih meyakinkan Osipovitj bahwa pilot yang nyelonong itu sebenarnya mengetahui kehadirannya. Beberapa menit upaya itu dilakukan, dan kemudian pesawat itu terbang kembali ke atas perairan bebas. Karena itu, pangkalan memberi perintah menembak. Dua rudal dilepaskan oleh Osipovitj dan mengenai sasaran. "Semua lampunya mati, lalu aku melihat badan Boeing itu berputar turun ke bawah," tutur Osipovitj. Di pangkalan, Osipovitj disambut hangat oleh rekan-rekannya. Tapi, malam harinya, Letnan Jenderal Tsygalajev, komandan tertinggi pasukan perbatasan Soviet itu, marah besar. "Tak tahukah kamu bahwa ada 269 orang di dalam pesawat?" kata Tsygalajev. Seminggu kemudian, Osipovitj dipindahkan ke sekolah penerbangan militer. Ia menjadi instruktur sampai dipensiunkan dengan pangkat letkol. Ia tetap yakin, yang ditembaknya adalah pesawat mata-mata. "Saya melihat jelas lampu-lampu kokpit menyala. Tapi, saya pikir pesawat itu tak berpenumpang," katanya. Ia pikir, Amerika sengaja mengirimkan pesawat penumpang kosong untuk tugas mata-mata. Baru tahun lalu keyakinannya guncang. Ia ditemui wartawan Jepang yang menceritakan bahwa seorang temannya ikut tewas dalam Boeing 747 itu. "Keyakinanku bahwa itu pesawat mata-mata turun hanya menjadi 40%," katanya. Tapi, pilot yang menerima pensiun 530 rubel per bulan, yang mengecam reformasi di negerinya, yang katanya hanya menghasilkan harga membubung ini kemudian kembali pada teori lamanya. Kalau begitu, katanya, tentunya ada pesawat lain selain pesawat misterius yang melanggar wilayah udara itu. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini